Pentingnya Harta Bagi Seorang Muslim
Al-Imam Sufyan al-Tsauri, hidup pada abad 2 Hijriyah, pada zaman khalifah Abu Ja'far al-Manshur pernah mengatakan, “Harta pada zaman kita sekarang ini merupakan senjata bagi seorang mukmin!” Ungkapan ulama besar tersebut menjadi gambaran betapa penting kedudukan harta bagi seorang muslim pada zaman itu. Kala itu kekuasaan Islam tengah berjaya. Negara Islam waktu itu sangat mendukung penegakan syariat dan sangat peduli terhadap kemaslahatan ummat. Lalu kira-kira ungkapan seperti apa yang akan diungkapkan oleh al-Imam Sufyan al-Tsauri, jika beliau hidup di zaman sekarang, di negri bernama Indonesia ini? Sebuah negri yang segalanya diukur dengan uang; mau belajar pakai uang, begitu pula saat mau bekerja, mau berobat, mau berhaji, dan sebagainya mesti pakai uang. Parahnya lagi, orang-orang kafir dan orang sesat dibebaskan berkeliaran mencari mangsa umat Islam dengan umpan berupa segepok uang. Orang melarat di negri kita ini, di samping tidak terhormat, keimanannya pun terancam. Ya...harta memang sangat penting. Kemaslahatan agama dan dunia seseorang mutlak membutuhkan harta. Kita sangat membutuhkan harta. Allah berfirman,

وَلاَتُؤْتُوا السُّفَهَآءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (Al-Nisa:5) Ma'na lafal ayat: السُّفَهَآءَ adalah jama' (plural) dari kata سَفِيْهٌ yaitu orang yang tidak pandai mengelola harta. قِيَامًا : maknanya adalah yang menegakkan suatu perkara. Allah Ta'ala menjadikan harta sebagai penegak bagi kalian, maksudnya adalah kehidupan manusia serta kemaslahatan perkara dunia dan agama mereka tegak di atas harta. (Tafsir Aisaru al-Tafasir) Makna ayat secara lengkap: Syaikh Abu Bakr bin Jabir al-Jazairi mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan pengarahan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, berkenaan dengan perkara yang akan mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bagi mereka di dunia, serta keselamatan dan kebahagiaan mereka di akhirat kelak. Allah melarang mereka memberikan sesuatu, yang merupakan penegak bagi kemaslahatan perkara dunia dan akhirat mereka, kepada orang-orang yang tidak pandai mengurus harta, baik dari kaum wanita, anak-anak atau laki-laki dewasa, karena dikhawatirkan harta tersebut dibelanjakan pada sesuatu yang tidak dibenarkan atau dihabiskan secara sia-sia. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk memberi rezeki kepada orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya فِيْهَا (terkait dengan harta) mereka, bukan مِنْهَا (dari harta mereka). Hal ini mengisyaratkan bahwa harta itu sebaiknya dikembangkan melalui usaha perdagangan, produksi, ataupun pertanian. Dengan begitu uang pokok tidak akan berkurang, sementara segala kebutuhan cukuplah dipenuhi dari laba hasil usaha tersebut.” (Tafsir Aisarut Tafasir dengan diringkas ). Kandungan ayat di atas menunjukkan tentang sangat pentingnya harta bagi seorang mukmin. Allah menjelaskan bahwasannya harta merupakan penegak bagi perkara duniawi dan ukhrowi sekaligus. Mafhumnya, tanpa adanya harta perkara-perkara duniawi dan agama seseorang tidak bisa terlaksana dengan baik dan sempurna, bahkan bisa kacau dan morat-marit. Tanpa materi seseorang tidak akan bisa membina keluarga sejahtera dan kesulitan untuk mempelajari ilmu-ilmu syar'i serta tidak bisa melakukan banyak amal kebaikan. Berikutnya Allah melarang seorang mukmin menyerahkan harta kepada orang yang tidak pandai mengelola harta. Dia juga mengarahkan kaum muslimin untuk menginvestasikan harta pada berbagai bidang usaha, agar bisa bisa berkembang dan tidak habis. Hal ini menunjukkan pentingnya harta bagi seorang muslim, sekaligus menunjukkan terpujinya memiliki harta yang cukup. Karena pentingnya harta itu pula, seorang muslim dilarang menghamburkan harta pada perkara yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perkara-perkara maksiat atau yang tidak ada manfaatnya. Allah ta'ala berfirman dalam surat al-Isro': وَلاَتُبَذِّرْ تَبْذِيرًا {*} إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينَ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا “dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Al-Isra:26-27) Al-Imam Ibnu Katsir mengatakan, “...Kemudian Allah berfirman dalam rangka melarang perbuatan tabdzir dan berlebih-lebihan di dalam membelanjakan harta dengan firman-Nya di atas.' Abdullah Ibnu Mas'ud berkata, ‘Tabdzir adalah membelanjakan harta pada perkara yang tidak dibenarkan oleh syariat.' Mujahid berkata, ‘Jika seseorang membelanjakan seluruh harta pada perkara yang dibenarkan oleh syariat, maka dia tidak melakukan tabdzir, akan tetapi jika dia membelanjakan hartanya pada perkara yang tidak dibenarkan oleh syariat, walaupun cuma satu mud, maka dia telah melakukan tabdzir.' Bahkan di dalam bersedekah pun seseorang harus perhitungan. Jangan sampai bersedekah melebihi batas kemampuan dan harus menyesuaikan antara pemasukan dan pengeluaran, akan tetapi jangan sampai dia bersifat kikir dan pelit. Allah ta'ala memberikan arahan tentang hal ini dengan firman-Nya,

وَلاَتَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَتَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Al-Isra:29) Tentang tafsirnya Ibnu Katsir berkata, “Yakni janganlah engkau bersifat bakhil, terlalu ketat dengan harta, sehingga tidak mau memberi harta kepada orang yang membutuhkan, dan janganlah pula engkau berlebih-lebihan di dalam bersedekah, sehingga memberi di luar batas kemampuan, dan mengeluarkan harta tidak seimbang dengan pemasukan. Jika engkau melakukan hal yang demikian, maka engkau akan menjadi orang yang dicela dan lemah (miskin).” Rasulullah memberikan beberapa kiat agar kita tidak sampai jatuh miskin, di antaranya adalah berhemat di dalam membelanjakan harta.

مَا عَالَ مَنْ اقْتَصَدَ

“Tidak akan jatuh miskin orang yang berhemat.” (Musnad Ahmad no. 4275) Kemudian Rasulullah menganjurkan agar bersedekah dari harta yang memang kita tidak dalam keadaan butuh terhadap harta tersebut. Hal ini ditunjukkan sebagaimana dalam sebuah hadits:

الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى

“Tangan yang di atas (memberi) lebih baik dibdanding tangan yang di bawah (menerima), dan mulailah dari orang yang dibawah tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah adalah ...” (Shahih al-Bukhari no. 1361) Syaikh Salim bin Id al-Hilali di dalam kitab beliau Bahjatun Nazhirin, memberikan beberapa faedah tentang hadits di atas, di antaranya: - Lebih utama kaya, disertai menunaikan hak harta kepada orang yang berhak, daripada fakir. - Tidak disukai menyedekahkan seluruh harta yang dimiliki atau menyedekahkan harta yang sebenarnya dibutuhkan pemiliknya. Harta bukan untuk dicela Sebagian orang sufi salah kaprah dalam memandang dunia dan harta. Di antara mereka ada yang tidak mau sama sekali memiliki harta, bahkan ada yang sampai taraf mencela harta. Mereka hidup miskin dan berpenampilan seperti gelandangan. Prinsip ini justru bertentangan dengan al-Quran dan al-Sunnah. Banyak nash al-Quran dan al-Sunnah yang justru menunjukkan terpujinya harta. Di antaranya adalah firman Allah Ta'ala,

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ

“…dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” (Al-Adiyat:8) Syaikh Athiyah Muhammad Salim berkata, “Makna الخَيْر (khair) adalah kebaikan secara umum. Begitupun yang terdapat dalam ayat-ayat sebelumnya. Akan tetapi yang dimaksud dengan الخَيْر (khair) di sini adalah harta benda. Ini merupakan penggunaan kata yang bersifat umum untuk sesuatu yang bersifat khusus, karena harta merupakan bagian dari kebaikan. Harta termasuk kebaikan karena perbuatan baik selalu menyertakan harta, dan tidak bisa terlepas dari harta.” (Adhwa'ul Bayan, 1992) Ibnu Qudamah berkata, “Asalnya, harta itu tidaklah tercela bahkan semestinya dipuji, karena harta merupakan sarana untuk melancarkan kemaslahatan perkara agama dan dunia. Bahkan Allah sendiri telah menamakan harta dengan الخَيْر (khair/kebaikan). Dalam ayat lain Allah menjelaskan bahwa harta merupakan penegak bagi manusia.” Said Ibnul Musayyib berkata, “Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bergairah dalam mengumpulkan harta yang halal, karena dengan harta itu seseorang bisa menjaga kehormatannya di hadapan manusia, bisa menyambung tali kekeluargaan, dan bisa bersedekah kepada orang yang membutuhkan harta.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin) PENUTUP Mengingat pentingnya harta, semestinya seorang muslim bersemangat dalam mencari dan mengelola harta. Akan tetapi, senantiasa perlu disertai dengan niat yang baik dan menjaga batas syariat ketika mencari dan membelanjakannya. Jangan pula menjadi kikir dan terlalu mencintai harta, jadikanlah harta sebagai tunggangan untuk mengejar sukses dunia dan akhirat. Jangan sampai justru kita ditunggangi oleh harta dunia. Wallahu a'lam. sumber : MAJALAH FATAWA Vol V No. 2 Tahun 2009

Author