DIAMLAH KALA MARAH MELANDA
Marah memang kadang dating menyusup ke dalam jiwa seseorang. Jika terbawa emosinya maka ucapan dan perbuatan akan keluar begitu saja. Marah malah semakin membara. Karena itu saat marah dating menggoda, diamlah. Menahan diri untuk tidak berkata dan berbuat. Kalau kita berusaha menahan diri dari berkata dan berbuat saat marah mendera, berusaha menolak pengaruh jeleknya maka insyaallah marah tersebut akan segera mereda. Kembali seperti keadaan sedang tidak marah, sebagaimana petunjuk dalam ayat di bawah ini: وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ “...dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. (Asy-Syura:37) وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ “...dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran:134)[1] Orang yang marah hendaknya memperbanyak ber-ta’awwudz. Memohon perlindungan kepada Allah dihindarkan dari pengaruh bisikan setan. Karena setan senang dengan perselisihan dan permusuhan. Setan akan semakin mudah mempengaruhi ketika orang sedang marah. Setan akan mendorong orang tersebut untuk mengeluarkan kata-kata atau perbuatan yang kotor, jelek, dan rendahan. عَنْ سُلَيْمَانَ بْنَ صُرَدٍ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ أَحَدُهُمَا فَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى انْتَفَخَ وَجْهُهُ وَتَغَيَّرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ الَّذِي يَجِدُ فَانْطَلَقَ إِلَيْهِ الرَّجُلُ فَأَخْبَرَهُ بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ فَقَالَ أَتُرَى بِي بَأْسٌ أَمَجْنُونٌ أَنَا اذْهَبْ Sulaiman bin Shurd seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Dua orang laki-laki saling memaki di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah seorang di antara keduanya tampak sangat marah hingga mukanya berubah menjadi merah. Lalu Rasulullah bersabda, “Sungguh aku mengetahui satu kalimat yang seandainya diucapkan, maka marahnya akan hilang." Orang yang mendengar ucapan beliau beranjak pergi dan mengabarkan nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, katanya, ‘Berlindunglah kepada Allah dari setan!’ Pria yang marah tersebut berkata, 'Apakah kamu menganggap saya ada masalah? Sudah gilakah saya? Pergilah sana!"[2] Imam an-Nawawi rahimahullah dalam menjelaskan hadits di atas berkata, “Sungguh marah yang bukan karena Allah akan mudah disusupi setan. Orang yang sedang marah hendaknya membaca “a’udzu billahi minasy syaithanir rajim”. Dengan ta’awwudz tersebut maka rasa marah akan mereda. Adapun perkataan laki-laki yang disebutkan tampak sangat marah dalam hadits tersebut “apakah kamu menganggap saya sudah gila?” menunjukkan kualitas orangnya. Kalimat tersebut tidak keluar kecuali dari orang yang tidak paham agama atau tidak tersentuh cahaya syariat yang mulia ini. Dirinya menganggap bahwa minta perlindungan kepada Allah dari setan hanyalah untuk orang gila saja. Dikiranya marah itu bukan karena pengaruh setan. Jadi orang tersebut tampak hilangkeseimbangannya, ucapannya buruk, perbuatannya tercela, dan cenderung membalas untuk menyakit. Banyak keburukan yang dilakukan oleh dorongan rasa marah. Inilah rahasia mengapa ketika Rasulullah dimintai nasihat, maka beliau memberikan nasihat agar tidak marah. Karena beliau tahu orang yang meminta nasihat adalah orang yang suka marah. Untuk menekankan betapa penting pesan tersebut beliau mengulangi hingga tiga kali. Ini menunjukkan bahwa kerusaka akibat luapan marah sangat serius.