SERI ADAB ISLAM 7 : ADAB-ADAB MAKAN DAN MINUM BAG.1
DALIL-DALIL :

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saIeh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mu’minuun : 51).

...كُلُواْ وَاشْرَبُواْ مِن رِّزْقِ اللَّهِ وَلاَ تَعْثَوْاْ فِي الأَرْضِ مُفْسِدِينَ

…. Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (Al-Baqarah : 60). Dan, Rasulullah bersabda :

...يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ. (رواه البخاري)

….."Wahai Ghulam, bacalah Bismilillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu." Maka seperti itulah gaya makanku setelah itu. (HR.Al-Bukhari (no.5376), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau,Muslim (no.2022), Ahmad (no.1589), Ibnu Majah (no.3267), Malik (no.1738) dan ad-Darimi (no.2045)). Di Antara Adab-Adab Makan dan Minum 1.Larangan Makan Dan Minum Menggunakan Bejana Yang Terbuat Dari Emas Dan Perak Beberapa hadits menyebutkan ancaman yang amat keras bagi seseorang yang makan dengan menggunakan bejana dari emas dan perak, atau makan dari piring yang terbuat dari emas dan perak.

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَلْبَسُوا الْحَرِيرَ وَلَا الدِّيبَاجَ وَلَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَنَا فِي الْآخِرَةِ. (رواه البخاري)

Diriwayatkan dari Hudzaifah, ia berkata :  Sungguh, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Janganlah kalian memakai sutera atau Dibaj (kain bersulam sutera), jangan minum dari bejana emas dan perak, dan jangan makan di baskom mereka, sesungguhnya barang-barang itu adalah untuk mereka di dunia dan untuk kita di akhirat kelak.' (HR.Al-Bukhari (no.5006), Muslim (no.2067), Ahmad (no.22927), at-Tirmidzi (no.1878), an-Nasa’i (no.5301), Abu Dawud (no.3723), Ibnu Majah (no.3414), dan ad-Darimi (no.2130)).

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ. (رواه البخاري)

dari Ummu Salamah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang minum dari bejana yang terbuat dari perak, maka sesungguhnya di perutnya akan diperdengarkan suara api neraka Jahanam." (HR.Al-Bukhari (no.5203), Muslim (no.2065), Ahmad (no.26028), Ibnu Majah (no.3431), Malik (no.1717) dan ad-Darimi (no.2129)). Diperdengarkan : { Makna al-Jarjarah dalam Lisanul ‘Arab adalah suara. (IV/131), topik : (جرر)}. Para ulama sepakat tentang tidak bolehnya minum dari bejana tersebut (Di antara ulama yang mengutip ijma’ ini adalah Ibnu ‘Abdil Barr dalam at-Tamhid (XVI/104) dan Ibnul Mundzir. Lihat dalam fat-hul Bari (X/97). Dan, tidak diragukan bahwa hukum makan serupa dengan minum. Para ulama telah mengupas hikmah yang terkandung dalam larangan ini dan mereka berbeda pendapat. Di antara hikmah larangan ini adalah menyerupai penguasa-penguasa yang angkuh dan raja-raja asing, sikap berlebihan dan sombong, karena akan menyakiti hati orang-orang shalih dan kaum fakir miskin yang tidak memiliki sesuatu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abdil Barr. (at-Tamhid (XVI/105) dan lihat pula fat-hul Bari (X/97). FAIDAH : Al-Isma’ili mengatakan : Sabda beliau : dan untuk kalian di akhirat (dalam satu riwayat) maksudnya kalian akan menggunakannya sebagai penyeimbang (pengganti) karena telah meninggalkannya di dunia. Dan, dilarangnya mereka sebagai basalan bagi mereka karena kemaksiatan mereka dengan menggunakannya (yaitu di dunia). Saya (Ibnu Hajar) katakana : Ada kemungkinan hadits diatas mengisyaratkan bahwa siapa saja yang menggunakannya di dunia maka dia tidak akan bisa menggunakannya di akhirat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan minum khamr. (Fat-hul Bari (X/98)). 2. Larangan Makan Sambil Bertelekan Atau Menelungkupkan Wajah

عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِرَجُلٍ عِنْدَهُ لَا آكُلُ وَأَنَا مُتَّكِئٌ. (رواه البخاري)

dari Abu Juhaifah ia berkata; Suatu ketika, Aku berada di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian beliau bersabda kepada seorang laki-laki yang ada di sisinya: "Aku tidak akan makan sambil bersandar." (HR.Al-Bukhari (no.4980), dan lafazh diatas adalah lafazh hadits al-Bukhari, Ahmad (no.18279), at-Tirmidzi (no.1830), Abu Dawud (no.3769), Ibnu Majah (no.3662), dan ad-Darimi (no.2071)). Ibnu Hajar mengatakan : Para ulama berselisih pendapat tentang sifat (cara) bertelekan ini. Di antara mereka mengatakan : Bersandar ketika makan dengan posisi bagaimana pun. Ada yang berpendapat, duduk menyerong ke salah satu sisi tubuhnya. Ada yang berpendapat, duduk bertumpu dengan tangan kirinya di atas tanah…. Ibnu Hajar mengatakan : Dan jika merupakan suatu ketetapan bahwa keadaannya makruh atau menyalahi amalan yang utama, maka posisi duduk yang sunnah ketika makan adalah dengan duduk berjingkat pada lutut dan menegakkan tumit, melipat kaki kanan dan duduk di atas kaki kiri. (Fat-hul Bari (IX/452)). Saya katakan : Posisi ini, yaitu menegakkan kaki kanan dan duduk di atas kaki kiri diriwayatkan oleh Abul Hasan al-Muqri dalam asy-Syama’il dari hadits beliau (Abu Juhaifah) : Apabila beliau duduk, maka beliau melipat lututnya yang kiri dan menegakkan kaki kanannya….. Sanadnya dha’if. Al-Iraqi’ mengatakannya dalam Takrij Ihya ‘Ulumuddin (II/6), cet.Darul Hadits, cet.I, th.1412 H)). Dan, dimakruhkannya posisi duduk seperti ini karena merupakan posisi duduk para penguasa yang angkuh dan raja-raja negeri asing. Juga merupakan posisi duduk orang-orang yang ingin memperbanyak makan. (Lihat Zadul Ma’ad (IV/222) dan Fat-hul Bari (IX/452)). Dan, posisi kedua dari cara makan seseorang yang terlarang adalah makan sambil duduk bersandar (bertelungkup) di atas perutnya.

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مَطْعَمَيْنِ عَنْ الْجُلُوسِ عَلَى مَائِدَةٍ يُشْرَبُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ وَأَنْ يَأْكُلَ الرَّجُلُ وَهُوَ مُنْبَطِحٌ عَلَى بَطْنِهِ. (رواه أبو داود)

dari Salim dari Ayahnya ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang dari dua tempat makan; duduk menghadap hidangan yang padanya diminum khamer dan serta seseorang makan dalam keadaan tengkurap." (HR. Abu Dawud (no.3282), dan Syaikh al-Albani menshahihkannya. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (no.3370)). Faidah : Cara duduk ketika makan : Beliau makan dengan posisi muq’in, dan disebutkan dari beliau bahwa ketika makan beliau duduk tawarruk, yaitu duduk di atas kedua lutut dan meletakkan telapak kaki kiri beliau di atas punggung kaki kanan beliau, sebagai bentuk sikap tawadhu’ (rendah diri) terhadap kepada Rabb-nya. Demikian yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim. (Zadul Ma’ad (IV/221)). Adapun posisi duduk yang pertama sebagaimana yang diriwayatkan :

عَنْ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُقْعِيًا يَأْكُلُ تَمْرًا. (رواه مسلم)

dari Anas bin Malik dia berkata; "Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam makan kurma dalam keadaan duduk iq'a (muq’in) {(posisi duduk tanpa kursi dengan menegakkan kedua kakinya/ duduk di atas kedua pantat dengan menegakkan kedua betis beliau. (Syarh Muslim (jilid VII (XIII/188)))}." (HR.Muslim (no.3807), Ahmad (no.12688), Abu Dawud (no.3771), dan ad-Darimi (no.2062)). Adapun posisi duduk yang kedua, diriwayatkan :

عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُسْرٍ قَالَ أَهْدَيْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةً فَجَثَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ يَأْكُلُ فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ مَا هَذِهِ الْجِلْسَةُ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ جَعَلَنِي عَبْدًا كَرِيمًا وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا عَنِيدًا. (رواه ابن ماجة)

dari Abdullah bin Busr dia berkata, "Saya menghadiahkan kambing (bakar) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian beliau makan sambil duduk berlutut di atas kedua tumitnya. Maka berkatalah seorang Arab badui, "Duduk apakah ini?" beliau menjawab: "Sesungguhnya Allah menjadikanku sebagai seorang hamba yang lemah lembut (mulia), dan tidak menjadikanku hamba yang keras dan sombong." (HR.Ibnu Majah (no.3254), dan lafazh tersebut adalah lafazh Ibnu Majah. Ibnu Hajar menghasankan sanad-sanadnya dalam al-Fat-h (IX/452). Syaikh al-Albani berkata : Shahih, (no.2658). diriwayatkan juga oleh Abu Dawud (no.3773) tanpa menyebutkan kedua lutut)). 3. Mendahulukan Makan Dari Shalat Ketika Makanan Telah Dihidangkan

عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ. (رواه البخاري)

dari 'Aisyah radliallahu 'anhu berkata, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila makan malam sudah dihidangkan sedangkan shalat jama'ah sudah dibacakan iqamatnya, maka dahulukanlah makan". (HR.Al-Bukhari (no.631), Muslim (no.557), Ahmad (no.12234), at-Tirmidzi (no.353), an-Nasa’i (no.853) dan ad-Darimi (no.1281)).

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدِكُمْ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ وَلَا يَعْجَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ. (رواه البخاري)

dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhu berkata,; Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Apabila makan malam seseorang dari kalian sudah dihidangkan sedangkan shalat sudah didirikan, maka dahulukanlah makan malam dan janganlah tergesa-gesa hingga dia menuntaskannya". (HR.Al-Bukhari (no.633), Muslim (no.559), Ahmad (no.5772), at-Tirmidzi (no.354), Abu Dawud (no.3757), Ibnu Majah (no.934)dan ad-Darimi (no.1281)). Dan, apabila makan malam telah dihidangkan kepada Ibnu Umar sementara waktu shalat telah tiba, beliau tetap tidak beranjak dari makan malamnya hingga menyelesaikannya. Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya :

عَنْ نَافِعٌ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ أَحْيَانًا يَبْعَثُهُ وَهُوَ صَائِمٌ فَيُقَدَّمُ لَهُ عَشَاؤُهُ وَقَدْ نُودِيَ صَلَاةُ الْمَغْرِبِ ثُمَّ تُقَامُ وَهُوَ يَسْمَعُ فَلَا يَتْرُكُ عَشَاءَهُ وَلَا يَعْجَلُ حَتَّى يَقْضِيَ عَشَاءَهُ ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُصَلِّي قَالَ وَقَدْ كَانَ يَقُولُ قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ إِذَا قُدِّمَ إِلَيْكُمْ. (رواه أحمد)

dari Nafi' bahwa Ibnu Umar terkadang mengutusnya (Nafi') sementara dia (Ibnu Umar) sedang berpuasa. Lalu disajikan hidangan makan malamnya sementara adzan Shalat Maghrib telah dikumandangkan dan iqamah sudah diserukan, sedangkan dia mendengarnya. Dia tidak meninggalkan makan malamnya dan tidak pula terburu-buru sampai dia selesai makan malam. Kemudian dia berangkat dan shalat, dan dia berkata; Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian terburu-buru menghabiskan makan malam kalian jika memang telah dihidangkan kepada kalian." (Al-Musnad (no.6074)). Alasannya agar jangan sampai seseorang mengerjakan shalat akan tetapi hatinya teringat kepada makan malamnya sehingga ia menjadi risau dan menghilangkan kekhusyu’annya. Ibnu Hajar mengatakan : Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas bahwa keduanya tengah menyantap makanan di pemanggangan. Lalu muadzin hendak menyerukan iqamat shalat, maka Ibnu Abbas berkata kepadanya : Janganlah engkau tergesa-gesa agar kami tidak berdiri mengerjakan shalat semenara dalam hati kami ada ganjalan. Dan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah disebutkan : Agar tidak memalingkan (hati) kami di saat mengerjakan shalat. (Fat-hul Bari (II/189)). Diriwayatkan :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ. (رواه مسلم)

