BELAJAR AGAR ILMU AGAMANYA BERMAKNA
Belajar adalah kewajiban setiap muslim. Dengan belajar maka akan tersingkir kebodohan. Tetapi belajar agama lebih dari itu, agar mendapatkan ilmu yang berkah untuk mendapatkan ganjaran dari Allah. Allah memuliakan dan memberi nikmat kepada pencari ilmu agama. Maka bagi pencari ilmu wajib menerapkan adab dan akhlak dalam thalabul ilmi. Abdullah bin Mubarak rahimahullahu berkata, " كَادَ الأَدَبُ يَكُونُ ثُلُثَيِ العِلْمِ"  “Adab itu nilainya adalah hampir menyamai dua pertiga agama.”[1] Dengan iltizamnya tholabul ilmi, menunjukkan keberuntungan baginya di dunia dan akhirat. Terutama ilmu syar’i yang mempunyai keutamaan yang agung dan kebaikan yang banyak. عن أبي الدرداء قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ، وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ، كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ، رواه ترمذي Abu Ad-Darda’ berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan menuntunnya menuju surga dan para malaikat akan merendahkan sayap-sayapnya menghormati para pencari ilmu karena merasa senang, sesungguhnya orang berilmu itu akan dimintakan ampunan oleh (makhluk) yang berada di langit dan di bumi hingga ikan di air, keutamaan orang yang berlilmu atas ahli ibadah laksana keutamaan rembulan atas seluruh bintang, sesungguhnya ulama adalah ahli waris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.”[2] Mu'awiyah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، متفق عليه. "Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa yang Allah inginkan menjadi orang baik, Allah jadikan dirinya paham agama.”[3] Seorang pencari ilmu mesti punya niat yang kuat dan tekat yang sungguh-sungguh dalam dirinya, juga sabar dalam belajar sehingga mendapatkannya. Bagi yang mendapatkan termasuk beruntung dan termasuk ghanimah yang besar. عن فضالة بن عبيد رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ،. Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mujahid adalah orang yang memerangi nafsu dirinya sendiri dalam ketaatan kepada Allah.”[4] Para penuntut ilmu harus membersihkan diri dari hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan ilmu dan KBM. Karena itu bagi para penuntut ilmu wajib menghormati ilmu, kitab-kitabnya, dan ulamanya. عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رضي الله عنه قال: قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ. Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak termasuk umatku orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak mengasihi yang lebih muda dan tidak pula mengerti hak seorang yang alim.”[5] Seorang pencari ilmu harus punya keimanan yang kuat dan bersungguh-sungguh, diiringi dengan doa yang baik. Salah satunya doa seperti berikut: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الْأَمْرِ وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ “Ya Allah, aku memohon keteguhan dalam menghadapi semua urusan, dan tekad yang kuat dalam mencari kebenaran.”[6] Untuk mendukung semua itu harus selalu mengingat-ingat derajat ilmu tersebut. Kedudukannya, pengaruhnya, dan hasilnya bagi ahlinya di dunia maupun akhirat. عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِىِّ رضي الله عنه أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((الدِّينُ النَّصِيحَةُ)) قَلنا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ، Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.’ Kami bertanya, “Bagi siapa wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan mereka secara umum.”[7] Nasihat ialah menginginkan adanya kebaikan pada orang lain sebagaimana yang dirasakannya dan mencintai mereka seperti mencintai diri sendiri. Misalnya, karena Allah telah memuliakan kita dengan kebaikan ilmu, maka kebaikan yang Allah karunaikan tersebut kita upayakan sampai kepada orang lain. Orang lain bisa mendapatkan manfaat sebagaimana kita telah mendapatkannya. Kita lakukan hal itu hanya mengharapkan pahala dan keridhaan Allah dengan mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya. Yang demikian itu termasuk dalam rangka taat dan mendekatkan diri kepada Allah. Nasihat apabila disampaikan dengan rahasia biasanya