SERI ADAB ISLAM 4 : ADAB-ADAB KETIKA BERTAMU BAG.1
DALIL-DALIL :

يَا هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاء بِعِجْلٍ سَمِينٍ فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?(Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaamun”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.”Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Adz-Dzaariyaat : 24-27). Nabi bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ. (رواه البخاري)

dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berimana kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia memuliakan tamunya dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia berkata baik atau diam.” (HR.Al-Bukhari (no.6018), Muslim (no.47), Ahmad (no.7571) , at-Tirmidzi (no.1188) dan ad-Darimi (no.2222)). Di Antara Adab-Adab Bertamu 1. Memenuhi Undangan Banyak hadits yang menerangkan wajibnya menyambut undangan, di antaranya sabda beliau :

عَنْ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ. (رواه البخاري)

dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hak muslim atas muslim lainnya ada lima, yaitu; menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin”.(HR.Al-Bukhari (no.1240), Muslim (no.2162), at-Tirmidzi (no.2737), an-Nasa’i (no.1538), Abu Dawud (no.5030) dan Ibnu Majah (no.1435)). Dan, sabda beliau :

أَجِيبُوا هَذِهِ الدَّعْوَةَ إِذَا دُعِيتُمْ لَهَا قَالَ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَأْتِي الدَّعْوَةَ فِي الْعُرْسِ وَغَيْرِ الْعُرْسِ وَهُوَ صَائِمٌ. (رواه البخاري)

“Penuhilah seruan ini (walimahan), bila kalian diundang untuk mendatanginya.” Karena itu, Abdullah selalu mendangi undangan walimahan atau pun bukan waliman, sementara ia sendiri sedang berpuasa. (HR.Al-Bukhari (no.4781), Muslim (no.1429), Ahmad (no.4698), at-Tirmidzi (no.1098), Abu Dawud (no.3736) dan Ibnu Majah (no.1914), Malik (no.1159) dan ad-Darimi (no.2205)). Dan, mayoritas ulama berpendapat bahwa memenuhi undangan adalah sunnah, kecuali undangan resepsi pernikahan yang menurut mereka wajib, berdasarkan sabda Nabi :

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه البخاري)

“Seburuk-buruk jamuan adalah jamuan walimah, yang diundang sebatas orang-orang kaya, sementara orang-orang miskin tidak diundang. Siapa yang tidak memenuhi undangan maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR.Al-Bukhari (no.4779), Muslim (no.1432), Ahmad (no.10040), Abu Dawud (no.3742) dan Ibnu Majah (no.1913), Malik (no.1160) dan ad-Darimi (no.2266)). Dan, dalam beberapa lafazh yang diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya disebutkan :

يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا. (رواه مسلم)

Menghalau orang yang mendatanginya dan mengundang orang yang enggan menghadirinya. Hanya saja ulama memberikan beberapa syarat dalam menghadiri undangan-undangan seperti ini. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menuebutkan syarat-syarat tersebut :
  1. Orang yang mengundang bukanlah orang yang harus diasingkan atau sebaiknya diasingkan.
  2. Di tempat undangan tersebut tidak terjadi suatu kemungkaran. Apabila terjadi kemungkaran, jika memungkinkan untuk menghilangkannya maka ia tetap wajib menghadiri undangan tersebut dengan dua tujuan, yaitu memenuhi undangan dan merubah kemungkaran tersebut. Apabila kemungkaran tersebut tidak bisa ia hilangkan maka ia diharamkan menghadirinya.
  3. Orang yang mengundang haruslah seorang muslim. Jika bukan muslim, maka ia tidak wajib memenuhi undangannya berdasarkan sabda Nabi : “Hak muslim atas muslim lainnya ada lima, yaitu; …. dan diantaranya : apabila ia mengundangmu maka engkau harus memenuhinya.
  4. Undangan tersebut bukan dari hasil usaha yang haram, karena konsekuensi dari memenuhi undangan dari usaha yang haram adalah memakan makanan yang haram dan hal ini tidak dibolehkan. Demikian menurut pendapat sebagian ulama. Ulama lainnya berpendapat, sesuatu yang di dapat dengan cara haram, maka dosanya diperuntukkan bagi orang yang mengusahakan harta haram tersebut, bukan untuk orang yang memperolehnya dengan cara yang dibolehkan dari orang yang mengusahakan harta haram tersebut. Lain halnya jika makanan atau minuman yang dihidangkan adalah sesuatu yang memang diharamkan; seperti khamr, barang curian (rampokan) dan lain sebagainya. Inilah pendapat yang sesuai, (lalu beliau mengemukakan beberapa dalilnya).
  5. Undangan tersebut tidak lantas mengabaikan kewajiban lainnya ataukah yang lebih wajib darinya. Jika undangan tersebut mengakibatkan hal itu maka ia haram untuk dipenuhi.
  6. Tidak mengakibatkan kemudharatan atas diri orang yang diundang, seperti mengharuskannya melakukan perjalanan jauh atau berpisah dengan keluarganya ketika sangat dibutuhkan di tengah-tengah mereka. (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid (III/111-113)dengan sedikit perubahan).
Dan, kami tambahkan juga : Hendaklah orang yang mengundang tidak menentukan siapa yang diundang dan tidak juga mengkhususkan seseorang dengan undangannya. Apabila ia tidak menentukan orang-orang yang di undang, seperti ia mengumumkannya di sebuah majelis umum, maka memenuhi undangan tersebut tidak wajib, karena undangannya tersebut bersifat umum (al-Jafalaa). [Di dalam Lisanul Arab disebutkan : Mengundang mereka al-Jafalaa atau al-ajfalaa, yaitu mengundang khalayak ramai untuk memakan makanan yang engkau hidangkan secara umum. Di sebuah bait sya’ir disebutkan : kami yang berada berdiam di musim dingin diundang secara umum. Dan, bukanlah adab menurut kami jika undangan dikhususkan. Al-Akhfasy mengatakan : Undanglah si Fulan ketika an-Naqraa, jangan ketika al-Jafalaa. Maksudnya, undanglah ia secara khusus, jangan secara umum. (XI/114), topik : Jafalaa.] Masalah : Apakah kartu undangan yang disebarkan semisal dengan undangan lisan?? Jawab : Kartu undangan yang dikirimkan kepada orang banyak dan tidak diketahui kepada siapa kartu undangan itu diberikan, mungkin bisa dikatakan bahwa kartu undangan seperti itu semisal dengan undangan secara umum yang tidak wajib dipenuhi. Adapun jika diketahui atau diduga kuat bahwa undangan tersebut dimaksudkan untuknya secara khusus, maka hukumnya termasuk hukum undangan secara langsung melalui lisan. Demikian yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid (III/111-113)). Faidah : Puasa bukanlah halangan untuk tidak menghadiri undangan. Barangsiapa yang diundang dan ia sedang berpuasa, maka ia tetap wajib menghadirinya untuk mendoakan ampunan dan berkah bagi orang yang mengundang, baik ia sedang mengerjakan puasa wajib atau puasa sunnah. Rasulullah bersabda :