[3] Sebagian orang mengira bahwa keperkasaan adalah dengan kekuatan berkelahi. Sementara kalau menurut Rasulullah kekuatan itu ada pada batas dia menahan rasa marah. Hal ini beliau nyatakan dalam sebuah hadits: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampakain bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah."[4] Memang yang namanya asshur’ah (gulat) perlu tenaga dan kekuatan sehingga bisa mengalahkan. Ini yang umum di kalangan manusia. Oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengoreksi hal tersebut bahwa kekuatan sejatinya bukanlah dalam hal itu, tetapi orang yang bisa menahan dirinya saat marah. عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ جُرْعَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا عِنْدَ اللَّهِ مِنْ جُرْعَةِ غَيْظٍ كَظَمَهَا عَبْدٌ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada kekuatan menahan yang pahalanya lebih besar di sisi Allah daripada kekuatan menahan amarah seorang hamba demi berharap atas wajah Allah."[5] Itulah menahan diri yang paling utama. Yaitu menahan amarahnya dan tidak melampiaskan dendamnya demi demi terjaga agamanya atau karena mencari ridha dan pahala Allah akan mendapatkan keutamaan dan derajat yang tinggi. Kemudian Nabi menggambarkan bahwa dalam hal ini tidak terlepas dari dua hal: berhubungan dengan lisan dan terkait dengan anggota badan (tangan dan kaki). Pertama terkait dengan lisan Tentang hal ini disinggung dalam Al-Musnad karya Imam Hamad. Sebuah riwayat dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah bersabda, وَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ “Jika salah seorang di antara kalian marah maka hendaklah dia diam!"[6] Hadits ini menunjukkan bahwa pada waktu marah sebaiknya tidak berbicara; berusahalah untuk diam. Karena kalau berbicara akan semakin banyak keluar kata yang biasanya tidak terpuji; bisa kata-kata celaan, cacian, makian, umpatan, hinaan, laknat atau kalimat kotor & jorok. Kedua terkait dengan perbuatan Masih dari Al-Musnad yang sama. Sebuah hadits yang berasal dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda, إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ "Jika salah seorang di antara kalian marah sementara dalam keadaan berdiri hendaklah segera duduk semoga kemarahan itu reda; jika tidak hendaklah berbaring."[7] Begitu pula jika sedang menghadapi orang yang sangat marah hendaknya menjauhkan diri, mungkin bisa membantunya untuk meredakan dia. Sekiranya memungkinkan kalau masih marah juga diminta baik-baik agar duduk atau berbaring. Kesimpulannya: Apapun jenis marahnya hendaknya seseorang menahan diri agar tidak terlepas mengikuti kemarahan. Baik ucapan maupun perbuatan. Tahan terus hingga marah mereda. Ini adalah hakikat kekuatan; menahan diri saat sedang marah. Prinsip yang harus dipegang oleh kita semua muslim adalah tidak terburu-buru. Karena tergesa-gesa itu adalah dari setan. Demikian juga tergesa-gesa bertindak dan berucap saat sedang marah akan mudah disetir oleh setan. Ada sebuah wejangan dari Rasulullah, التَّأَنِّي مِنَ اللهِ، وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ “Bersikap hati-hati tidak tergesa-gesa adalah dari Allah, sementara terburu-buru itu dari pengarush setan.”[8] Orang hendaknya berpikir matang-matang sebelum bertindak dan memperhatikan akibatnya sebelum berbuat. Dengan demikian dirinya akan selamat dari marah dan akibat lanjutannya. Ini adalah sikap dan perangai yang terpuji. Rasullah bersabda, السَّمْتُ الْحَسَنُ وَالتُّؤَدَةُ وَالِاقْتِصَادُ جُزْءٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ “Perangai yang baik, sifat kehati-hatian, dan tidak berlebihan merupakan bagian dari dua puluh empat bagian dari sifat kenabian."