AGAR PAHAM TAKFIRI TIDAK MENJALAR
Adanya kemudahan akses internet tersebarlah berbagai paham melalui banyak sarana. Ada website, blog, telegram, instagram, fesbuk, youtube dan tentunya whatsapp. Ini juga menjadi salah satu media penyebaran paham khawarij. Bayangkan kalau pemikiran khawarij yang tertuang dalam berbagai tulisan di media massa virtual dinikmati generasi milenial yang minim dasar ilmu keagamaannya. Karena itulah kampanye dan pengajaran tentang pemahaman ahlussunnah waljama’ah mesti gencar tersampaikan di dunia maya. Ilmu akidah, muamalah, dan metode memahami ilmu agama harus tersampaikan kepada generasi penerus umat Islam. Mengapa di pondok-pondok atau sekolah-sekolah maupun perkuliahan selalu diwajibkan untuk mengikuti kurikulum manhaj dan akidah ahlissunnah wal jama’ah? Tujuannya adalah agar para pelajar dan mahasiswa mempunyai pemahaman Islam yang wasithiyah—moderat—bisa melekat. Hal itu sebagai bentuk shibghah, celupan. Celupan pemahaman kepada umat Islam sehingga warna keislamannya kuat dan tidak terpengaruh oleh pemahaman khawarij. Memang PR besar kita adalah memahamkan kepada umat bagaimana manhaj ahlusunnah wal jama’ah dalam bermuamalah kepada pemerintah, kepada sesama muslim, maupun kepada nonmuslim. Begitu juga tentang cara mengingatkan kesalahan penguasa. Mendudukkan pengertian dan bentuk jihad yang semestinya. Pengertian dan pemahaman toleransi antar agama berdasarkan ajaran Islam. Dengan begitu kaum muda tidak mudah terbakar semangatnya yang berakibat gampang menuding sesama muslim sebagai kafir. Yang sering disalahartikan oleh kaum muda adalah tidak bias membedakan antara kaidah takfir secara hukum dengan praktik penerapannya. Karena tidak setiap orang yang melakukan tindakan kekufuran secara otomatis kemudian divonis kafir. Kalau orang salah dalam memvonis kafir secara mu’ayyan/personal (orang per orang) maka tuduhan tersebut kembali kepada si penuduh.
Taat Kepada Penguasa
Isu atau tema yang sering diangkat oleh pengusung paham khawarij adalah kelaliman penguasa. Mereka secara terbuka menyerang perilaku penguasa yang fasik. Tanpa mengaitkan dengan agama sekalipun isu kelaliman dan kesewenang-wenangan penguasa sangat mudah memantik kemarahan masyarakat. Apalagi dengan membawa agama untuk melihat dari sisi keadilan, kefasikan, kelaliman, dan bahkan kekafiran. Secara mendasar Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan kita kaum muslimin untuk taat kepada penguasa. Sebagaimana disebutkan dalam ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللَّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Al-Qur’an surat An-Nisa: 59) Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan kepada kita agar taat kepada ulil amri kaum muslimin. Ulil amri minkum, artinya masuk dalam kaum muslimin.

مَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي. (رواه مسلم)

Barangsiapa menaati seorang pemimpin sungguh dia telah menaatiku, dan siapa saja membangkang kepada seorang pemimpin maka dia telah membangkang kepadaku.” (Hadits Riwayat Muslim)

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا. (رواه أبوداود)

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa taat dan mendengar meskipun yang memerintah adalah seorang budak habsyi yang hitam. Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)

وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ. (رواه البخاري)

“Serta agar kami tidak mencabut urusan dari ahlinya kecuali jika kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang pada kalian mempunyai alasan yang jelas dari Allah.” (Hadits Riwayat Bukhari)
 Taat di Luar Perkara Maksiat
Ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya adalah ketaatan yang mutlak. Karena Allah dan rasul adalah tidak mungkin memerintahkan kepada kebatilan. Tetapi taat kepada penguasa adalah selama tidak diperintahkan untuk berbuat maksiat. Disebutkan dalam sebuah hadits:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ. (رواه مسلم)

“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah.” (Hadits Riwayat Muslim) Apabila perintah dari penguasa itu termasuk maksiat tentu tidak boleh ditaati. Selain itu wajib ditaati, baik ulil amri itu orang yang shaleh atau bukan.