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ. (رواه مسلم)

“Jika salah seorang dari kalian diundang, hendaknya ia penuhi undangan tersebut, jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendo’akannya, dan jika ia sendang tidak berpuasa, hendaknya ia memakannya.” (HR.Muslim (no.2584), Ahmad (no.7691), at-Tirmidzi (no.780) dan Abu Dawud (no.2460)). Sabda beliau : Hendaklah ia mengucapkan shalawat, disebutkan dalam beberapa riwayat lain dari Imam Ahmad dan selainnya bahwa yang dimaksud adalah doa :

فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ يَعْنِي الدُّعَاءَ. (رواه مسلم)

Jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mengucapkan shalawat, yakni hendaklah ia mendo’akannya, (Ahmad (no.9956)).

وفي حديث أبي سعيد الخدري أنه قال : صَنَعْت لِنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا فَلَمَّا وُضِعَ قَالَ رَجُلٌ أَنَا صَائِمٌ, فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : {دَعَاك أَخُوك وَتَكَلَّفَ لَكَ, أَفْطِرْ فَصُمْ مَكَانَهُ إِنْ شِئْت} .

Dan, dalam hadits Abu Sai’id al-Khudri, ia mengatakan : Aku membuat makanan untuk Nabi. Ketika makanan tersebut dihidangkan, seseorang berkata : Aku sedang berpuasa. Maka Rasulullah bersabda : Saudaramu telah mengundangmu dan telah bersusah payah untuk (menjamu)mu, maka berbukalah; dan berpuasalah di lain hari jika engkau mau. (Ibnu Hajar mengatakan : Diriwayatkan oleh al-Isma’ili dari Abu Uwais, dari ayahnya, dari Muhammad bin al-Munkadir, dari Abu Sa’id, dan sanadnya hasan. (Al-Fat-h (IV/182). Syaikh al-Albani mengatakan : Hasan. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (IV/279). Lihat al-Irwa’ (VII/11)(no.1952)). Imam an-Nawawi mengatakan : Adapun seseorang yang berpuasa, tidak ada perbedaan pendapat bahwa ia tidak wajib makan. Akan tetapi, jika puasanya itu adalah puasa wajib maka ia tidak boleh memakan hidangan karena puasa wajib tidak boleh ditinggalkan. Apabila puasa yang ia kerjakan sunnah, maka ia boleh berbuka dan boleh pula tidak. Namun, jika puasanya tersebut malah meresahkan si pengundang yang telah bersusah payah menyuguhkan makanan, maka lebih utama ia berbuka, dan jika tidak maka ia boleh menyempurnakan puasanya. (Syarh Muslim, (jilid V (IX.197-198)). 2. Memuliakan Tamu Adalah Wajib

Banyak hadits yang menjelaskan wajibnya memuliakan tamu dan disukainya hal itu.