dari Aisyah Radhiyallahu'anha, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam, bersabda, 'Tidak sempurna shalat seseorang apabila makanan yang telah dihidangkan, atau apabila dia menahan buang air besar atau kecil'." (HR.Muslim (no.869), Ahmad (no.23646),dan Abu Dawud (no.89)). Dan diriwayatkan juga dari Abud Darda, ia berkata : Di antara bentuk pemahaman seseorang adalah dengan menyelesaikan hajatnya sehingga ia menuju shalat dengan hati yang tenang. (Diriwayatkan secara mu’allaq oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Adzan, bab. Idzaa Hadhara Ath-Tha’am wa Uqiimat Ash-Shalat. Ibnu Al-Mubarak meriwayatkan atsar ini secara maushul didalam kitab Az-Zuhd. Dan, Muhammad bin Nashr Al-Marruzi meriwayatkannya didalam Kitab Ta’dziim Qadri Ash-Shalat, dari jalan Ibnu Al-Mubarak. Sebagaimana pernyataan Ibnu Hajar didalam Fat-hul Bari (2/187)). Pendapat yang tepat tentang masalah ini adalah yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, di mana setelah mengutip atasar Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan bin ‘Ali, yaitu : Makan malam sebelum mengerjakan shalat akan menghilangkan hati yang tercela. Ia mengatakan : Semua atsar ini mengisyaratkan bahwa sebab didahulukannya makan daripada shalat karena hati akan membayangkan makanan tersebut, maka sepatutnyalah hukum diikutkan kepada sebabnya, baik ketika sebab itu ada atau tidak, dan tidak terikat dengan seluruhnya atau sebagiannya. (Fat-hul Bari (II/189-190)). 4. Mencuci Kedua Tangan Sebelum Dan Sesudah Makan Berkaitan dengan masalah ini Imam Ahmad memiliki dua riwayat, yaitu riwayat yang menganggapnya makruh dan riwayat lainnya sunnah. Sedangkan Imam Malik merinci dan mengaitkan membasuh kedua tangan sebelum makan jika memang ada kotoran di tangan. Adapun apa yang ditulis oleh Ibnu Muflih dalam kitab al-Adab karya beliau menunjukkan kecenderungan beliau berpendapat bahwa amalan tersebut disunnahkan sebelum makan, dan ini adalah pendapat sebagian besar ulama. (Lihat al-Adab (III/212)). Dan, ini adalah pembahasan yang lapang. Adapun tentang membasuh kedua tangan setelah makan, telah diriwayatkan beberapa atsar yang shahih, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَامَ وَفِي يَدِهِ غَمَرٌ وَلَمْ يَغْسِلْهُ فَأَصَابَهُ شَيْءٌ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ. (رواه أحمد)

dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Barangsiapa tidur sedang ditangannya masih terdapat ghomar (minyak sisa daging) dan ia belum mencucinya kemudian mengenai sesuatu, maka janganlah mencela kecuali dirinya sendiri." (HR. Ahmad (no.7253), Abu Dawud (no.3852), Syaikh al-Albani menshahihkannya. Dan diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi (no.1860), Ibnu Majah (no.3297) dan ad-Darimi (no.2063)). Ghomar : {Dalam Lisanul ‘Arab, al-Ghamar yaitu bau daging dan lemak yang menempel pada tangan (V/32), topik : غمر}.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَامَ وَفِي يَدِهِ غَمَرٌ وَلَمْ يَغْسِلْهُ فَأَصَابَهُ شَيْءٌ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ. (رواه أحمد)

dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Barangsiapa tidur sedang ditangannya masih terdapat ghomar (minyak sisa daging) dan ia belum mencucinya kemudian mengenai sesuatu, maka janganlah mencela kecuali dirinya sendiri." (HR. Ahmad (no.7253), Abu Dawud (no.3852), Syaikh al-Albani menshahihkannya. Dan diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi (no.1860), Ibnu Majah (no.3297) dan ad-Darimi (no.2063)).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكَلَ كَتِفَ شَاةٍ فَمَضْمَضَ وَغَسَلَ يَدَهُ وَصَلَّى. (رواه أحمد)

dari Abu Hurairah berkata; "Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memakan bahu kambing kemudian beliau berkumur dan mencuci tangannya lalu shalat. (HR. Ahmad (no.8688), Ibnu Majah (no.493) dan Syaikh al-Albani menshahihkannya (no.498)).

