DOSA DURHAKA, MENJADIKAN MASUK NERAKA
Birrul walidain diletakkan di awal kitab akhlak yang ditulis oleh Syaikh  Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-‘Abad al-Badr. Mengapa? Karena kedua orang tua adalah sosok yang paling berhak untuk disikapi dengan baik. Seorang anak mesti bermuamalah dengan baik terhadap keduanya. Maka durhaka terhadapnya akan mengakibatkan rusaknya birrul walidain dan termasuk serendah-rendahnya akhlak. Termasuk dalam dosa besar dan kejahatan di sisi Allah maupun manusia. Nabi memperingatkan hal ini dalam hadits-hadits yang banyak.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ. (رواه البخاري). 

'Abdurrahman bin Abi Bakrah menceritakan bahwa bapaknya radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Apakah kalian mau aku beritahu dosa besar yang paling besar?" Beliau menyatakannya tiga kali. Mereka menjawab, "Mau, wahai Rasulullah". Maka beliau bersabda, "Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua". Lalu beliau duduk dari sebelumnya berbaring kemudian melanjutkan sabdanya: "Ketahuilah, juga ucapan keji (curang)". Dia berkata, "Beliau terus saja mengatakannya berulang-ulang hingga kami mengatakannya 'Duh…sekiranya beliau diam."

عَنْ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَبَائِرَ أَوْ سُئِلَ عَنْ الْكَبَائِرِ فَقَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ فَقَالَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قَالَ قَوْلُ الزُّورِ أَوْ قَالَ شَهَادَةُ الزُّورِ قَالَ شُعْبَةُ وَأَكْثَرُ ظَنِّي أَنَّهُ قَالَ شَهَادَةُ الزُّورِ. (رواه البخاري). 

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang dosa besar atau beliau ditanya tentang dosa besar, lalu beliau menjawab, "Menyekutukan Allah, membunuh jiwa dan durhaka kepada kedua orang tua." Lalu beliau bersabda, "Maukah aku beritahukan kepada kalian yang termasuk dari dosa besar?" beliau bersabda, "Perkataan dusta atau beliau bersabda, "Kesaksian palsu." Syu'bah mengatakan, "Dan saya menyangka bahwa beliau mengatakan, "Kesaksian palsu."

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَبَائِرُ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ. (رواه البخاري). 

Abdullah bin Amru dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Dosa besar ialah menyekutukan Allah, durhaka kepada orangtua, membunuh, dan bersumpah palsu."   ‘Uququl walidain berasal dari kata al-‘aqqu artinya merobek atau memutus. Dalam hal ini maksudnya memutus hubungan dengan kedua orang tua atau menyakiti keduanya, sedikit atau banyak. Biasanya karena sikap dan ucapan yang membuat marah keduanya atau apa saja yang membuat sesak keduanya. Kebalikan dari birrul walidain adalah semua kebaikan untuk keduanya. Al-Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang birrul walidain dan ‘uququl walidain (durhaka kepada keduanya). Dia menjawab, “Birrul walidain ialah pengorbanan apa yang dimiliki (baik jiwa raga dan harta untuk keduanya, menaati apa yang diperintahkannya selama tidak bermaksiat kepada Allah). Sedangkan ‘uququl walidain (durhaka kepada keduanya) ialah meninggalkan, mendiamkan, tidak melayani, tidak memberi kebutuhan, tidak menjaga dan sebangsanya.” Durhaka kepada kedua orang tua itu bertingkat-tingkat sebagaimana birrul walidain, tentu semua sesuai dengan kemampuan (besar kecilnya) yang penting berlomba-lomba untuk birrul walidain dan menjauhi untuk berbuat durhaka. Kedua orang tua adalah sebab adanya seorang anak secara lahiriah. Anak yang durhaka berarti termasuk mengingkari fakta tersebut. Ini adalah akhlak yang rusak. Yang kadang anak hanya berpikir bahwa membalas kebaikan orang tua sebatas dengan materi saja. Prasangka seperti itu benar, dia tidak akan bisa membalas kebaikan orang tua dengan materi semata. Kalau dihitung mulai dari mengandung, melahirkan, merawat, dan seterusnya maka berbuat durhaka adalah termasuk dosa besar. Inilah yang dimaksud dengan dalil.

وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا 

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa.” (An-Nisa: 36)

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا 

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al-Isra’: 23)

عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الْأُمَّهَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَكَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ. (رواه البخاري). 