lebih menyentuh dan terkesan dalam hati. Al-Hafizh Ibnu Rajab menggambarkan sikap ulama zaman terdahulu (ulama salaf) dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Para ulama salaf tidak suka menunjukkan kesalahan pemimpin secara terang-terangan di hadapan khayalak umum. Mereka lebih menyukai melakukan secara rahasia; hanya antara dirinya dan pihak yang dinasihatinya. Tujuan orang menasihati bukan untuk menyebarkan aib orang yang lain. Tujuannya untuk menghilangkan berbagai hal yang menimbulkan kerusakan. Karena mengumbar dan menyebarkan aib itu diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. قال الله تعالى: إِنَّ ٱلَّذِینَ یُحِبُّونَ أَن تَشِیعَ ٱلۡفَـٰحِشَةُ فِی ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟... Allah ta’ala berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman.[8] Seseorang yang mengabdikan ilmu dan menunaikan nasihat akan bertambah ilmunya. Inilah salah satu bentuk nyata bahwa kebaikan akan berbalas dengan dengan kebaikan pula. Barangsiapa menginginkan adanya kebaikan kepada sesamanya, maka Sang Pencipta akan membalas dengan kebaikan. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya: هَلۡ جَزَاۤءُ ٱلۡإِحۡسَـٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَـٰنُ “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (Surat Ar-Rahman: 60) Seorang pencari ilmu sudah sewajibnya memuliakan gurunya sesuai dengan kedudukan seorang guru. Sikap beradab dan memuliakan guru akan menumbuhkan faidah dan keberkahan. Terkait dengan hal itu para ulama menulis kitab khusus tentang adab pelajar terhadap gurunya. Ditekankan bahwa thalibul ilmi wajib mempunyai niat yang ikhlas. عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيه، Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semua perbuatan tergantung niatnya, dan balasan bagi tiap-tiap orang tergantung pada apa yang diniatkan: Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia diniatkan itu.”[9] Thalabul ilmi—mencari ilmu—adalah sebuah ibadah; sebagaimana perkataan Imam Zuhri. ما عبد الله بمثل العلم “Tidak ada ibadah yang setara dengan menuntut ilmu.”[10] Sementara itu ibadah tidak akan diterima kecuali dilandasi oleh niat ikhlas kepada Allah. Setiap thalibul ilmi wajib untuk senantiasa meluruskan niatnya dan berlaku istiqomah. Hal ini berat tetapi harus tetap diupayakan. Sebagaimana nasihat Sufyan At-Tsauri rahimahullahu. Beliau berkata, ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي لأنها تنقلب علي. Saya belum pernah mengobati sesuatu yang lebih berat dibanding dengan niat saya, karena niat berbalik melawan saya.”[11] Sungguh setan tak bosan-bosan datang ke majelis ilmu. Di situ para setan mengumbar bisikan waswas kepada para thalibul ilmi, ‘Hai santri/penuntut ilmu, bersungguh-sungguhlah kalian jadi orang alim biar besok jadi orang terkenal, kelak kalian akan jadi mufti terpandang. Untuk meruntuhkan bisikan-bisikan tersebut dibutuhkan niat yang kokoh dan ikhlas. Penuntut ilmu harus selalu meluruskan niatnya mutlak kepada Allah agar dijauhkan dari riya’, sum’ah, kebanggaan untuk diperhatikan, ingin terkenal, dan lain-lain. Dengan demikian penuntut ilmu mendapati aktivitasnya menuntut ilmu menjadi sebuah amal kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Berkata Imam Ahmad, العلم لا يعدله شيء “Tidak ada amalan yang bisa menyamai aktivitas mempelajari ilmu syar'i.[12] Terkait hal itu ada yang berkata, “Aku katakan kepada Ahmad, ‘Ceritakan kepada kami amalan yang paling mulia!’ Imam Ahmad menjawab, ‘Menuntut ilmu.’Kami bertanya lagi ‘siapakah itu?’ Dijawab, ‘Bagi yang niatnya benar.’ Kami bertanya lagi ‘Bagaimana yang dimaksud benar niatnya?’ Dijawab, ‘Niat dengan tawadhu’ (tidak sombong) dan untuk menghilangkan kebodohan.”[13] Apa sih ikhlas itu? Ikhlas adalah dalam beramal semata-mata tujuannya karena Allah. Barangsiapa yang mencari ilmu dengan tujuan agar dikatakan oleh orang sebagai ilmuwan, pandai, atau julukan-julukan yang biasa untuk memuji orang pintar; orang tersebut akan rugi dan menyesal di akhirat nanti walau di dunia mungkin terkenal hebat. Syaikh Al-Hafizh Al-Hakami dalam syi-irnya Mimiyah dalam Al-Washaya wal Adabul ‘Ilmiyah.
