Sedekah Yang Salah Kaprah
Islam telah mendorong umatnya untuk bersedekah, mengasihani kaum fakir, dan membantu kepada orang-orang yang membutuhkan dan miskin. Islam pula telah menyediakan pahala yang sangat besar di sisi Allah kelak.
Pahala dalam benak kebanyakan orang adalah kurang menarik karena bersifat abstrak. Ditambah sifat manusia yang cinta harta dan kikir. Sedekah pun akhirnya menjadi barang langka yang terlupakan. Akibatnya muncul kecenderungan bahwa kebanyakan orang merasa menjadi pihak yang butuh sedekah bukan pemberi sedekah. Orang menjadi lupa bahwa manusia adalah makhluk yang sangat haus harta, yang tak terpuaskan kecuali oleh tanah kuburan.
Fenomena demikian tentu sangat disayangkan. Islam kaya dengan konsep-konsep kepedulian sosial. Zakat, sedekah, pinjam meminjam, utang piutang, hadiah hingga hibah menunjukkan Islam sangat peduli dengan pendidikan kedermawanan sesuai dengan kemampuan. Bagaimana mengembalikan sifat asli orang mukmin, agar ringan untuk bersedekah?
Sebagian membidik dari sisi ”iming-iming”. Aktualisasi kampanye sedekah pun digelar di berbagai tempat dan kesempatan. Jargon-jargon menarik pun diuntai untuk kemudian dilemparkan ke masyarakat. Agar Kaya dengan Sedekah, Dengan Sedekah Kamu akan Kaya, Bebas dari Kemiskinan dengan Sedekah, Bersedekahlah agar Kaya, Bosan Miskin Segera Sedekah dan sederet untain kata-kata indah pun disusun. Adakah yang salah?
MENGAPA AGAR KAYA?
Apakah dengan sedekah seseorang bisa menjadi kaya? Bisa jadi. Apakah dengan bersedekah seseorang akan mendapatkan balasan harta berkali lipat saat di dunia? Mungkin saja.
Dalam al-Quran telah digambarkan bahwa kebaikan yang dilakukan oleh seorang muslim akan menghasilkan balasan yang berlipat. Di antara ayat tersebut adalah:
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّاْئَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, tak ubahnya sebutir biji yang tumbuh menjadi tujuh tangkai. Pada masing-masing tangkai terdapat 100 butir biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas karunia-Nya lagi maha mengetahui.” (Al-Baqarah:261) Demikian pula Rasulullah lewat hadits-haditsnya menegaskan bahwa kebaikan yang dilakukan seorang muslim akan dilipatkan hingga 700 kali. Sedekah adalah salah satu bentuk kebaikan. Rasulullah bersabda, “Apabila seseorang masuk Islam, kemudian Islamnya menjadi baik, niscaya Allah Subhanahu wa ta'ala menghapus segala kejahatannya. Sesudah itu setiap kebaikan dibalas 10 hingga 700 ganda. Sedangkan kejahatan dibalas hanya setimpal dengan kejahatan itu, kecuali pula kalau Allah Subhanahu wa ta'ala memaafkannya.” (Riwayat Al-Bukhari) Banyak hadits dan ayat yang menunjukkan bahwa memang balasan dari sedekah akan berlipat ganda. Artinya harta yang kita keluarkan tidak akan hilang sia-sia. Selain akan mendapatkan pahala di akhirat, bisa juga akan diberi balasan di dunia. Pertanyaannya adalah: Apakah kita memberikan sedekah karena ingin kaya? Apakah sedekah yang kita lakukan karena bertujuan agar terentaskan dari garis kemiskinan? Janji-janji tersebut hendaklah jangan membuat kita menjadi ”tertipu”. Memang Allah menjanjikan balasan berlipat, tetapi jangan sampai dijadikan tujuan. Jangan sampai motivasi memberikan sedekah karena ingin menjadi orang kaya atau agar tidak terjatuh pada kondisi miskin. Jangan sampai efek samping sedekah tersebut mengikis keikhlasan dalam beribadah. Salah satu tujuan sedekah adalah melakukan proses taqarrub kepada Allah, mendekatkan diri kepada-Nya. Ibadah semacam ini harus memenuhi dua syarat utama agar termasuk dalam kategori kebaikan. Hendaknya ikhlas adalah landasan pertama dan utama dalam memberikan sedekah. Bukankah tanpa keikhlasan amal yang indah tak akan menghasilkan buah? Seperti halnya puasa. Dengan puasa seseorang bisa jadi akan tambah sehat, langsing, bugar, dan hemat secara finansial. Tetapi layakkah kita berpuasa dengan niat semacam ini? Sedekah memang dijanjikan akan mendapatkan balasan berlipat kali, ini adalah sesuatu yang disepakati. Tetapi alangkah selamatnya jika kita bersedekah bukan karena memang meniatkan diri agar menjadi kaya atau semakin kaya. Janji-janji manis tersebut cukuplah sebagai penenang jiwa bahwa harta yang kita keluarkan tidak akan hilang. Dengan adanya janji tersebut hendaknya sekadar menjadi penguat dorongan sedekah kita yang dibangun di atas rasa ikhlas mengharap pahala dari Allah semata. Dengan begitu sedekah yang akan kita terima lebih besar lagi balasannya. Bukan sekadar balasan finansial seperti halnya jika hanya diniatkan karena ingin mendapatkannya. Dengan keikhlasan, sedekah akan berbuah pahala plus balasan berupa limpahan harta. Sebuah ayat dari al-Quran kiranya bisa menjadi pengendali nafsu kita dalam mengarahkan niat sedekah kita. Allah berfirman,مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ {*} أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (Hud:15-16) Berkata Ibnu Abbas Radhiyallohu'anhuma tentang ayat tersebut, “Bahwa orang yang riya diberikan kebaikannya hanya saat masih di dunia, karena memang Allah tidak pernah berlaku zhalim kepada siapapun. Barangsiapa yang berbuat baik karena berharap dunia, entah berupa puasa, shalat, tahajud di malam hari, tidak dikerjakan kecuali karena berharap dunia akan mendapat balasan di dunia sepenuhnya sementara amalnya terhapus karena dilakukan sekadar untuk mendapatkan balasan duniawi. Kelak di akhirat orang semacam ini termasuk golongan yang merugi.” ( Tafsir al-Quran al-Azhim karya Ibnu Katsir juz II/440.) Berkata al-Dhahhak, “Nuhas memilihnya sebagai dalil bagi ayat selanjutnya. Mereka adalah orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa ketika di akhirat kecuali neraka. Yakni orang-orang yang melakukan silaturrahmi atau sedekah dengan motivasi ingin mendapatkan kebaikan di dunia berupa kesehatan badan atau melimpahnya rezeki, misalnya, maka di akhirat kelak tidak akan mendapatkan kebaikan.” ( Tafsir al-Qurthubi juz IX/14.) MEMPERHATIKAN ADAB Selain dilakukan dengan ikhlas mengharap keridhaan dan pahala dari Allah, sedekah juga dilakukan dengan memperhatikan adab-adabnya. Di antara adabnya adalah diberikan kepada kaum kerabat atau sanak saudara terdekat sebelum diberikan kepada orang lain. Kemudian sedekah itu seyogyanya diberikan kepada orang yang betul-betul sedang mendambakan uluran tangan. Mengenai kriteria barang yang lebih utama disedekahkan, para fuqaha berpendapat, barang yang akan disedekahkan sebaiknya barang yang berkualitas baik dan disukai oleh pemiliknya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Allah Subhanahu wa ta'alaلَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ“
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai..." (Ali Imran:92) Pahala sedekah akan lenyap bila si pemberi selalu menyebut-nyebut sedekah yang telah ia berikan atau menyakiti perasaan si penerima. Hal ini ditegaskan Allah Subhanahu wa ta'ala dalam firman-Nya yang berarti,يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَاْلأَذَى
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima." (Al-Baqarah:264) Di antara arti « Al Birr « yang disebutkan para ulama adalah: 1. Pahala dari Allah Subhanahu wa ta'ala . 2. Surga. (Ibnul Arabi, Ahkam al-Quran:1/368, al-Jashas, Ahkam al-Quran (Beirut, Dar Ihya' Turats al-Arabi, 1405 H):2/300.) 3. Amal Sholeh, dalam suatu hadits disebutkan:« Hendaklah kalian berlaku jujur, karena kejujuran itu akan membawa kalian kepada (Al Birr) - yaitu amal sholeh - Sedangkan Al Birr (amal sholeh) tersebut akan mengantarkan kalian kepada syurga . « 4. Ketaqwaan dan Ketaatan. ( Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Quran:4/133) 5. Tingkatan amal sholeh yang paling tinggi. ( Al-Jashas, Ahkam al-Quran:2/301.) Diantara para ulama ada yang membedakan antara (al-Birr) dengan (al-Khair), kalau al-Birri adalah segala sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi orang lain, sedangkan al-Khair adalah seluruh kebaikan. ( Al-Alusi, Ruh Al Ma'ani:3/222.) SIKAP SEBAGIAN SAHABAT TERHADAP AYAT DI MUKA Sahabat dan orang-orang saleh menafsirkan ayat di muka secara zhahir-nya (apa adanya) kemudian mengamalkannya. ( Lihat Qurthubi, al-Jami' li Ahkam al-Quran:4/132.) Beberapa contoh dari sikap tersebut adalah: 1. Abu Thalhah. Menurut Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu bahwa Abu Thalhah Radhiyallahu 'anhu adalah orang Anshar yang paling banyak memilki pohon kurma di Madinah. Harta yang paling ia sukai adalah perkebunan “ Bairuha' “ ( Para ulama berselisih pendapat tentang namanya yang paling tepat, apakah (Bairuha atau Bairaha atau Bariha atau yang lain-lainnya) (lihat al-Nawi, Syarh Shahih Muslim, cet . Dar Al-Hadits:IV/94).). Letaknya di depan Masjid Nabawi. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sering masuk ke dalamnya meminum air yang terdapat di dalamnya. Ketika ayat di atas turun, Abu Thalhah datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata, “Harta yang paling aku cintai adalah perkebunan “Bairuha'“ ini. Saya sedekahkan untuk Allah, dengan mengharapkan kebaikannya di sisi Allah. Silahkan wahai Rasulullah engkau letakkan pada tempat yang engkau pandang sesuai. Berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Bakhin-bakhin ( Kata:(Bakhin-bakhin/bakhi-bakhi /bakh-bakh) biasanya diucapkan orang-orang Arab ketika memuji suatu perbuatan atau ketika kagum terhadap sesuatu. (lihat An Nawi, Syarh Shahih Muslim,:IV/95).) (Bagus-bagus) … inilah harta yang membawa keuntungan, inilah harta yang membawa keuntungan, dan saya telah mendengarnya, sebaiknya engkau berikan kepada saudara-saudara kamu.“ Berkata Abu Thalhah, "Akan saya laksanakan hal itu wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Kemudian Abu Thalhah membagikan taman tersebut kepada para sanak saudanya.“ ( Hadits riwayat Bukahri, Bab:Zakat terahap sanak saudara. (no:1461) dan Muslim, Bab Zakat (no:42). ) 2. Zaid bin Haritsah. Zaid bin Haritsah Radhiyallahu 'anhu datang kepada Rasulullah dengan kuda perangnya yang bernama “ Sabal “, harta yang paling dicintainya. Zaid berkata, "Wahai Rasulullah Radhiyallahu 'anhu, sedekahkanlah kuda ini.' Ternyata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kuda tersebut kepada anak Zaid sendiri yaitu Usamah bin Zaid. Melihat hal tersebut, Zaid bertanya, "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maksud saya agar kuda tersebut disedekahkan.' Bersabda Rasulullah Shallallahu wa sallam, 'Sedekah kamu telah diterima.'” ( Ibnu Arabi, Ahkam al-Quran:1/368.) 3. Abdullah bin Umar Berkata Abdullah bin Umar, “Ketika saya teringat ayat ini, saya berpikir tentang harta yang paling saya cintai dan ternyata saya dapatkan bahwa tidak ada yang paling saya cintai dari seorang budak wanita Romawi. Kemudian segera saya bebaskan budak tersebut demi mencari ridha Allah. Seandainya aku ambil lagi sesuatu yang telah saya infakkan di jalan Allah, tentunya budak tersebut akan aku nikahi.“ ( Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran Al Adhim:1/506.) Itulah perilaku sahabat yang mencoba untuk menyedekahkan harta terbaiknya. Inilah sedekah yang paling utama. Sedekah yang paling utama adalah menginfakkan harta yang paling dicintainya di jalan Allah, sebagaimana yang dikerjakan oleh para sahabat di atas. Di samping itu bersedekah secara sembunyi-sembunyi jauh lebih utama dibanding sedekah secara terang-terangan, kecuali jika ada maslahat yang menuntut seseorang untuk memperlihatkan sedekahnya kepada orang lain. Misalnya bermaksud memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih dekat kepada keikhlasan. Pada akhir ayat 92 surat Ali Imran di atas, secara tidak langsung Allah menganjurkan seseorang untuk mengikhlaskan niatnya ketika bersedekah. Allah berfirman: “Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya“ yaitu walaupun manusia tidak mengetahui bahwa kalian telah bersedekah, akan tetapi Allah mengetahuinya, maka jangan cemas, niscaya Allah akan membalas apa yang telah kalian sedekahkan. Dengan selalu menjaga niat dalam sedekah juga memperhatikan adab-adab dalam bersedekah, sedekah akan menjadi berkualitas bukan termasuk sedekah yang salah kaprah. Insyaallah. sumber : Majalah FATAWA Vol IV No 02Author