Al-Mughirah bin Syu'bah menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada kedua orang tua, sikap tidak suka memberi namun suka meminta-minta dan perbuatan mengubur anak perempuan hidup-hidup. Allah membenci atas kalian tiga perkara, yaitu suka desas-desus, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta."   Dalam hadits di atas ada kekususan untuk ibu tapi di dalamnya termasuk bapak juga diharamkan. karena durhaka kepada ibu lebih perasa karena perempuan itu lemah,maka birrul didahulukan ibu dari bapak baik dalam tata krama ucapan atau perbuatan sebagaimana hadits yang menjelaskan seorang ibu lebih banyak dan harus lebih dulu yang berlipat 3 kali dalam birrul walidain.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ وَالدَّيُّوثُ وَثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمُدْمِنُ عَلَى الْخَمْرِ وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى. (رواه النسائي) 

Abdullah bin Amru dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat; anak yang durhaka kepada orang tua, wanita yang menyerupai laki-laki, dan dayyuts, yaitu seorang yang merelakan keluarganya berbuat kekejian. Dan tiga golongan mereka tidak akan masuk surga; anak yang durhaka kepada orang tua, pecandu khamr, dan orang yang selalu menyebut-nyebut pemberiannya."   Ini adalah ancaman Allah di akhirat; pendurhaka tidak akan bisa masuk surga. Hal ini menunjukkan statusnya adalah dosa besar. Hanya saja kita ahlus sunnah tetap tidak memutlakkan dosa besar selain syirik dan kufur keluar dari Islam. Kalau pun dineraka tidak akan kekal selama-lamanya asal dia tidak menghalalkan yang Allah haramkan. Bahkan di akhirat urusannya terserah Allah berapa lama dia di neraka. Hal demikian berdasarkan Al-Quran dan Hadits :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ. (رواه الترمذي). 

Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Ridha Allah terdapat pada ridha seorang bapak, dan murka Allah juga terdapat pada murkanya seorang bapak."   Melaknat kedua orang tua, na’udzubillah min dzalik, termasuk dosa yang paling besar. Bentuknya seperti mengata-ngatai orang tua dengan kurang ajar, celaka kamu, neraka, bangsat dan sebagainya. Kewajiban anak adalah berlaku selalu birrul walidain meski telah menjadi orang tua bahkan sampai orang tuanya tersebut meninggal. Hadits ini adalah ancaman yang benar-benar keras, karena arti laknat adalah mendoakan agar dijauhkan dari nikmat, rahmat dan bagaimana kalau itu di tujukan kepada orang tua. Maka tentu dalam Islam ia adalah orang yang paling rusak akhlaknya dan berdosa besar setelah syirik.

عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ قَالَ قُلْنَا لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَخْبِرْنَا بِشَيْءٍ أَسَرَّهُ إِلَيْكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا أَسَرَّ إِلَيَّ شَيْئًا كَتَمَهُ النَّاسَ وَلَكِنِّي سَمِعْتُهُ يَقُولُ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ. (رواه مسلم). 

Abu At-Thufail pernah meminta kepada Ali bin Abu Thalib, "Beritahukanlah kepadaku sesuatu yang pernah dirahasiakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadamu!" Ali menjawab, "Beliau tidak pernah merahasiakan kepadaku sesuatu pun dari manusia, akan tetapi saya mendengar beliau bersabda, "Allah mengutuk orang yang menyembelih untuk selain Allah, dan mengutuk orang yang melindungi tindak kejahatan, mengutuk orang yang mencaci kedua orang tuanya, dan mengutuk orang yang memindahkan tanda batas tanah."

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ. (رواه البخاري)

Abdullah bin 'Amru radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya termasuk dari dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya sendiri, " beliau ditanya; "Kenapa hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?" beliau menjawab, "Seseorang mencela (melaknat) ayah orang lain, kemudian orang tersebut membalas mencela ayah dan ibu orang yang pertama."

عَنْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ، يَقُولُ : " مِنَ الْكَبَائِرِ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى أَنْ يَسْتَسِبَّ الرَّجُلُ لِوَالِدِهِ ". (رواه البخاري) 

Abdullah bin Amru bin Al-'Ash berkata, "Termasuk dosa-dosa besar di sisi Allah subhanahu wa ta'ala adalah seseorang menjadi caci makian bagi kedua orang tuanya." Melaknat orang tua ada yang langsung, ini mungkin jarang terjadi. Yang sering terjadi adalah seseorang melaknat orang tuanya fulan; kemudian si fulan balas melaknat orang tua seseorang tersebut. Jadilah melaknat tidak langsung. Hal ini banyak terjadi; mereka tidak malu dan tidak takut kepada Allah. Dalam majelis saling melaknat membuka aib orang tua masing-masing. Tentu ini termasuk merendahkan agama dan iman juga merupakan tabiat yang hina. Bagaimana seseorang melaknat orang tuanya sendiri? Memang aneh, sangat jarang terjadi, bahkan hampir mustahil ada seorang anak berani melaknat orang tuanya. Itu bahkan ini sejelek-jelek akhlak yang tidak mungkin. Dijelaskan dalam hadits di atas bahwa melaknat atau mencela kedua orang tua itu bisa langsung atau tidak langsung. Keduanya sebagaimana hadits itu dosanya sama; termasuk dosa besar.

