MBOK AJA NESU TO YA!
Pribadi muslim hendaknya tidak mudah marah. Seperti judul di atas: ayolah jangan suka marah-marah. Islam sendiri mengajak kita agar menjadi pribadi yang tidak mempertututkan rasa marah. Islam diturunkan ke muka bumi sebagai pemimbing dan pengarah. Islam mengarahkan kepada sikap toleransi dan membimbing pada jalan ketaatan. Islam mengarahkan kepada kebaikan dan keutamaan. Dengan begitu tampak nyatalah bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan petunjuk nan indah. Ajarannya mengawal semua kebaikan dan kebagusan agar semua urusan manusia berjalan pada rel yang semestinya. Karena itu salah satu hal yang ditekan oleh Islam adalah menghasung kita agar berakhlak mulia. Agar kita kembali kepada beragam kebaikan, pokok akhlak, dan dasar keutamaan. Rasulullah bersabda, عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa suatu ketika seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Mohon nasihat untukku wahai Rasulullah!" Beliau bersabda, "Janganlah kamu marah!" Laki-laki itu mengulangi kata-katanya, beliau tetap bersabda, "Janganlah kamu marah!"[1] عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ قَالَ الرَّجُلُ فَفَكَّرْتُ حِينَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَالَ فَإِذَا الْغَضَبُ يَجْمَعُ الشَّرَّ كُلَّهُ Humaid bin 'Abdurrahman meneruskan cerita seorang sahabat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Rasulullah, berwasiatlah padaku!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Jangan marah." Orang itu berkata, “Lalu aku berpikir saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan sabda itu, ternyata marah memang mengumpulkan seluruh keburukan.”[2] Kalau merenungkan hadits di atas sudah semestinya kita perbanyak permohonan kepada Allah agar dijaga dan dijauhkan dari sifat marah yang tidak syar’i. Mengapa? Jelas marah adalah kumpulan dari beragam kejelekan; omongan maupun perbuatan. Menantu sekaligus sepupu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, amirul mukminin umat ini bahkan mewanti-wanti kepada kita semua, إِيَّاكَ وَ الْغَضَبَ فَإِنَّ أَوَّلَهُ جُنُونٌ وَ آخِرَهُ نَدَمٌ “Waspadalah terhadap amarah, karena yang awalnya adalah kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan.”[3] Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa sahabat yang bertanya sempat merenungkan nasihar Rasulullah. Apabila orang itu marah maka berkumpullah semua kejelekan. Saat marah orang bisa berbicara dan melakukan apa saja. Berkata Ja’far bin Muhammad, الْغَضَبُ مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ “Marah adalah kunci pembuka segala keburukan.”[4] Ibnu Mubarak pernah diminta agar memberikan fatwa dalam sepenggal kata. Dijawab olehnya: تَرْكُ الغَضَبِ “Tinggalkanlah kemarahan!”[5] Marah adalah suatu bentuk luapan emosi yang terpendam di dalam hati. Ketika meluap muncullah keinginan untuk melampiaskan entah dengan kata-kata kasar & makian, melakukan tindakan untuk menyakiti, kalau tidak bisa mengendalikan bisa juga berujung pada pembunuhan. Maka Islam memberi peringatan kepada umatnya melalui Rasululllah dengan mengulangi pesannya beberapa kali, jangan marah! Sebagian ulama menjelaskan bahwa ungkapan Rasulullah tersebut mengandung dua hal yang mendasar:
  1. Kita sebagai muslim harus melatih untuk berakhlak yang baik seperti sabar, lembut, tenang, dan tidak tergesa-gesa. Apabila datang marah dia langsung ingat semua hal di atas tersebut.
  2. Apabila kita marah harus bisa menguasai diri mengendalikan agar jangan sampai keluar kata-kata yang tidak terpuji atau bahkan bertindak kasar.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah, “Bagi orang yang ingin mendapatkan wasiat tersebut ada dua kemungkinan:
  1. Dengan wasiat tersebut akan menjadi sebab dirinya memiliki akhlak yang mulia seperti dermawan, lembut, pemalu, tawadhu’, husnuzhzhan, menahan diri tidak menyakiti orang lain, pengampun, pemaaf, suka berjabat tangan, suka senyum, dan gembira. Semua hal ini bisa menahan marah.
  2. Harusnya tidak berbuat apa-apa sewaktu sedang marah dan sebisa mungkin berusaha untuk tidak menuruti keinginan nafsu. Karena saat marah sudah menguasai akan menjadi raja yang memerintah dan melarang. Ini arti dari firman Allah,
وَلَمَّا سَكَتَ عَن مُّوسَى الْغَضَبُ “Sesudah amarah Musa menjadi reda.” (Al-A’raf:154) Kalau kita berusaha menahan diri dari berkata dan berbuat saat marah mendera, berusaha menolak pengaruh jeleknya maka insyaallah marah tersebut akan segera mereda.   Disadur oleh Al-Ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc., dari buku Ahaditsul Akhlaq halaman 215-222 karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-‘Abad terbitan Darul Imam Muslim Publishing tahun 1441. Edited by @rimoesta [1] Hadits riwayat Bukhari no. 6116 [2] Hadits riwayat Ahmad no. 23171; disahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 2746. [3]Uyunul Hikam wal Mawa’izh halaman 96 karya Ali bin Muhammad [4] Jami’ul Ulum wal Hikam 363/1 [5] Jami’ul Ulum wal Hikam 363/1

Author

Tag