عَنْ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ أَكَلَ خُبْزًا وَلَحْمًا ثُمَّ مَضْمَضَ وَغَسَلَ يَدَيْهِ وَمَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ. (رواه مالك)

dari Aban bin Utsman, bahwa Utsman bin 'Affan makan roti dan daging, lalu berkumur-kumur, mencuci kedua tangannya, mengusap wajahnya, kemudian shalat dan tidak berwudlu. (HR. Malik (no.47)).

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ. (رواه مسلم)

dari Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila dalam keadaan junub, lalu ingin makan atau tidur, maka beliau berwudhu dengan wudhu untuk shalat." (HR.Al-Bukhari (no.286), Muslim (no.461) dan ini adalah lafazh beliau, Ahmad (no.24193), an-Nasa’i (no.255) Abu Dawud (no.224), Ibnu Majah (no.584) dan ad-Darimi (no.757)). Adapun atsar, diriwayatkan :

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ أَوْ يَطْعَمَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ طَعِمَ أَوْ نَامَ. (رواه مالك)

dari Nafi' bahwa apabila Abdullah bin Umar hendak tidur atau makan, sedang dia junub, dia membasuh wajah dan kedua tangannya hingga ke siku-sikunya. Mengusap kepalanya kemudian makan atau tidur. (HR. Malik (no.99)). Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah mengatakan : Dan kami tidak mengetahui seorang pun yang beranggapan sunnahnya berwudhu’ sebelum makan, kecuali jika ia dalam keadaan junub. (Al-Adabusy Syar’iyyah (III/214)). Perhatian : Al-Muhaddits al-Albani berdalil dengan hadits Aisyah :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ غَسَلَ يَدَيْهِ. (رواه النسائي)

dari Aisyah Radliyallahu'anha, bahwa apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hendak tidur sedangkan beliau dalam keadaan junub, maka beliau berwudlu, dan bila hendak makan beliau hanya mencuci keduanya tangannya. (HR. An-Nasa’i  (no.256), Ahmad (no.24353) dan selain keduanya). Bahwa disyariatkan membasuh kedua tangan sebelum makan secara mutlak berdasarkan hadits ini. (Lihat as-Silsilah ash-Shahihah I (I/674)(no.390)). Para imam ahlul Hadits, seperti Malik,Ahmad,Ibnu Taimiyyah, an-Nasa’i {dimana hadits ini dicantumkan pada tiga judul bab : Pertama, Wudhu’ seorang yang junub apabila hendak makan. Kedua, seorang yang junub cukup membasuh kedua tangan apabila ia hendak makan. Ketiga, seorang yang junub cukup mencuci kedua tangan apabila ia hendak makan atau minum. (Lihat kitab ath-Thaharah dalam Sunan an-Nasa’i) dan selain mereka (dan kami telah mengutip perkataan mereka) tidak berpendapat bahwa hadits ‘Aisyah diatas berlaku secara mutlak sebagaimana pendapat al-‘Allamah al-Albani yang menganggapnya berlaku secara mutlak, sedangkan mereka meriwayatkan hadits ini yang menguatkan bahwa permasalahan ini menurut mereka hanya berlaku pada saat junub, sehingga wudhu’ dan membasuh tangan sebelum makan dalam hadits ini berlaku hanya pada saat junub. 5. Tasmiyah (Mengucapkan “Bismillah”) Ketika Memulai Makan Dan Minum, Dan Mengucpkan Hamdalah Sesusai Makan Dan Minum Di antara perkara yang disunnahkan adalah sebelum seseorang makan dan minum hendaklah ia membaca : Bismillah dan memuji Allah (mengucapkan hamdalah) setelahnya. Ibnul Qayyim mengatakan : Membaca basmalah di awal makan dan minum dan mengucapkan hamdalah setelahnya memiliki pengaruh yang sangat menakjubkan, baik dari segi manfaat, kebaikan juga dalam mencegah kemudharatan. Imam Ahmad mengatakan : Jika dalam makanan telah terkumpul empat hal, maka sungguh telah sempurna; yaitu apabila menyebut nama Allah di awal makan, mengucapkan hamdalah setelah makan, makan secara berjama’ah dan makanan tersebut adalah makanan yang halal (jenis dan sumbernya). (Zadul Ma’ad I (IV/232)). Faidah membaca bsamalah sebelum makan bahwa setan diharamkan masik ke dalam makanan dan juga mendapatkannya. Diriwayatkan dari :