[9] Assamtul Hasan adalah jalan yang diridhai; berjalan dengan tenang dan rendah hati. Attu-adatu adalah bersikap lembut, sabar, jauh dari sifat bodoh dan keras. Al-Iqtishadu adalah bersikap tengah-tengah moderat jauh dari ekstrim. Perkataan ujung hadits tersebut menandaskan bahwa hal tersebut merupakan sifat mulia dan karakter agung para nabi. Hendaknya kita mencoba untuk meneladani sifat para nabi tersebut. أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (Al-An’am:90). Bagaimana kita mewujudkan dalam kehidupan kita sehari-hari agar mendapatkan keselamatan dari sambaran api amarah? Kita mesti membiasakan diri mempunyai sifat lembut dalam berbagai urusan. Sikap lembut adalah sifat agung yang dicintai Allah untuk dipunyai oleh para hamba-Nya. Rasulullah bersabda, يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ "Hai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut. Dia mencintai sikap lemah lembut. Allah akan memberikan pada sikap lemah lembut sesuatu yang tidak Dia berikan pada sikap yang keras dan juga akan memberikan apa-apa yang tidak diberikan pada sikap lainnya."[10] عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ اسْتَأْذَنَ رَهْطٌ مِنْ الْيَهُودِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكَ فَقُلْتُ بَلْ عَلَيْكُمْ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ قُلْتُ أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا قَالَ قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ Aisyah radliallahu 'anha menceritakan bahwa sekelompok orang Yahudi meminta izin kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengucapkan 'Assamu 'alaika (semoga kematian tertimpa kepada kalian), saya menjawab, 'Bal 'alaikumus sam wal la'nah (Bahkan untuk kalianlah kematian dan laknat).' Maka Nabi berujar, 'Wahai Aisyah sesungguhnya Allah menyukai kelembutan dalam segala urusan.' Saya menjawab, 'Tidakkah engkau mendengar apa yang mereka ucapkan? ' Beliau menjawab, "Saya pun sudah menjawabnya: wa'alaikum (bahkan untuk kalian)."[11] Alangkah eloknya seseorang apabila kelembutan itu dimilikinya. Tidaklah kelembutan ada pada sesuatu tidak lain akan menghiasinya dan sebaliknya. Seseorang yang mendapatkan anugerah sifat lembut maka dia telah mendapatkan semua kebaikan. Sebaliknya, yang tidak mendapatkan sifat kelembutan berarti tidak mendapatkan kebaikan. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah: مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ. (رواه مسلم). “Barangsiapa dijauhkan dari sifat lemah lembut (kasih sayang), berarti ia dijauhkan dari kebaikan.'"[12] إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ. (رواه مسلم). "Sesungguhnya kasih sayang itu tidak akan berada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (dengan kebaikan). Sebaliknya, jika kasih sayang itu dicabut dari sesuatu, melainkan ia akan membuatnya menjadi buruk."[13] ارْفُقِي فَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَرَادَ بِأَهْلِ بَيْتٍ خَيْرًا دَلَّهُمْ عَلَى بَابِ الرِّفْقِ. (رواه أحمد). "Berbuatlah baik wahai Aisyah, karena apabila Allah menghendaki suatu keluarga menjadi baik, Dia akan menunjuki mereka pintu kelembutan."[14] Kelembutan di saini adalah meliputi lembut dalam perkataan dan perbuatan, lawan sifat dan sikap keras & kaku. Sifat lembut bisa menghiasi semua urusan, membuat hidup lebih indah, menyempurnakan keimanan, sebagai pertanda seseorang mempraktikkan kebaikan, sekaligus mempercantik tujuannya di dunia dan akhirat. Memang sifat lembut telah melekat pada jiwa nabi kita Muhammad. Kalau kita perhatikan riwayat perjalanan hidup beliau dipenuhi dengan keindahan kelembutan dan kasih saying, akhlak yang mulia, dan adab yang sempurna. Dan, beliau adalah