  • Jadikanlah niat itu semata-mata karena Allah saja
  • Sungguh bangunan tanpa pondasi tidak akan tegak
  • Barang siapa yang niatnya karena pujian manusia
  • Akan mengalami rugi dan merasa sesal di hari kelak
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyamaikan peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang tersirat dalam pesan sabdanya: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ((إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ، Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia bertanya, 'Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hamba-Ku? Dia menjawab, 'Saya berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid.' Allah berfirman, 'Dusta kamu, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kamu pun telah menyandang gelar tersebut.' Kemudian diperintahkan agar orang itu dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah bertanya, 'Apa yang telah kamu perbuat?' Dia menjawab, 'Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al-Quran demi Engkau.' Allah berfirman, 'Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca. Kamu telah disebut seperti itu. Kemudian diperintahkan agar dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Ada juga seorang laki-laki yang diberi keluasan rezeki oleh Allah, kemudian menginfakkan hartanya semua. Diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas.' Allah bertanya, 'Apa yang telah kamu perbuat dengannya?' Dia menjawab, 'Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan yang Engkau ridhai.’ Allah berfirman, 'Dusta kamu, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kamu telah dikatakan seperti itu.' Kemudian diperintahkan supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.”[14] Imam Nawawi dalam menjelaskan hadits tersebut berkata, “Pada hadits tersebut terdapat dalil yang mengaskan haramnya riya’; hukumannya pun sangat berat. Ini adalah dorongan agar kita berupaya sekuat daya untuk berlaku ikhlas dalam beramal, sebagaimana perintah firman-Nya: وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama.” (Surat Al-Bayinah: 5) Adanya keutamaan yang besar dalam amal jihad hanyalah bagi orang-orang yang melakukannya secara ikhlas. Demikian juga pujian kepada para ulama dan orang-orang gemar berinfak dalam kebaikan. Semuanya hanya bisa diraih jika dilakukan secara ikhlas.[15] Untuk itu Rasulullah telah memberikan peringatan bahayanya niat yang tidak ikhlas: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)). يَعْنِي: رِيحَهَا، Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya karena Allah 'Azza wa Jalla, namun justru mempelajari untuk kepentingan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya surga pada hari kiamat.”[16] Kalau direnungkan perkara niat ini termasuk dalam tiga ayat di bawah ini: مَن كَانَ یُرِیدُ ٱلۡحَیَوٰةَ ٱلدُّنۡیَا وَزِینَتَهَا نُوَفِّ إِلَیۡهِمۡ أَعۡمَـٰلَهُمۡ فِیهَا وَهُمۡ فِیهَا لَا یُبۡخَسُونَ، أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ لَیۡسَ لَهُمۡ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا۟ فِیهَا وَبَـٰطِلࣱ مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan, Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (Surat Hud: 15-16) مَّن كَانَ یُرِیدُ ٱلۡعَاجِلَةَ عَجَّلۡنَا لَهُۥ فِیهَا مَا نَشَاۤءُ لِمَن نُّرِیدُ ثُمَّ جَعَلۡنَا لَهُۥ جَهَنَّمَ یَصۡلَىٰهَا مَذۡمُومࣰا مَّدۡحُورࣰا، وَمَنۡ أَرَادَ ٱلۡـَٔاخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعۡیَهَا وَهُوَ مُؤۡمِنࣱ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ كَانَ سَعۡیُهُم مَّشۡكُورࣰا “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir, Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (Surat Al-Isra: 18-19) مَن كَانَ یُرِیدُ حَرۡثَ ٱلۡـَٔاخِرَةِ نَزِدۡ لَهُۥ فِی حَرۡثِهِۦۖ وَمَن كَانَ یُرِیدُ حَرۡثَ ٱلدُّنۡیَا نُؤۡتِهِۦ مِنۡهَا وَمَا لَهُۥ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ مِن نَّصِیبٍ “Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.” (Surat As-Syura: 20) Tiga ayat dalam Al-Quran di atas semuanya dimulai dengan ‘man kana’; dijelaskan bahwa barangsiapa mencari ilmu karena dunia maka di akhirat kelak tidak mendapatkan apa-apa. Hati-hati jangan sampai mencari ilmu sebagaimana dalam hadits di bawah ini: عن كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ، رواه الترمذي Ka'b bin Malik bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menuntut ilmu untuk mendebat para ulama, untuk mengolok-olok orang bodoh, atau untuk menarik perhatian manusia kepadanya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.”[17] Memang ada orang yang menuntut ilmu sekadar untuk mendebat ahli ilmu, merendahkan orang-orang yang bodoh, merasa menyombongkan ilmunya, atau merasa lebih pintar dari teman-temannya. Malah ada juga orang yang mencari ilmu dengan tujuan untuk menimbulkan pertentangan atau mencari musuh berdebat. عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ، Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang keras kepala lagi suka dengan bermusuhan.[18] Apabila orang yang sedari awal bersikap sombong dalam mencari ilmu akan suka cari lawan tanding untuk berdebat agar menjadi makin terkenal. Orang seperti ini paling dibenci oleh Allah. وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن یُعۡجِبُكَ قَوۡلُهُۥ فِی ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَا وَیُشۡهِدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا فِی قَلۡبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ ٱلۡخِصَامِ “Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkan engkau (Muhammad), dan dia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras.” (Surat Al-Baqarah: 204) Karena itu kita mesti hati-hati. Jangan sampai penuntut ilmu takjub dengan dirinya yang bisa merusak niat. Ujub ialah melihat dirinya merasa lebih tinggi dibanding yang lain. Ini adalah akhlak yang tercela. Tidak layak dimiliki seorang muslim apalagi penuntut ilmu mulia, yang telah Allah beri nikmat dengan pemahaman dan kepandaian. Penuntut ilmu mestinya bisa berpikir bahwa ilmu yang dimilikinya adalah nikmat dan pemberian Allah semata. Tanda karunia dan rahmat dari Allah tentu tidak akan ada. Kalau bisa bersikap demikian ujub akan hilang dan hati akan kembali ikhlas. مَا شَاءَ اللهُ لَا قُوَّة إِلَّا بِاللهِ: وَلَوۡلَاۤ إِذۡ دَخَلۡتَ جَنَّتَكَ قُلۡتَ مَا شَاۤءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ “Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud: Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan ”masyaallah, la quwwata illa billah” (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud).” (Surat Al-Kahfi: 39) Termasuk obat untuk merontokkan rasa ujub adalah selalu mengingat bahwa apa yang dimiliki oleh penuntut ilmu adalah nikmat dari Allah. Semua karunia itu ada atas kehendak Allah. Tidak ada kekuatan bagi seseorang