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ. (رواه الترمذي). 

"Tidaklah termasuk mukmin orang yang selalu mengungkap aib, melaknat, berperangai buruk, dan suka menyakiti."   Hadits tersebut menegaskan bahwa keburukan-keburukan itu bukanlah akhlak dan sifat seorang mukmin. Bagaimana mungkin melakukan kepada orang pada umumnya saja tidak boleh, apalagi kepada orang tua. Tentu sikap yang sangat jelek. Orang tua di rumah menyiapkan keperluan anak, makan, pakaian, pendidikan dan lain-lain tiba-tiba ada laknat dari luar karena sebab anaknya. Hadits di bawah ini mengarahkan kita agar seorang memilih teman duduk yang baik atau buruk. Kedua kondisi tersebut akan mempengaruhi anak:

نَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً. (رواه البخاري). 

“..Sedangkan pandai besi hanya akan membakar bajumu atau kamu akan mendapatkan bau tidak sedapnya."   Orang yang durhaka kepada kedua orang tua  adalah di lupakan seperti pandai besi tidak boleh dekat-dekat nanti kena baunya atau apinya.

ﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻌﺰﻳﺰ ﻻﺑﻦ ﻣﻬﺮاﻥ: «ﻻ ﺗﺼﺤﺒﻦ ﻋﺎﻗًﺎ؛ ﻓﺈﻧﻪ ﻟﻦ ﻳﻘﺒﻠﻚ ﻭﻗﺪ ﻋﻖ ﻭاﻟﺪﻳﻪ»

Berkata Umar bin Abdul Aziz kepada Ibnu Mihran, “Janganlah kamu bersahabat dengan orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, karena sungguh dia tidak akan bisa menerima kamu, karena dengan orang tuanya saja dia durhaka.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang membodoh-bodohkan, menghina, atau merendahkan orang tua. Dijawab oleh Syaikh: Apabila ada orang yang mencela atau merendahkan orang tua, maka dia wajib mendapatkan hukuman yang berat. Kemudian Ibnu Taimiyah menyampaikan hadits di bawah ini:

عَنْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ، يَقُولُ : " مِنَ الْكَبَائِرِ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى أَنْ يَسْتَسِبَّ الرَّجُلُ لِوَالِدِهِ ". (رواه البخاري)

Abdullah bin Amru bin Al 'Ash berkata, "Termasuk dosa-dosa besar di sisi Allah subhanahu wa ta'ala adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya." Kalau Nabi mengharamkan orang lain mencela orang tua kita, bagaimana beratnya kalau orang itu mencela dan melaknat orang tuanya sendiri. Allah meletakkan hak kedua orang tua setelah hak-Nya (hak Allah).

أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ 

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.” (Luqman: 14)  

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا 

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka.” (Al-Isra’: 23)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ. (رواه الترمذي). 

Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Ada tiga macam doa yang akan dikabulkan yang tidak ada keraguan padanya; doa orang yang terzhalimi, doa musafir, dan doa orang tua (yang menimpakan keburukan) atas anaknya."   Ini adalah pukulan telak bagi anak yang durhaka karena akibatnya luar biasa kalau orang tuanya marah kemudian mendoakan keburukan maka hancurlah anak tersebut. Orang tua tidak akan pernah mendoakan jelek kepada anaknya kecuali sedang dalam keadaan marah. Tentu kalau sudah saking keterlaluan perbuatan anaknya. Kalau dalam keadaan biasa tentu dia akan mendoakan yang baik-baik saja dan berkasih sayang kepada anaknya. Doa orang tua untuk anaknya adalah mustajab (tidak tertolak) baik doa kebaikan atau kejelekan; sebagaimana disebutkan dalam hadits:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «‌دَعْوَةُ ‌الْوَالِدِ ‌لِوَلَدِهِ مِثْلُ دَعْوَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُمَّتِهِ، وَدَعْوَةُ الْوَلَدِ لِوَالِدِهِ مِثْلُ ذَلِكَ»