suri teladan kita sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat.” (Al-Ahzab:21) فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali Imran:159) Kesaksian juga pernah disebutkan oleh orang dari kelompok kafir Quraisy. Laki-laki itu menemui Rasul, dia menceritakan bahwa tidak ada orang yang paling dibencinya di muka bumi ini selain wajah Rasul. Tiba-tiba begitu berjumpa langsung dengan beliau menyaksikan kelembutannya dalam bermuamalah seketika berubah. Sejak itu tidak ada orang yang paling dicintainya di muka bumi ini selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُولُ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ سَيِّدُ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ فَخَرَجَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ مَاذَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ قَالَ عِنْدِي يَا مُحَمَّدُ خَيْرٌ إِنْ تَقْتُلْ تَقْتُلْ ذَا دَمٍ وَإِنْ تُنْعِمْ تُنْعِمْ عَلَى شَاكِرٍ وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْمَالَ فَسَلْ تُعْطَ مِنْهُ مَا شِئْتَ فَتَرَكَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا كَانَ الْغَدُ قَالَ لَهُ مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ قَالَ مَا قُلْتُ لَكَ إِنْ تُنْعِمْ تُنْعِمْ عَلَى شَاكِرٍ وَإِنْ تَقْتُلْ تَقْتُلْ ذَا دَمٍ وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْمَالَ فَسَلْ تُعْطَ مِنْهُ مَا شِئْتَ فَتَرَكَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى كَانَ بَعْدَ الْغَدِ فَقَالَ مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ فَقَالَ عِنْدِي مَا قُلْتُ لَكَ إِنْ تُنْعِمْ تُنْعِمْ عَلَى شَاكِرٍ وَإِنْ تَقْتُلْ تَقْتُلْ ذَا دَمٍ وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْمَالَ فَسَلْ تُعْطَ مِنْهُ مَا شِئْتَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْطَلِقُوا بِثُمَامَةَ فَانْطَلَقُوا بِهِ إِلَى نَخْلٍ قَرِيبٍ مِنْ الْمَسْجِدِ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ يَا مُحَمَّدُ وَاللَّهِ مَا كَانَ عَلَى وَجْهٌ الْأَرْضِ أَبْغَضَ إِلَيَّ مِنْ وَجْهِكَ فَقَدْ أَصْبَحَ وَجْهُكَ أَحَبَّ الْوُجُوهِ كُلِّهَا إِلَيَّ وْ وَاللَّهِ مَا كَانَ مِنْ دِينٍ أَبْغَضَ إِلَيَّ مِنْ دِينِكَ فَأَصْبَحَ دِينُكَ أَحَبَّ الْأَدْيَانِ إِلَيَّ وَاللَّهِ مَا كَانَ مِنْ بَلَدٍ أَبْغَضَ إِلَيَّ مِنْ بَلَدِكَ فَأَصْبَحَ بَلَدُكَ أَحَبَّ الْبِلَادِ إِلَيَّ. (رواه أحمد). Abu Hurairah menceritkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim pasukan menuju Nejed. Pasukan tersebut menangkap seorang dari Bani Hanifah, Tsumamah bin Utsal pemimpin penduduk Yamamah. Orang itu mereka ikat pada salah satu tiang masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya dan bersabda kepadanya, "Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?" ia menjawab, "Wahai Muhammad, aku memiliki apa yang lebih baik, jika engkau membunuhlu maka engkau telah membunuh yang memiliki darah, dan jika engkau memberi maka engkau memberi orang yang bersyukur, namun jika engkau menginginkan harta maka mintalah niscaya engkau akan diberi apa saja yang engkau inginkan.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya. Keesokan harinya beliau kembali menemuinya seraya bertanya, ‘Apa yang engkau miliki wahai Tsumamah?’ Ia menjawab, ‘Seperti yang aku katakan, jika engkau memberi maka engkau memberi orang yang bersyukur, jika engkau membunuh maka engkau membunuh yang memiliki darah, jika engkau menginginkan harta maka mintalah niscaya engkau akan diberi apa yang engkau mau.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya. Lagi, keesokan harinya beliau bertanya lagi, ‘Apa yang engkau miliki wahai Tsumamah?’ Ia menjawab, "Seperti yang aku katakan, jika engkau memberi maka engkau memberi orang yang bersyukur, jika engkau membunuh maka engkau membunuh yang memiliki darah, jika engkau menginginkan harta maka mintalah niscaya engkau akan diberi apa yang engkau mau!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda kepada sahabatnya, "Bawalah Tsumamah!’ Mereka pun membawanya ke sebatang pohon kurma di samping masjid, ia pun mandi dan masuk masjid kembali. Tiba-tiba ia berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah melainkan hanya Allah dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allah, demi Allah, tidak ada wajah di atas bumi ini yang aku benci selain wajahmu, namun sekarang wajahmu menjadi wajah yang aku cintai dari pada yang lain. Demi Allah tidak ada agama yang aku benci selain dari agamamu, namun saat ini agamamu menjadi agama yang paling aku cintai di antara yang lain. Demi Allah tidak ada wilayah yang paling aku benci selain tempatmu, namun sekarang ia menjadi wilayah yang paling aku cintai di antara yang lain.”[15] Kisah dalam hadits yang diriwayatkan dari para sahabat yang menggambarkan kelembutan prinadi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ada banyak sekali. Kita cuplikkan beberapa di antaranya: عَنْ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَهُوَ عَمُّ إِسْحَقَ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَهْ مَهْ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَمَرَ رَجُلًا مِنْ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ Anas bin Malik—yaitu pamannya Ishaq—berkata, "Ketika kami berada di masjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang Badui yang kemudian berdiri dan kencing di masjid. Maka para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, 'Cukup, cukup'." Anas berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda: "Janganlah kalian menghentikan kencingnya, biarkanlah dia hingga dia selesai kencing." Kemudian Rasulullah memanggilnya seraya berkata kepadanya: "Sesungguhnya masjid ini tidak layak dari kencing ini dan tidak pula kotoran tersebut. Ia hanya untuk berdzikir kepada Allah, shalat, dan membaca al-Qur'an, " atau sebagaimana yang dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas melanjutkan ucapannya, "Lalu beliau memerintahkan seorang laki-laki dari para sahabat (mengambil air), lalu dia membawa air satu ember dan mengguyurnya."[16] عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَتْهُ أَنَّهَا قَالَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ قَالَ لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ فَقَالَ ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. (رواه البخاري). 'Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita kepadanya bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Apakah baginda pernah mengalami peristiwa yang lebih berat dari kejadian perang Uhud?’ Beliau menjawab, "Sungguh aku sering mengalami peristiwa dari kaummu. Dan peristiwa yang paling berat yang pernah aku alami dalam menghadapi mereka adalah ketika peristiwa al-'Aqabah, saat aku menawarkan diriku kepada Ibnu 'Abdi Yalil bin 'Abdu Kulal agar membantuku namun dia tidak mau memenuhi keinginanku hingga akhirnya aku pergi dengan wajah gelisah dan aku tidak menjadi tenang kecuali ketika berada di Qarnu ats-Tsa'aalib (Qarnu al-Manazil). Aku mendongakkan kepalaku ternyata aku berada di bawah awan yang memayungiku lalu aku melihat ke arah sana dan ternyata ada malaikat Jibril yang kemudian memanggilku seraya berkata, ‘Sesungguhnya Allah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan apa yang mereka timpakan kepadamu. Dan Allah telah mengirim kepadamu malaikat gunung yang siap diperintah apa saja sesuai kehendakmu.’ Maka malaikat gunung berseru dan memberi salam kepadaku kemudian berkata, ‘Wahai Muhammad. Apa yang kamu inginkan katakanlah. Jika kamu kehendaki, aku timpakan kepada mereka dua gunung ini.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak. Bahkan aku berharap Allah akan memunculkan dari anak keturunan mereka orang yang menyembah Allah satu-satunya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun."[17] عَنْ أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا وَسَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرْنَاهُ وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا فَقَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ. (رواه البخاري). Abu Sulaiman Malik bin Al-Huwairits berkata, "Kami datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan waktu itu kami adalah pemuda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama dua puluh malam. Beliau mengira kalau kami merindukan keluarga kami, maka beliau bertanya tentang keluarga kami yang kami tinggalkan. Kami pun memberitahukannya. Sungguh beliau adalah seorang yang sangat penyayang dan sangat lembut. Beliau bersabda, "Pulanglah ke keluarga kalian. Tinggallah bersama mereka dan ajari mereka serta perintahkan mereka dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat. Jika telah datang waktu shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan yang paling tua dari kalian hendaknya menjadi imam kalian."[18] Hadits-hadits di atas adalah contoh nyata persaksian sahabat betapa sisi-sisi kehidupan Nabi, dihiasi dengan sifat kelembutan dan berakhlak yang mulia. Memungkasi tulisan ini kiranya baik kalau kita tutup dengan disimpulkan Ibnul Qayyim bahwa akhlak yang mulia dibangun di atas 4 asas: Sabar, 'Iffah, Berani, dan Adil.
  1. Sabar. Banyak husnuzhzhan terhadap sesama saudara muslim. Bersikap lembut, sabar, dan tidak keras; menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan akibat yang tidak baik.
  2. Iffah. Seseorang harus mampu untuk menjauhi hal-hal yang rendahan, hina, dan jelek; berupa perkataan maupun perbuatan. Mempertebal rasa malu, karena malu adalah pangkal semua kebaikan. Menjauhkan diri dari kebiasaan keji, bohong, dusta, ghibah, dan namimah.
  3. As-Syaja’ah. Sifat untuk mempertahankan harga diri dan menjaga akhlak yang mulia, menahan hawa nafsu dan menghiasi diri dengan kelembutan.
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ. (رواه البخاري). "Tidaklah orang yang kuat adalah orang yang pandai bergulat, tapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan diri ketika sedang marah." Jadi hakikat syajaah adalah menahan diri untuk berbuat sesuatu yang sebenarnya mampu dilakukan demi maslahat yang lebih besar.
  1. Adil. Mampu bersikap moderat (pertengahan). Tidak bersikap berlebihan dan tidak juga meremehkan. Adil dalam bermuamalah baik dengan keluarga, kerabat, teman dekat, maupun orang lain.
Sebaliknya, merebaknya akhlak yang rendah tidak lepas dari 4 perkara: kebodohan, kelaliman, syahwat, dan marah.
  1. Jahl (kebodohan): Akibatnya salah melihat; yang baik dianggap jelek yang sempurna dianggap kurang, dan sebaliknya.
  2. Zhulm. Meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, tidak suka terhadap hal yang diridhoi Allah, bakhil tentang sesuatu yang semestinya diberikan, keras terhadap sesuatu yang mestinya disikapi dengan lembut, bersikap lemah yang mestinya disikapi dengan penuh keberanian, takabur terhadap orang yang tawadhu, dan lain-lain.
  3. Syahwat. Mempunyai sifat yang tamak, kikir, bakhil, tidak loman, keperluannya tidak habis-habis yang dipikirkan perkara dunia saja.