kecuali dari Allah. Keutamaan adalah di tangan Allah, diberikan kepada orang yang dikehendaki. Allah-lah yang memberi dan yang mencabut. Allah-lah yang mengangkat dan menurunkan. Allah yang menggenggam dan yang melepas. Semua urusan diatur oleh Allah, termasuk nikmat dan keutamaan. Jadi ujub memang sangat berbahaya. Ujub bisa menyapu bersih amal kebaikan sampai tidak bersisa sama sekali. عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يظهر الإسلام حتى تختلف التجار في البحر وحتى تخوض الخيل في سبيل الله ثم يظهر قوم يقرؤن القرآن يقولون من أقرأ منا من أعلم منا من أفقه منا ثم قال لأصحابه هل في أولئك من خير قالوا الله ورسوله أعلم قال أولئك منكم من هذه الأمة وأولئك هم وقود النار Umar bin Khatab radiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Agama Islam akan menang sehingga para pedagang hilir mudik di lautan, dan sehingga kuda-kuda terjun dijalan Allah kemudian muncul suatu kaum yang membaca Al-Quran, mereka berkata, 'Siapa yang lebih pandai membaca (Al-Quran) dari kami? Siapa yang lebih berilmu dari kami? Siapa yang lebih mengerti dari kami?' Lalu Rasulullah bertanya kepada para sahabat, 'Apakah ada kebaikan pada mereka?' Mereka menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.' Rasulullah bersabda, 'Mereka dari kalian, dari umat ini dan mereka adalah kayu bakar api Neraka'." Ujub apabila sudah menimpa penuntut ilmu bisa berakibat sombong dan merasa lebih tinggi dari yang lain. Bahkan bisa meningkat sampai merasa lebih tinggi dari orang di muka bumi. عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ، Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya dia berkata, “Tidak akan masuk ke surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji sawi.”[19] Jadi orang yang menuntut ilmu wajib untuk merasa takut kepada Allah baik dalam waktu sendiri atau ramai. إِنَّمَا یَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰۤؤُا۟ “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.” (Surat Fathir: 28) إِنَّ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمۡ خَیۡرُ ٱلۡبَرِیَّةِ، جَزَاۤؤُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ جَنَّـٰتُ عَدۡنࣲ تَجۡرِی مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُ خَـٰلِدِینَ فِیهَاۤ أَبَدࣰاۖ رَّضِیَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُوا۟ عَنۡهُۚ ذَ ٰ⁠لِكَ لِمَنۡ خَشِیَ رَبَّهُ “Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk, Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ’Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (Surat Al-Bayinah: 7-8) Imam Ahmad rahimahullah berkata, أَصْلُ الْعِلْمِ خَشْيَةُ اللهِ تَعَالَى “Inti dari ilmu ialah tumbuhnya rasa takut kepada Allah.”[20] Abdullah bin Mas’ud berkata,  لَيْسَ الْعِلْمُ مِنْ كَثْرَةِ الْحَدِيثِ ، وَلَكِنَّ الْعِلْمَ مِنَ الْخَشْيَةِ “Ilmu bukanlah sebatas berbanyak-banyak riwayat hadits, tetapi ilmu adalah yang menumbuhkan rasa takut kepada Allah.”