Rasulullah bersabda, “Doa orang tua untuk anaknya seperti doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umatnya; doa seorang anak orang tuanya pun seperti itu.” Doa ada dua macam bisa baik bisa buruk, hati-hati keduanya mustajab. Maka dengan ini anak harus berusaha maksimal bagaimana agar orang tuanya mendoakan anaknya dengan yang baik-baik dan selalu mencari ridhonya, seorang anak harus selalu berusaha agar orang tuanya tidak marah atau susah karena kita (anak).   Ini ada cerita yang sangat menarik.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَمْ يَتَكَلَّمْ فِي الْمَهْدِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ عِيسَى وَكَانَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ جُرَيْجٌ كَانَ يُصَلِّي جَاءَتْهُ أُمُّهُ فَدَعَتْهُ فَقَالَ أُجِيبُهَا أَوْ أُصَلِّي فَقَالَتْ اللَّهُمَّ لَا تُمِتْهُ حَتَّى تُرِيَهُ وُجُوهَ الْمُومِسَاتِ وَكَانَ جُرَيْجٌ فِي صَوْمَعَتِهِ فَتَعَرَّضَتْ لَهُ امْرَأَةٌ وَكَلَّمَتْهُ فَأَبَى فَأَتَتْ رَاعِيًا فَأَمْكَنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا فَوَلَدَتْ غُلَامًا فَقَالَتْ مِنْ جُرَيْجٍ فَأَتَوْهُ فَكَسَرُوا صَوْمَعَتَهُ وَأَنْزَلُوهُ وَسَبُّوهُ فَتَوَضَّأَ وَصَلَّى ثُمَّ أَتَى الْغُلَامَ فَقَالَ مَنْ أَبُوكَ يَا غُلَامُ قَالَ الرَّاعِي قَالُوا نَبْنِي صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ طِينٍ وَكَانَتْ امْرَأَةٌ تُرْضِعُ ابْنًا لَهَا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ فَمَرَّ بِهَا رَجُلٌ رَاكِبٌ ذُو شَارَةٍ فَقَالَتْ اللَّهُمَّ اجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهُ فَتَرَكَ ثَدْيَهَا وَأَقْبَلَ عَلَى الرَّاكِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى ثَدْيِهَا يَمَصُّهُ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمَصُّ إِصْبَعَهُ ثُمَّ مُرَّ بِأَمَةٍ فَقَالَتْ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ ابْنِي مِثْلَ هَذِهِ فَتَرَكَ ثَدْيَهَا فَقَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا. (رواه البخاري). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada bayi yang bisa berbicara saat masih dalam buaian kecuali tiga orang. (Yang pertama) Nabi 'Isa 'alaihis salam. (Yang kedua), dahulu ada seorang laki-laki Bani Isra'il, yang dipanggil dengan nama Juraij, ketika dia sedang melaksanakan shalat ibunya datang memanggilnya, namun laki-laki itu enggan menjawabnya. Dia berkata dalam hati, "Apakah aku penuhi panggilannya atau aku teruskan shalat?" Akhirnya ibunya berkata, "Ya Allah, janganlah Engkau matikan dia kecuali setelah Engkau perlihatkan kepadanya wanita pezina." Suatu hari Juraij sedang berada di dalam biaranya lalu datang seorang wanita menawarkan dirinya dan mengajaknya berbicara namun Juraij menolaknya. Kemudian wanita itu mendatangi seorang pengembala lalu wanita ini dapat merayu pengembala itu hingga melahirkan seorang anak. Si wanita lantas berkata, "Ini anaknya Juraij". Maka orang-orang mendatangi Juraij dan menghancurkan biaranya dan memaksanya keluar lalu memaki-makinya. Kemudian Juraij berwudlu' lalu shalat. Setelah itu dia mendatangi bayi itu lalu bertanya, "Siapakah bapakmu wahai anak?" Bayi itu menjawab, "Seorang penggembala." Orang-orang berkata, "Kami akan bangun biaramu terbuat dari emas". Juraij berkata, "Tidak, dari tanah saja". Dan (yang ketiga), ada seorang wanita dari kalangan Bani Isra'il yang ketika sedang menyusui bayinya ada seorang laki-laki tampan dan gagah sambil menunggang tunggangannya lewat di hadapan wanita itu. Wanita itu berkata, "Ya Allah, jadikanlah anakku ini seperti pemuda itu." Maka spontan saja bayinya melepaskan isapannya dan memandang laki-laki tampan itu lalu berkata, "Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti dia." Lalu dia kembali mengisap susu ibunya." Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, "Seakan aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisap jari beliau." "Lalu lewat seorang budak wanita, maka ibunya berkata, "Ya Allah, janganlah Engkau jadikan anakku seperti dia." Maka sang bayi kembali melepaskan isapannya lalu berkata, “Ya Allah, jadikanlah aku seperti budak wanita itu.”   Ini adalah cerita yang mengharukan dan mengagumkan, Rasulullah mengambil cerita-cerita dari umat sebelumnya. Juraij adalah seorang pemuda yang suka beribadah, sering berada di tempatnya seperti i’tikaf dengan shalat. Suatu ketika saat tengah dalam keadaan shalat dipanggil ibunya. Dia tidak menghiraukan panggilannya dan tetap meneruskan shalatnya. Ibunya jengkel kemudian berdoa agar dikirim perempuan nakal yang menggoda anaknya. Setelah gagal menggoda Juraij kemudian wanita nakal itu menggoda penggembala di sekitar itu hingga kemudian hamillah. Maka terfitnahlah Juraij. Tempat ibadahnya dirobohkan karena kemarahan massa. Allah menyelamatkan Juraij dan ahirnya dibangun kembali karena ternyata hanya fitnah. Dibuktikan dengan ucapan bayi ajaib yang bisa berbicara. Pertistiwa itu karena doanya seorang ibu.   Itulah hal ihwal tentang durhaka kepada orang tua. Lawannya adalah berbakti kepada orang tua, dan menjadi sebab terkabulnya doa terutama ada waktu-waktu susah atau ada musibah untuk dijadikan sebagai wasilah.  