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ تَبْعَثُنَا فَنَنْزِلُ بِقَوْمٍ فَلَا يَقْرُونَنَا فَمَا تَرَى فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ نَزَلْتُمْ بِقَوْمٍ فَأَمَرُوا لَكُمْ بِمَا يَنْبَغِي لِلضَّيْفِ فَاقْبَلُوا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوا فَخُذُوا مِنْهُمْ حَقَّ الضَّيْفِ الَّذِي يَنْبَغِي لَهُمْ . (رواه البخاري)

dari ‘Uqbah bin ‘Amir radliallahu ‘anhu bahwa dia berkata; “Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anda mengutus kami, lalu kami singgah di suatu kaum, namun mereka tidak melayani kami, bagaimana menurut anda?” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami: “Jika kalian singgah di suatu kaum, lalu mereka melayani kalian sebagaimana layaknya seorang tamu, maka terimalah layanan mereka. Jika mereka tidak melayani kalian, maka kalian boleh mengambil dari mereka hak tamu yang pantas mereka berikan.” (HR.Al-Bukhari (no.5672), Muslim (no.1727), Ahmad (no.16894), at-Tirmidzi (no.1589), Abu Dawud (no.3752) dan Ibnu Majah (no.3676)). Dan lafazh menurut riwayat at-Tirmidzi :

إِنْ أَبَوْا إِلَّا أَنْ تَأْخُذُوا كَرْهًا فَخُذُواْ . (رواه الترمذي)

“Jika mereka enggan memberi kecuali secara paksa, maka ambillah (dengan paksa).” Demikian pula sabda beliau :

الضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَلَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقِيمَ عِنْدَ أَخِيهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ قَالَ يُقِيمُ عِنْدَهُ وَلَا شَيْءَ لَهُ يَقْرِيهِ بِهِ . (رواه مسلم)

“Bertamu itu selama tiga hari, dan pelayanannya selama siang atau malam hari. {Ibnul Jauzi mengatakan : Ja’izah adalah pemberian, dan hadiah dari penguasa adalah pemberiannya. Dan maksud dari Ja’izah disini adalah apa yang dibolehkan dengannya selama jarak siang dan malamnya. (Kasyful Musykil min Hadits ash-Shahihain (IV/86), cet.I Darul Wathan, th.1418 H)}. Tidak halal bagi seorang muslim bermukim di rumah saudaranya sampai saudaranya berdosa karenanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dia bisa berdosa?” beliau menjawab: “Dia bermukim di rumah saudaranya hingga saudaranya tidak punya apa-apa lagi untuk menjamunya.” (HR.Al-Bukhari (no.6135), Muslim (no.3256, kitab al-Luqathah) dan lafazh ini miliknya, Ahmad (no.26620), at-Tirmidzi (no.1967), Abu Dawud (no.3748), Ibnu Majah (no.3672), Malik (no.1728), dan ad-Darimi (no.2035)). Imam an-Nawawi menyebutkan ijma’ tentang bertamu dan ia termasuk apa yang di tekankan oleh Islam ( Lihat Syarh Muslim (jilid VI (XII/26)). Kemudian beliau menjelaskan perbedaan pendapat di kalangan ulama akan wajib dan sunnahnya. Adapun Imam Malik, asy-Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa ia adalah sunnah, bukan wajib. Mereka membawakan hadits-hadits yang serupa dengannya dari hadits-hadits lain, seperti hadits tentang mandi Jum’at yang diwajibkan bagi setiap orang dewasa dan selainnya. Al-Laits dan Ahmad mengatakan tentang wajibnya bertamu selama jarak siang dan malamnya, dan Ahmad membatasinya untuk penduduk desa dan yang berada di pedalaman padang pasir dan selain penduduk kota. Faidah : Dalam hadits di atas terdapat larangan tinggalnya seorang tamu lebih dari 3 hari, sehingga bertamunya bisa menjerumuskannya kepada persangkaan yang tidak dibolehkan, atau mengghibah dirinya dan lain sebagainya. Al-Khaththabi mengatakan : Tidak halal bagi tamu berdiam di sisinya setelah tiga hari tanpa adanya ajakan, yang akan menjadikan dadanya sempit dan amalnya menjadi batal. (Ghidza’ul Albab karya as-Safarini (II/159)). Ketika menerangkan sabda beliau : sehingga menjadikannya berdosa, Ibnul Jauzi mengatakan : Hal itu jika tidak ada sesuatu yang menjadi alasan jamuannya, maka dengan berdiamnya ia akan menyebabkan ketidaksenangan. Terkadang dirinya akan disinggung dengan penyebutan yang buruk, dan terkadang ia pun akan berdosa dalam pemberian yang diinfakkannya kepada si tamu. (Kasyfu Musykil min Hadits ash-Shahihain (IV/88)). Kecuali jika si tamu mengetahui bahwa yang menjamunya tidak akan membenci hal itu, atau ia sendiri yang memintanya untuk tinggal lebih lama lagi di tempat itu. Adapun jika si tamu merasa ragu akan keadaan tuan rumah, maka lebih utama ia tidak bertamu lebih dari tiga hari. Bersambung ke poin no.3-9. Digubah dan diringkas secara bebas oleh ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc., dari buku Kitabul ‘Adab karya Fuad bin Abdil Aziz asy-Syalhub.

Author

Tag