  4. Ghadhab. Satu sikap yang muncul karena punya sifat sombong, dengki, hasad, suka permusuhan, dan kebodohan.
Memang akhlak yang mulia adalah nikmat dari Allah; hanya diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Thawus bin Kaisan rahimahullah berkata, إِنَّ هَذِهِ الْأَخْلَاقَ مَنَائِحُ يَمْنَحُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ، فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِعَبْدٍ خَيْرًا مَنَحَهُ مِنْهَا خُلُقًا صَالِحًا ”Kemuliaan akhlak seseorang adalah semata– mata anugerah dari Allah. Dia berikan kepada hamba yang kehendaki-Nya. Apabila Allah menghendaki seseorang itu baik, maka Allah pun karuniakan akhlak yang baik pula.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya di dalam Makarimul Akhlaq). Maka harapan kita bagaimana akhlak yang mulia ini melekat pada diri kita. Betul-betul kita harus selalu berharap dan berdoa agar menjadi hamba yang berakhlak mulia. Doa-doa semacam ini disunnahkan untuk kita unjukkan kepada Allah. اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ. (رواه الترمذي). "ALAAHUMMA INNII A'UUDZU BIKA MIN MUNKARAATIL AKHLAAQ WAL A'MAALI WAL AHWAAI" (Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari berbagai kemungkaran akhlak, amal maupun hawa nafsu) اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا. (رواه مسلم). “ALLAAHUMMA AATI NAFSII TAQWAAHAA, WAZAKKIHAA ANTA KHAIRU MAN ZAKKAAHAA, ANTA WALIYYUHAA WAMAULAAHAA” (Ya Allah ya Tuhanku, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah ia, sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik Dzat yang dapat menyucikannya, Engkaulah yang menguasai dan yang menjaganya) اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ. (رواه مسلم). ALLAAHUMMAHDINII LIAHSANAIL AKHLAAQ LAA YAHDII LIAHSANIHAA ILLAA ANTA WASHRIF 'ANNII SAYYI`AHAA LAA YASHRIFU 'ANNII SAYYI`AHAA ILLAA ANTA (Ya Allah ya Tuhanku, tunjukilah kepadaku akhlak yang paling bagus. Sesungguhnya tidak ada yang dapat menunjukkannya melainkan hanya Engkau. Dan jauhkanlah akhlak yang buruk dariku, karena sesungguhnya tidak ada yang sanggup menjauhkannya melainkan hanya Engkau) Kita harus merutinkan memanjatkan doa-doa tersebut kepada Allah; dengan mengambil ikhtiar yang sesuai syariat. Membiasakan diri untuk bersungguh-sungguh mempraktikkan akhlak dalam muamalah sehari-hari dengan tetap mengharapkan taufiq dari-Nya. Disadur oleh Al-Ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc., dari buku Ahaditsul Akhlaq halaman 222-229 karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-‘Abad terbitan Darul Imam Muslim Publishing tahun 1441. Edited by @rimoesta[1] Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 364/1 [2] Hadits riwayat al-Bukhari no. 6048 dan Muslim 2610. Lafal ini ada pada riwayat Bukhari. [3] Syarh Shahihil Muslim karya Imam Nawawi 163/16. [4] Hadits riwayat Bukhari no. 6114 dan Muslim no. 2609. [5] Hadits riwayat Ibnu Majah 4189 disahihkan oleh Al-Albani. [6] Hadits riwayat Ahmad no. 2136 dan Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad 245; disahihkan oleh Al-Albani. [7] Hadits riwayat Ahmad no. 21348 dan Abu Dawud no. 4782; disahihkan oleh Al-Albani [8] Hadits diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 4256; disahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 3011. [9] Hadits riwayat At-Tirmidzi no. 2010 dihasankan oleh Al-Albani. [10] Hadits riwayat Al-Bukhari no. 6927 dan Muslim no. 2593. [11][11] Hadits riwayat Bukhari no. 6024 dan Muslim no. 2165. [12] Hadits riwayat Muslim no. 2592. [13]Hadits riwayat Muslim no. 2594. [14] Hadits riwayat Ahmad no. 24734; disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahih no. 253. [15] Hadits riwayat Ahmad no. 9833; disahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 3964. [16] Hadits riwayat Muslim no. 285. [17] Hadits riwayat Bukhari no. 3231 dan Muslim no. 1795. [18] Hadits riwayat Bkhari no. 6008.

Author

Tag