[21] Thalabul ilmi harus dari tingkat bawah kemudian naik-kemudian naik, dimulai dari yang paling penting (tauhid) terus bab-bab yang lain sampai mendapatkan yang sempurna. وَكَتَبۡنَا لَهُۥ فِی ٱلۡأَلۡوَاحِ مِن كُلِّ شَیۡءࣲ مَّوۡعِظَةࣰ وَتَفۡصِیلࣰا لِّكُلِّ شَیۡءࣲ فَخُذۡهَا بِقُوَّةࣲ وَأۡمُرۡ قَوۡمَكَ یَأۡخُذُوا۟ بِأَحۡسَنِهَا “Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan untuk segala hal; maka (Kami berfirman), Berpegangteguhlah kepadanya dan suruhlah kaummu berpegang kepadanya dengan sebaik-baiknya.” (Surat Al-A’raf:145) وقول الله جل وعل: ٱلَّذِینَ یَسۡتَمِعُونَ ٱلۡقَوۡلَ فَیَتَّبِعُونَ أَحۡسَنَهُۥۤ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُۖ وَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمۡ أُو۟لُوا۟ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ “(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (Surat Az-Zumar:18) Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata, مَن طَلَبَ الْعِلْمَ جُمْلَةً فَاتَهُ جُمْلَةً ، وَإِنَّمَا يُدْرَكُ الْعِلْمُ حَدِيث وحديثان “Barangsiapa yang mencari ilmu ingin langsung dapat semua maka tidak akan mendapat baunya, maka mencari ilmu haruslah dengan bertahap, satu hadits, dua hadits dan seterusnya.”[22] Belajar secara bertahap sedikit demi sedikit tersebut mengambil faidah dari sebuh hadits. Nabi ‘alaihis shalatu wa sallam bersabda, أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus-menerus (dilakukan) meskipun sedikit.”[23] Dalam praktik sehari-hari, misalnya menghafal satu hari satu hadits secara kontinyu lebih baik daripada menghafal satu hari 100 hadits tapi langsung berhenti. عَنْ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ رضي الله عنه قَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ. اتَّهِمُوا أَنْفُسَكُمْ، لَقَدْ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ، وَلَوْ نَرَى قِتَالًا لَقَاتَلْنَا، وَذَلِكَ فِي الصُّلْحِ الَّذِي كَانَ بَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْمُشْرِكِينَ. فَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ؛ أَلَسْنَا عَلَى حَقٍّ وَهُمْ عَلَى بَاطِلٍ؟ قَالَ: ((بَلَى)). قَالَ: أَلَيْسَ قَتْلَانَا فِي الْجَنَّةِ وَقَتْلَاهُمْ فِي النَّارِ؟ قَالَ: ((بَلَى)). قَالَ فَفِيمَ نُعْطِي الدَّنِيَّةَ فِي دِينِنَا وَنَرْجِعُ، وَلَمَّا يَحْكُمِ اللَّهُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ، فَقَالَ: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ يُضَيِّعَنِي اللَّهُ أَبَدًا. قَالَ: فَانْطَلَقَ عُمَرُ، فَلَمْ يَصْبِرْ مُتَغَيِّظًا، فَأَتَى أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ؛ أَلَسْنَا عَلَى حَقٍّ وَهُمْ عَلَى بَاطِلٍ؟ قَالَ: بَلَى. قَالَ: أَلَيْسَ قَتْلَانَا فِي الْجَنَّةِ وَقَتْلَاهُمْ فِي النَّارِ؟ قَالَ: بَلَى. قَالَ: فَعَلَامَ نُعْطِي الدَّنِيَّةَ فِي دِينِنَا وَنَرْجِعُ، وَلَمَّا يَحْكُمِ اللَّهُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ؟ فَقَالَ: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؛ إِنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ يُضَيِّعَهُ اللَّهُ أَبَدًا. قَالَ: فَنَزَلَ الْقُرْآنُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْفَتْحِ، فَأَرْسَلَ إِلَى عُمَرَ فَأَقْرَأَهُ إِيَّاهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ؛ أَوْ فَتْحٌ هُوَ؟ قَالَ: ((نَعَمْ)) فَطَابَتْ نَفْسُهُ وَرَجَعَ، متفق عليه. Sahal bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu berkata, "Wahai manusia, koreksilah diri kalian masing-masing. Ketika terjadi perjanjian Hudaibiyyah, kami bersama-sama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya waktu itu kami melihat adanya pembunuhan, pasti kami telah berperang. Hal ini terjadi ketika terjadi perjanjian damai antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Musyrik. Maka Umar bin Khatthab datang menghampiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, "Wahai Rasulullah, tidakkah kita dalam kebenaran dan mereka dalam kebathilan?" beliau bersabda, "Ya." Dia berkata, "Bukankah jika kita terbunuh akan