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا ثَلَاثَةُ نَفَرٍ يَمْشُونَ أَخَذَهُمْ الْمَطَرُ فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ فِي جَبَلٍ فَانْحَطَّتْ عَلَى فَمِ غَارِهِمْ صَخْرَةٌ مِنْ الْجَبَلِ فَانْطَبَقَتْ عَلَيْهِمْ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ انْظُرُوا أَعْمَالًا عَمِلْتُمُوهَا صَالِحَةً لِلَّهِ فَادْعُوا اللَّهَ بِهَا لَعَلَّهُ يُفَرِّجُهَا عَنْكُمْ قَالَ أَحَدُهُمْ اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ وَلِي صِبْيَةٌ صِغَارٌ كُنْتُ أَرْعَى عَلَيْهِمْ فَإِذَا رُحْتُ عَلَيْهِمْ حَلَبْتُ فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ أَسْقِيهِمَا قَبْلَ بَنِيَّ وَإِنِّي اسْتَأْخَرْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَلَمْ آتِ حَتَّى أَمْسَيْتُ فَوَجَدْتُهُمَا نَامَا فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ أَحْلُبُ فَقُمْتُ عِنْدَ رُءُوسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ أُوقِظَهُمَا وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُهُ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا فَرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ فَفَرَجَ اللَّهُ فَرَأَوْا السَّمَاءَ وَقَالَ الْآخَرُ اللَّهُمَّ إِنَّهَا كَانَتْ لِي بِنْتُ عَمٍّ أَحْبَبْتُهَا كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءَ فَطَلَبْتُ مِنْهَا فَأَبَتْ عَلَيَّ حَتَّى أَتَيْتُهَا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَبَغَيْتُ حَتَّى جَمَعْتُهَا فَلَمَّا وَقَعْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا قَالَتْ يَا عَبْدَ اللَّهِ اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تَفْتَحْ الْخَاتَمَ إِلَّا بِحَقِّهِ فَقُمْتُ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُهُ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا فَرْجَةً فَفَرَجَ وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أَجِيرًا بِفَرَقِ أَرُزٍّ فَلَمَّا قَضَى عَمَلَهُ قَالَ أَعْطِنِي حَقِّي فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ فَرَغِبَ عَنْهُ فَلَمْ أَزَلْ أَزْرَعُهُ حَتَّى جَمَعْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرَاعِيَهَا فَجَاءَنِي فَقَالَ اتَّقِ اللَّهَ فَقُلْتُ اذْهَبْ إِلَى ذَلِكَ الْبَقَرِ وَرُعَاتِهَا فَخُذْ فَقَالَ اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تَسْتَهْزِئْ بِي فَقُلْتُ إِنِّي لَا أَسْتَهْزِئُ بِكَ فَخُذْ فَأَخَذَهُ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ مَا بَقِيَ فَفَرَجَ اللَّهُ. (رواه البخاري). 

dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Ada tiga orang yang sedang bepergian lalu hujan turun hingga akhirnya mereka masuk ke dalam gua pada suatu gunung. Lalu sebuah batu yang jatuh dari gunung di depan mulut gua sehingga menutupi mereka. Satu sama lain di antara berkata, Perhatikanlah amal amal yang pernah kalian amalkan semata karena Allah lalu berdoalah dengan perantaraan amal amal tersebut semoga Allah Ta'ala berkenan membukakan batu tersebut untuk kalian. Seorang di antara mereka berkata, "Ya Allah, aku memiliki kedua orang tua yang sudah renta dan aku juga mempunyai anak yang masih kecil di mana aku mengembalakan hewan untuk makan minum mereka. Apabila aku sudah selesai aku memeras susu dan aku mulai memberikan susu tersebut untuk kedua orang tua, aku mendahuluinya untuk kedua orangtuaku sebelum anakku. Pada suatu hari aku terlambat pulang hingga malam dan aku dapati kedanya sudah tertidur. Maka aku mencoba menawarkan susu kepada keduanya, aku hampiri di dekat keduanya dan aku khawatir dapat membangunkannya dan aku juga tidak mau memberikan susu ini untuk anak kecilku padahal dia sedang menangis di bawah kakiku meminta minum hingga terbit fajar. Ya Allah seandainya Engkau mengetahui apa yang aku kerjakan itu semata mencari ridha-Mu, maka bukakanlah celah batu ini sehingga dari nya kami dapat melihat matahari. Maka Allah membukakan batu itu hinga mereka sedikit dapat melihat matahari." Yang lain berkata, "Ya Allah, bersamaku ada putri pamanku yang merupakan orang yang paling aku cintai sebagaimana umumnya laki-laki mencintai wanita. Suatu hari aku menginginkannya namun dia menolak aku hingga kemudian aku datang kepadanya dengan membawa seratus dua puluh dinar agar aku bisa berbuat mesum dan menyetubuhinya. Ketika aku sudah berada di antara kedua kakinya dia berkata, "Wahai 'Abdullah, bertaqwalah kepada Allah dan janganlah kamu renggut keperawanan kecuali dengan cara yang haq. Maka aku bangkit. Ya Allah seandainya Engkau mengetahui apa yang aku kerjakan itu semata mencari ridha-Mu, maka bukakanlah celah pintu gua ini untuk kami. Maka batu itu kembali terbuka. Kemudian orang yang ketiga berkata, Ya Allah aku pernah memperkerjakan orang pada ladang padi. Ketika sudah selesai dia meminta upahnya, aku memberikannya namun dia enggan menerimanya. Sejak itu aku meneruskan bertani, hingga aku dapat mengumpulkan harta yang banyak dari hasil yang aku kembangkan tersebut orang itu datang kepadaku lalu berkata "bertakwalah kamu kepada Allah." Aku katakan, "Pergilah lihat sapi itu beserta pengembalanya dan ambillah." Dia berkata, "Bertakwalah kepada Allah dan jangan mengolok-olok aku!" Aku katakan, "Aku tidak mengolok-olok kamu, ambillah. Maka dia mengambilnya. Jika aku kerjakan itu semata mencari ridha-Mu, maka bukakanlah celah batu gua yang masih tersisa." Maka Allah membukakannya.”   Di antara ada salah satu dari ketiga ada yang menggunakan wasilah dengan birrul walidain yang orang tuanya sudah sangat tua sekali.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ. (رواه مسلم)

  Abu Hurairah menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Dia celaka! Dia celaka! Dia celaka!" Beliau ditanya, "Siapakah yang celaka, ya Rasulullah?" Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Barang siapa yang mendapati kedua orang tuanya dalam usia lanjut atau salah satu dari keduanya, tetapi dia tidak berusaha masuk surga (dengan berusaha berbakti kepadanya dengan sebaik-baiknya)."  

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، " أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  رَقَى الْمِنْبَرَ، فَقَالَ : آمِينَ، آمِينَ، آمِينَ "، قِيلَ لَهُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا كُنْتَ تَصْنَعُ هَذَا؟ فَقَالَ : قَالَ لِي جِبْرِيلُ : رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، قُلْتُ : آمِينَ، ثُمَّ قَالَ : رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ، فَقُلْتُ : آمِينَ، ثُمَّ قَالَ : رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فَقُلْتُ : آمِينَ ". (رواه البخاري) 

Dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki mimbar lalu berkata, "Amin, amin, amin." Di katakan kepadanya, "Wahai Rasulullah! Apa yang membuatmu melakukan ini?" Beliau bersabda, "Jibril berkata kepada saya, 'Celakalah seorang hamba yang mendapati bapak Ibunya atau salah satunya (dalam keadaan lemah) maka dia tidak memasuk ke dalam surga (karena tidak berbakti).' Lalu Saya berkata, 'Amin. Kemudian dia (Jibril) berkata, 'Celakalah seorang hamba yang menemui bulan Ramadlan dan dia tidak memohon ampunan untuk dirinya.' Lalu Saya berkata, 'Amin.' Kemudian dia (Jibril) berkata, 'Celakalah seseorang yang namamu disebut di sisinya tapi dia tidak bershalawat kepadamu.' Saya berkata, 'Amin.'"  