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ. (رواه البخاري)

“Sama sekali tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah,, ketaatan itu dalam kebaikan.” (Hadits Riwayat Bukhari) Ketaatan kepada ulil amri walaupun fasik dan maksiat—selama tidak keluar dari Islam. Sikap ini akan lebih menjaga keamanan dan mencegah pertumpahan darah. Ada juga yang keluar dari ketaatan kepada ulil amri dengan alasan amar makruf nahi mungkar. Hal ini sering dilakukan kelompok khawarij dan mu’tazilah. Mereka beralasan untuk menghilangkan maksiat dan kefasikan, tetapi menimbulkan madharat yang lebih besar. Jika kondisinya demikian maka lebih baik taat walaupun dalam keadaan banyak maksiat atau kefasikan. Prinsipnya mencari risiko yang paling ringan agar tidak menyengsarakan masyarakat. Ada juga yang keluar dari ulil amri dengan alasan penguasa bermaksiat dan fasik. Tetapi itu tujuannya adalah untuk menggantikan ulil amri dengan yang dianggap lebih baik. Dalam hal ini ahlissunnah tetap melihat apabila caranya tidak baik maka akan menimbulkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar. Mafsadatnya seperti pertumpahan darah, keamanan menjadi tidak stabil, dan melemahkan kekuatan kaum muslimin hingga masuknya pasukan asing yang akan menambah runyamnya kondisi. Jadi lebih baik sabar dan taat dengan yang sudah ada.
Menasihati Penguasa
Apakah ahlussunnah boleh memberikan nasihat kepada penguasa? Memberikan nasihat tetap dilakukan, tetapi dengan cara sirran—rahasia diam-diam antara orang yang dinasihati dengan orang yang memberikan nasihat. Sebagaimana hadits rasul.

الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ. (رواه مسلم)

Agama itu adalah nasihat.’ Kami bertanya, ‘Nasihat untuk siapa?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta kaum awam mereka.” (Hadits Riwayat Muslim) Para ulama ahlussunnah wal jama’ah tetap memberikan nasihat kepada ulil amri tapi dengan rahasia tidak terang-terangan. Tidak dilakukan di atas mimbar-mimbar umum atau dengan video yang tersebar ke publik yang justru akan menimbulkan kemarahan ulil amri. Bukan sebagaimana yang dilakukan oleh khawarij ang mengritik di atas mimbar-mimbar dan menghujat serta membongkar aib ulil amri. Apabila seorang muslim mempunyai ghirah atau semangat tentu kita senang. Tetapi, untuk menyalurkan semangat itu harus meminta petunjuk ahli ilmu. Ahli ilmulah yang mempunyai bashirah. Insyaallah akan diarahkan kepada yang lebih bermanfaat untuk Islam dan kaum muslimin. Sebagaimana dalam hadits:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ. (رواه أبوداود)

“Para ulama adalah yang menerima warisan para nabi.” (Hadits Riwayat Abu Dawud) Ulama adalah tempat kembali setelah Allah dan rasul-Nya.

لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“…tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)[1].” (Al-Qur’an surat An-Nisa: 83) Disadur secara bebas oleh: Al-Ustadz Abu Nida’ Chomsaha Shofwan, Lc. Hafizhahullah, dari Kitab “Manhaju Aimmatid Da’wah fi Masa-ili at-Takfir wal-Khuruj (halaman: 19-27)”, karya: Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan Hafizhahullah. Editor: @rimoesta Team Redaksi: Ustadz Abu Abdillah Mubarok, M.Pd. dan Ustadz Abu Layla Turahmin, M.H. Hafizhahumallah.   Footnote: [1] Menurut mufassirin yang lain maksudnya ialah kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan Ulil Amri, tentulah Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.

Author