masuk surga? sedangkan jika mereka terbunuh, mereka akan masuk neraka?" beliau menjawab, "Ya benar." Umar bertanya, "Mengapakah kita harus mengalah mengenai agama kita, dan pulang begitu saja? Padahal Allah belum memberikan keputusan apa-apa antara kita dengan mereka?" Beliau menjawab, "Wahai Ibnul Khattab, sesungguhnya aku adalah Rasulullah, dan sekali-kali Allah tidak akan menyia-nyiakan aku selama-lamanya." Abu Wa'il berkata, "Umar lalu pergi dalam keadaan tidak puas, bahkan terlihat marah. Lalu dia mendatangi Abu Bakar seraya berkata, "Wahai Abu Bakar, bukankah kita di atas yang hak dan mereka dalam kebathilan." Dia menjawab, "Ya, benar." Umar bertanya, "Tidakkah jika kita terbunuh, maka kita akan masuk surga, sedangkan jika mereka yang terbunuh, maka mereka akan masuk neraka?" Abu Bakar menjawab, "Ya, benar." Umar bertanya lagi, "Mengapakah kita harus mengalah mengenai agama kita, dan pulang begitu saja? Padahal Allah belum memberikan keputusan apa-apa antara kita dengan mereka?" Maka Abu Bakar berkata, "Wahai Ibnul Khattab, sesungguhnya beliau adalah Rasulullah, dan sekali-kali Allah tidak akan menyia-nyiakan beliau selama-lamanya." Suhail berkata, "Maka turunlah ayat Al-Quran kepada Rasulullah, yaitu surah Al Fath. Maka beliau menyuruh seseorang untuk membacakan kepada Umar, lantas dia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah itu yang dimaksud dengan kemenangan?" beliau bersabda, "Ya, benar." Barulah dia bertobat dan kembali.[24] Para penuntut ilmu harus bersungguh-sungguh dan istiqamah dalam menjaga agama ini. Agar agama tersebut tidak hilang dari diri kita. Lunturnya agama dari diri kita adalah sebesar-besarnya musibah. Karena itu kita disyariatkan berdoa dengan doa yang diajarkan oleh Nabi kita. وَلا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا ، وَلا مَبْلَغَ عِلْمِنَا “Janganlah engkau beri musibah dalam agama kami, dan jangan engkau jadikan dunia tujuan kami, dan ilmu untuk mencari dunia.”[25] Yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah agama atau iman kami berkurang; hilang sedikit demi sedikit. Contohnya adalah adanya keyakinan yang salah, sikap kurang taat, atau cenderung menjalankan hal-hal yang haram. Maka musibah dalam agama ini musibah yang besar bagi muslim, tidak ada gantinya. Berbeda dengan musibah dunia. Untuk itu biar tidak hilang ilmu yang sedikit ada diamalkan secara dawam; kontinyu. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, هَتَفَ العِلْمُ بالعَمَلِ؛ فإِنْ أَجابَهُ، وإِلا ارْتَحَل “Ilmu dipanggil dengan cara diamalkan, jika tidak maka akan hilang.” Ada sebuah tulisan yang sangat bagus karya Al-Khatib Al-Baghdadi; Iqtidha-ul ‘Ilmi al-‘Amal. Dalam buku tersebut tersurat banyak nash hadits dan nasihat para ulama salaf. Cocok untuk memperteguh para penuntut ilmu. Berkata Khatib Baghdadi, “Aku wasiatkan kepada kalian wahai para penuntut ilmu hendaklah selalu menjaga keikhlasan dalam belajar dan bersungguh-sungguh dalam mengamalkan hal-hal yang diwajibkan. Sesungguhnya ilmu adalah pohon dan amal adalah buahnya. Tidak bisa dikatakan sebagai ahli ilmu kalau tidak mengamalkan ilmunya.[26] عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ، رواه الترمذي Abu Barzah al-Aslami menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang ilmunya untuk apa dia amalkan, tentang hartanya dari mana dia peroleh dan kemana dibelanjakan, juga tentang tubuhnya untuk apa digunakan.”