BELAJAR AGAR ILMU AGAMANYA BERMAKNA
Belajar adalah kewajiban setiap muslim. Dengan belajar maka akan tersingkir kebodohan. Tetapi belajar agama lebih dari itu, agar mendapatkan ilmu yang berkah untuk mendapatkan ganjaran dari Allah. Allah memuliakan dan memberi nikmat kepada pencari ilmu agama. Maka bagi pencari ilmu wajib menerapkan adab dan akhlak dalam thalabul ilmi.
Abdullah bin Mubarak rahimahullahu berkata,
" كَادَ الأَدَبُ يَكُونُ ثُلُثَيِ العِلْمِ"
“Adab itu nilainya adalah hampir menyamai dua pertiga agama.”[1]
Dengan iltizamnya tholabul ilmi, menunjukkan keberuntungan baginya di dunia dan akhirat. Terutama ilmu syar’i yang mempunyai keutamaan yang agung dan kebaikan yang banyak.
عن أبي الدرداء قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ، وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ، كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ، رواه ترمذي
Abu Ad-Darda’ berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan menuntunnya menuju surga dan para malaikat akan merendahkan sayap-sayapnya menghormati para pencari ilmu karena merasa senang, sesungguhnya orang berilmu itu akan dimintakan ampunan oleh (makhluk) yang berada di langit dan di bumi hingga ikan di air, keutamaan orang yang berlilmu atas ahli ibadah laksana keutamaan rembulan atas seluruh bintang, sesungguhnya ulama adalah ahli waris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.”[2]
Mu'awiyah radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، متفق عليه.
"Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa yang Allah inginkan menjadi orang baik, Allah jadikan dirinya paham agama.”[3]
Seorang pencari ilmu mesti punya niat yang kuat dan tekat yang sungguh-sungguh dalam dirinya, juga sabar dalam belajar sehingga mendapatkannya. Bagi yang mendapatkan termasuk beruntung dan termasuk ghanimah yang besar.
عن فضالة بن عبيد رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ،.
Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mujahid adalah orang yang memerangi nafsu dirinya sendiri dalam ketaatan kepada Allah.”[4]
Para penuntut ilmu harus membersihkan diri dari hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan ilmu dan KBM. Karena itu bagi para penuntut ilmu wajib menghormati ilmu, kitab-kitabnya, dan ulamanya.
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رضي الله عنه قال: قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ.
Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak termasuk umatku orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak mengasihi yang lebih muda dan tidak pula mengerti hak seorang yang alim.”[5]
Seorang pencari ilmu harus punya keimanan yang kuat dan bersungguh-sungguh, diiringi dengan doa yang baik. Salah satunya doa seperti berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الْأَمْرِ وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ
“Ya Allah, aku memohon keteguhan dalam menghadapi semua urusan, dan tekad yang kuat dalam mencari kebenaran.”[6]
Untuk mendukung semua itu harus selalu mengingat-ingat derajat ilmu tersebut. Kedudukannya, pengaruhnya, dan hasilnya bagi ahlinya di dunia maupun akhirat.
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِىِّ رضي الله عنه أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((الدِّينُ النَّصِيحَةُ)) قَلنا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ،
Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.’ Kami bertanya, “Bagi siapa wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan mereka secara umum.”[7]
Nasihat ialah menginginkan adanya kebaikan pada orang lain sebagaimana yang dirasakannya dan mencintai mereka seperti mencintai diri sendiri. Misalnya, karena Allah telah memuliakan kita dengan kebaikan ilmu, maka kebaikan yang Allah karunaikan tersebut kita upayakan sampai kepada orang lain. Orang lain bisa mendapatkan manfaat sebagaimana kita telah mendapatkannya. Kita lakukan hal itu hanya mengharapkan pahala dan keridhaan Allah dengan mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya. Yang demikian itu termasuk dalam rangka taat dan mendekatkan diri kepada Allah.
Nasihat apabila disampaikan dengan rahasia biasanya lebih menyentuh dan terkesan dalam hati. Al-Hafizh Ibnu Rajab menggambarkan sikap ulama zaman terdahulu (ulama salaf) dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Para ulama salaf tidak suka menunjukkan kesalahan pemimpin secara terang-terangan di hadapan khayalak umum. Mereka lebih menyukai melakukan secara rahasia; hanya antara dirinya dan pihak yang dinasihatinya.