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” احْضُرُوا الْمِنْبَرَ ” فَحَضَرْنَا، فَلَمَّا ارْتَقَى دَرَجَةً قَالَ: ” آمِينَ “، فَلَمَّا ارْتَقَى الدَّرَجَةَ الثَّانِيَةَ قَالَ: ” آمِينَ “، فَلَمَّا ارْتَقَى الدَّرَجَةَ الثَّالِثَةَ قَالَ: ” آمِينَ “، فَلَمَّا فَرَغَ نَزَلَ مِنَ الْمِنْبَرِ قَالَ: فَقُلْنَا له يَا رَسُولَ اللهِ لَقَدْ سَمِعْنَا الْيَوْمَ مِنْكَ شَيْئًا لَمْ نَكُنْ نَسْمَعُهُ قَالَ: ” إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامِ عَرْضَ لِي فَقَالَ: بَعُدَ مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَقُلْتُ: آمِينَ فَلَمَّا رَقِيتُ الثَّانِيَةَ قَالَ: بَعُدَ مَنْ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَقُلْتُ: آمِينَ، فَلَمَّا رَقِيتُ الثَّالِثَةَ قَالَ: بَعُدَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ الْكِبَرَ عِنْدَهُ أَوْ أَحَدُهُمَا، فلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ – أَظُنُّهُ قَالَ – فَقُلْتُ: آمِينَ. (رواه الحاكم). 

Ka’ab bin ‘Ujrah menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mari mendekatlah kalian ke mimbar!” Kami pun datang mendekatinya. Lalu beliau menaiki anak tangga mimbar, beliau berkata, Amin. Ketika naik ke anak tangga kedua, beliau berkata lagi, Amin. Begitu pula ketika menaiki anak tangga ketiga, beliau berkata lagi, Amin. Ketika beliau turun dari mimbar kami pun bertanya, “Ya Rasulullah, kami telah mendengar sesuatu dari tuan pada hari ini yang kami belum pernah mendengarnya sebelum ini.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Jibril telah membisikkan doa kepadaku, katanya, “Celakalah orang yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dosanya tidak juga diampuni.” Lalu aku pun mengaminkan doa tersebut. Ketika aku naik ke anak tangga kedua, dia berkata lagi, “Celakalah orang yang apabila disebut namamu di sisinya tetapi dia tidak menyambutnya dengan salawat ke atasmu.” Lalu aku pun mengaminkannya. Ketika aku naik ke anak tangga yang ketiga, dia berkata lagi, “Celakalah orang yang mendapati ibu-bapaknya yang sudah tua atau salah satunya, namun kedua orang tuanya itu tidak memasukkannya ke dalam surga.” Aku pun mengaminkannya.  

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، " أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  رَقَى الْمِنْبَرَ، فَلَمَّا رَقَى الدَّرَجَةَ الأُولَى، قَالَ : آمِينَ، ثُمَّ رَقَى الثَّانِيَةَ، فَقَالَ : آمِينَ، ثُمَّ رَقَى الثَّالِثَةَ، فَقَالَ : آمِينَ، فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ، سَمِعْنَاكَ تَقُولُ : آمِينَ ثَلاثَ مَرَّاتٍ؟ قَالَ : لَمَّا رَقِيتُ الدَّرَجَةَ الأُولَى جَاءَنِي جِبْرِيلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَقَالَ : شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ، فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ، فَقُلْتُ : آمِينَ، ثُمَّ قَالَ : شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلاهُ الْجَنَّةَ، فَقُلْتُ : آمِينَ، ثُمَّ قَالَ : شَقِيَ عَبْدٌ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فَقُلْتُ : آمِينَ ". (رواه البخاري). 

Jabir bin Abdullah menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah naik mimbar, maka tatkala menaiki tangga yang pertama beliau berkata, "Amin". Kemudian ketika menaiki tangga yang kedua beliau berkata, "Amin", lalu ketika menaiki tangga yang ketiga beliau berkata, "Amin", maka mereka berkata, "Wahai Rasulullah! Kami telah mendengar engkau berkata, 'Amin' tiga kali." Nabi bersabda, "Tatkala Saya menaiki tangga yang pertama maka datanglah Jibril 'alaihissallam lalu berkata, "Celakalah seorang hamba yang mendapatkan bulan Ramadhan lalu dia meninggalkannya sedangkan dia tidak memohon ampun' lalu Saya berkata, 'Amin.' Kemudian Jibril berkata, 'Celakalah seorang hamba yang mendapati orang tuanya atau salah satunya (dalam keadaan tua), tapi tidak dapat masuk ke dalam surga (karena tidak berbakti).' Saya berkata, 'Amin.' Kemudian Jibril berkata, 'Celakalah seorang hamba yang namamu disebut di sisinya tapi dia tidak membacakan shalawat kepadamu.' Lalu saya berkata, 'Amin.'"   Siapa yang Allah izinkan menjumpai kedua orang tuanya, apalagi sudah tua (sudah jompo/renta) yang sudah lemah perlu bantuan layanan baik fisik atau rohani, perlu kesayangan, karena orang tua yang sudah umur biasanya mudah tersinggung. Barangsiapa yang bisa berbuat baik dan bakti sampai dia meninggal maka termasuk menjadi sebab terbukanya pintu-pintu surga baginya.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا 