[27] Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, كَانَ الرَّجُلُ إِذَا طَلَبَ الْعِلْمَ لَمْ يَلْبَثْ أَنْ يُرَى ذَلِكَ فِي بَصَرِهِ وَتَخَشُّعِهِ وَلِسَانِهِ وَيَدِهِ وَصَلاَتِهِ وَصِلَتِهِ وَزُهْدِهِ “Jika seorang lelaki serius mencari ilmu, maka pengaruhnya senantiasa nampak pada pandangan, kekhusyukan, lisan, tangan, shalat dan kezuhudannya.”[28] Muhammad bin Sirin rahimahullahu berkata, كَانُوا يَتَعَلَّمُوْنَ اَلْهَدْيَ كَمَا يَتَعَلَّمُوْنَ اَلْعِلْمَMereka belajar tuntunan hidup sebagaimana belajar ilmu.”[29] Inilah sederat petunjuk adab dan akhlak yang mestinya dibaca dan dipelajari oleh para penuntut ilmu untuk kemudian dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian akan menjadi menjelma menjadi perilaku dan perhiasan pada dirinya. Kalau itu terlaksana maka menjadi tanda-tanda orang yang termasuk beruntung di dunia dan di akhirat. Amin. Digubah secara bebas oleh Al-Ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc., dari buku Ahaditsu Al-Akhlaq halaman 349-362 karya Syaikh Prof. Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Abad al-Badr terbitan Darul Imam Muslim Publishing cetakan pertama 1441-2020. Edited by @rimoesta. [1] Dikutip oleh Ibnu al-Jauzi dalam Shifatush Shafwah 2/330. [2] Hadits riwayatkan Abu Dawud no. 3641 dan At-Tirmidzi no. 2982; disahihkan oleh Al-Albani. [3] Hadits diriwayatkan Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037. [4] Hadits riwayat Ahmad no. 23958 dan Ibnu Hibban no. 4706; sanadnya disahihkan oleh Al-Albani. [5] Hadits riwayat Ahmad no. 2755 dan Thabrani di dalam Makarimul Akhlaq hlm. 147. [6] Hadits riwayat Ahmad no. 17114 , Tirmidzi no. 347, dan Nasa-i no. 1304 [7] Hadits riwayat Muslim no. 55. [8] Majmu’ Rasa-il Ibni Rajab 2/411 [9] Hadits riwayat Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907. [10] Dikutip Al-Baihaqi dalam As-Syu’ab no. 4373 dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’u Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi 246. [11] Dikutip Al-Khatib dalam Al-Jami’ Liakhlaqir Rawi wa Adabus Sami’ 1/317. [12] Masa-ilu Ahmada ibn Hambal, Riwayat ibn Hani’ no. 1931. [13] Thabaqat Al-Hanabilah 1/380-381. [14] Hadits riwayat Muslim no. 1905. [15] Syarah Nawawi terhadap Shahih Muslim  51/13. [16] Hadits riwayat Abu Dawud no. 3664; disahihkan oleh Al-Albani [17] Hadits riwayat Tirmidzi no. 2654; disahihkan oleh Al-Albani. [18] Hadits riwayat Bukhari no. 2457 dan Muslim no. 2668. [19] Hadits riwayat Muslim no. 91. [20] Thabaqat Al-Hanabilah 1/382. [21] Ad-Durul Mantsur karya Suyuthi [22] Dikutip oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Jami’ Li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’ 1/232. [23] Hadits diriwayatkan oleh Bukhari no. 6464 & 5861 dan Muslim no. 783; sumber dari Aisyah istri Rasulillah. [24] Hadits diriwayatkan oleh Bukhari no. 3182 & 4844 dan Muslim no. 1785. [25] Hadits riwayat Tirmidzi no. 3502; dihasankan oleh Al-Albani. [26] Dikutip oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Iqtidha-ul ‘Ilmil ‘Amal 40. [27] Hadits riwayat Tirmidzi no. 2417; disahihkan oleh Al-Albani. [28] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Az-Zuhd 1463 dan Darimi dalam As-Sunan 397-398. [29] Dikutip oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Jami’ Li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’ 1/96.

Author

Tag