Tujuan orang menasihati bukan untuk menyebarkan aib orang yang lain. Tujuannya untuk menghilangkan berbagai hal yang menimbulkan kerusakan. Karena mengumbar dan menyebarkan aib itu diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
قال الله تعالى: إِنَّ ٱلَّذِینَ یُحِبُّونَ أَن تَشِیعَ ٱلۡفَـٰحِشَةُ فِی ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟...
Allah ta’ala berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman.[8]
Seseorang yang mengabdikan ilmu dan menunaikan nasihat akan bertambah ilmunya. Inilah salah satu bentuk nyata bahwa kebaikan akan berbalas dengan dengan kebaikan pula. Barangsiapa menginginkan adanya kebaikan kepada sesamanya, maka Sang Pencipta akan membalas dengan kebaikan. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
هَلۡ جَزَاۤءُ ٱلۡإِحۡسَـٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَـٰنُ
“Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (Surat Ar-Rahman: 60)
Seorang pencari ilmu sudah sewajibnya memuliakan gurunya sesuai dengan kedudukan seorang guru. Sikap beradab dan memuliakan guru akan menumbuhkan faidah dan keberkahan. Terkait dengan hal itu para ulama menulis kitab khusus tentang adab pelajar terhadap gurunya. Ditekankan bahwa thalibul ilmi wajib mempunyai niat yang ikhlas.
عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيه،
Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semua perbuatan tergantung niatnya, dan balasan bagi tiap-tiap orang tergantung pada apa yang diniatkan: Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia diniatkan itu.”[9]
Thalabul ilmi—mencari ilmu—adalah sebuah ibadah; sebagaimana perkataan Imam Zuhri.
ما عبد الله بمثل العلم
“Tidak ada ibadah yang setara dengan menuntut ilmu.”[10]
Sementara itu ibadah tidak akan diterima kecuali dilandasi oleh niat ikhlas kepada Allah. Setiap thalibul ilmi wajib untuk senantiasa meluruskan niatnya dan berlaku istiqomah. Hal ini berat tetapi harus tetap diupayakan. Sebagaimana nasihat Sufyan At-Tsauri rahimahullahu. Beliau berkata,
ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي لأنها تنقلب علي.
“Saya belum pernah mengobati sesuatu yang lebih berat dibanding dengan niat saya, karena niat berbalik melawan saya.”[11]
Sungguh setan tak bosan-bosan datang ke majelis ilmu. Di situ para setan mengumbar bisikan waswas kepada para thalibul ilmi, ‘Hai santri/penuntut ilmu, bersungguh-sungguhlah kalian jadi orang alim biar besok jadi orang terkenal, kelak kalian akan jadi mufti terpandang. Untuk meruntuhkan bisikan-bisikan tersebut dibutuhkan niat yang kokoh dan ikhlas.
Penuntut ilmu harus selalu meluruskan niatnya mutlak kepada Allah agar dijauhkan dari riya’, sum’ah, kebanggaan untuk diperhatikan, ingin terkenal, dan lain-lain. Dengan demikian penuntut ilmu mendapati aktivitasnya menuntut ilmu menjadi sebuah amal kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Berkata Imam Ahmad,
العلم لا يعدله شيء
“Tidak ada amalan yang bisa menyamai aktivitas mempelajari ilmu syar'i.[12]
Terkait hal itu ada yang berkata, “Aku katakan kepada Ahmad, ‘Ceritakan kepada kami amalan yang paling mulia!’ Imam Ahmad menjawab, ‘Menuntut ilmu.’Kami bertanya lagi ‘siapakah itu?’ Dijawab, ‘Bagi yang niatnya benar.’ Kami bertanya lagi ‘Bagaimana yang dimaksud benar niatnya?’ Dijawab, ‘Niat dengan tawadhu’ (tidak sombong) dan untuk menghilangkan kebodohan.”[13]
Apa sih ikhlas itu? Ikhlas adalah dalam beramal semata-mata tujuannya karena Allah. Barangsiapa yang mencari ilmu dengan tujuan agar dikatakan oleh orang sebagai ilmuwan, pandai, atau julukan-julukan yang biasa untuk memuji orang pintar; orang tersebut akan rugi dan menyesal di akhirat nanti walau di dunia mungkin terkenal hebat.
Syaikh Al-Hafizh Al-Hakami dalam syi-irnya Mimiyah dalam Al-Washaya wal Adabul ‘Ilmiyah.
- Jadikanlah niat itu semata-mata karena Allah saja
- Sungguh bangunan tanpa pondasi tidak akan tegak
- Barang siapa yang niatnya karena pujian manusia
- Akan mengalami rugi dan merasa sesal di hari kelak
Author