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia [850]. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (al-Israa : 23,24).  [850] Mengucapkan kata "ah" kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.   “qauluhu fala taqullahuma uffin” = jangan sampai kedua orang tua kita mendengar perkataanmu perkataan yang kasar atau bis atau mengecilkan walau tidak langsung. “qauluhu wala tanharhuma” = jangan sampai keluar dari kamu perbuatan yang terlihat anggota tubuh seperti marah sama orang tua atau sinis dengannya. Atha’ bin Abi Rabbah mengartikan janganlah mengacungkan tanganmu kepada kedua orang tua. “wahfizh lahuma janaha adzulli minarrahmah” = yang dimaksud adalah tawadhu’ kepada keduanya baik dengan perkataan atau perbuatan. “waqul rabbirhamhuma kama rabbayani shagira” = waktu tua dan setelah meninggal sebagaimana waktu kecil. Barangsiapa yang tidak menunaikan kewajiban birrul walidain dengan ihsan, dengan lembut, dengan merendah, justru malah berlaku sebaliknya dengan mengusir, mengabaikan, durhaka,  kepada orang tua maka akan celaka hina dina di dunia dan akhirat. Sebuah hadits yang menyebutkan:

شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلاهُ الْجَنَّةَ وَ رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ،. (رواه البخاري). 

“Celakalah seorang hamba yang mendapati orang tuanya atau salah satunya (dalam keadaan tua), tapi tidak dapat masuk ke dalam surga (dengan tidak berbakti). 'Celakalah seorang hamba yang mendapati bapak ibunya atau salah satunya (dalam keadaan lemah) sementara dia tidak bisa menjadikan wasilah untuk masuk ke dalam surga (karena tidak berbakti).'   Ala kuli hal bahwa hukum birrul walidain wajib karena waktu orang tua sudah tidak kuat, sakit-sakitan, mata kadang-kadang kabur, semuanya serba kurang, maka sangat memerlukan bantuan dan support dari anak-anaknya. Maka disarankan kesempatan yang baik itu dimanfaatkan untuk birrul walidain. Kalau sudah ditinggal mati orang tua maka tinggal penyesalan yang dirasakan.

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ. (رواه الترمذي). 

Abu Bakrah menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada suatu dosa yang lebih layak dipercepat hukumannya di dunia oleh Allah kepada pelakunya di samping (adzab) yang disimpan baginya di akhirat daripada zina dan memutus silaturrahim.”   Hadits di atas menunjukkan agar memutus silaturahmi dan wanita nakal keduanya berhak di siksa di dunia saat masih hidup dan di akhirat, kecuali dia taubat.

عَنْ طَيْسَلَةَ ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ ، يَقُولُ : " بُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوقِ وَالْكَبَائِرِ ". (رواه البخاري). 

Thaisalah pernah mendengar bahwa Ibnu Umar berkata, "Membuat kedua orang tua menangis adalah termasuk dosa besar." Dari itu nampaklah bahwa menjadi kewajiban anak untuk terus ingin membuat kedua orang tua itu selalu gembira, senang, jangan sampai susah, nangis, sakit hati. Coba kita perhatikan sabda Nabi kepada seorang laki-laki yang datang dari Yaman untuk ikut Hijrah, sementara kepergiannya menyebabkan orang tuanya bersedih dan menangis. Rasulullah menyuruhnya untuk kembali pulang.

«‌ارْجِعْ ‌إِلَيْهِمَا فَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا»

"Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana kamu telah membuat keduanya menangis! Kata para ulama bahwa membuat orang tua menangis termasuk durhaka kepada keduanya.   Ibnu Jauzi dalam pendahuluan kitabnya Birrul Walidain merasa prihatin dengan keadaan sebagian pemuda sekarang dalam birrul walidain. Katanya, “Kami melihat para pemuda/pemudi zaman kita ini sudah tidak memperhatikan lagi birrul walidain dan kami juga tidak melihat mereka beriltizam dengan agama dalam birrul walidain, mereka berani berbicara keras di depan kedua orang tuanya seakan-akan tidak meyakini taat kepada keduanya adalah wajib, kadang memutus silaturahmi yang Allah perintahkan untuk menyambungnya bukan diputus, bahkan ada juga yang memboikot orang tuanya. Na’udzubillahi min dzalik.” (Birrul Walidain karya Ibnu Jauzi halaman 1.) Inilah yang terjadi di setiap zaman semoga dengan nasihat yang lembut kepada mereka dengan disebutkan nash-nash baik dari al-Quran, Al-Hadits, dan Al-Atsar dari sahabat disertai dengan doa untuk kebaikan mereka. Mudah-mudahan Allah akan memperbaiki keadaan kita ini. Amin.   Disadur oleh Al-Ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc., dari buku Ahaditsul Akhlaq halaman 52-67 karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-‘Abad terbitan Darul Imam Muslim Publishing tahun 1441. Edited by @rimoesta                                        

Author