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ كُنَّا إِذَا حَضَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا لَمْ نَضَعْ أَيْدِيَنَا حَتَّى يَبْدَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعَ يَدَهُ وَإِنَّا حَضَرْنَا مَعَهُ مَرَّةً طَعَامًا فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ كَأَنَّهَا تُدْفَعُ فَذَهَبَتْ لِتَضَعَ يَدَهَا فِي الطَّعَامِ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهَا ثُمَّ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ كَأَنَّمَا يُدْفَعُ فَأَخَذَ بِيَدِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ أَنْ لَا يُذْكَرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ جَاءَ بِهَذِهِ الْجَارِيَةِ لِيَسْتَحِلَّ بِهَا فَأَخَذْتُ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَذَا الْأَعْرَابِيِّ لِيَسْتَحِلَّ بِهِ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّ يَدَهُ فِي يَدِي مَعَ يَدِهَا. (رواه مسلم)

dari Hudzaifah dia berkata; Bila kami menghadiri jamuan makan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Salam, kami tidak meletakkan tangan kami hingga beliau memulai meletakkan tangan beliau. ketika kami menghadiri jamuan makan bersama beliau, tiba-tiba datang seorang budak perempuan yang ingin meletakkan tangannya pada makanan itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Salam meraih tangannya (menyingkirkannya), kemudian seorang badui datang yang ingin meletakkan tangannya diatas makanan itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Salam pun meraih tangannya. Beliau lalu bersabda: "Sesungguhnya Setan akan mendapatkan makanan yang tidak disebut nama Allah dan ia datang bersama anak perempuan ini untuk mendapatkannya, lalu aku meraih tangannya, ia juga datang bersama orang badui ini untuk mendapatkannya lalu aku meraih tangannya. Demi Dzat Yang jiwaku berada ditanganNya, Sesungguhnya tangan setan itu berada di tanganku seperti ia ada di dalam tangan keduanya (orang badui dan budak perempuan)." (HR. Muslim (no.3761), Ahmad (no.22738), dan Abu Dawud (no.3766)). Lafazh Tasmiyah adalah dengan mengucapkan bismillah.

عَنْ عُمَرَ بْنَ أَبِي سَلَمَةَ يَقُولُ كُنْتُ غُلَامًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ. (رواه البخاري)

dari Umar bin Abu Salamah berkata; Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tanganku bersileweran di nampan saat makan. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Ghulam, bacalah Bismilillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu." Maka seperti itulah gaya makanku setelah itu. (HR.Al-Bukhari (no.5376), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau,Muslim (no.2022), Ahmad (no.1589), Ibnu Majah (no.3267), Malik (no.1738) dan ad-Darimi (no.2045)). Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar beliau memilih bahwa yang paling utama adalah mengucapkan : Bismillahirrhmanirrahiim, dan jika hanya mengucapkan : Bismillah, maka hal itu juga sudah cukup dan dianggap telah mengamalkan Sunnah. (Al-Adzkar karya Imam an-Nawawi (mo.334)). Akan tetapi, Ibnu Hajar menyanggah pendapat tersebut, beliau berkata : Aku tidak melihat adanya dalil khusus yang bisa menguuatkan pernyataan beliau. (Fat-hul Bari (IX/431)). Saya katakana bahwa sebagian besar nash yang ada hanya menerangkan dengan lafazh “Bismillah” dan semisalnya tanpa tambahan “ar-Rahmaan ar-Rahiim.

فعن من حديث عمر بن أبي سلمة قال : قال رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا غُلَامُ إذا أكلت فقل: بسم اللَّه وَكُلْ بِيَمِينِكَ, وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ. (رواه الطبراني)

Diriwayatkan dari hadits Amr bin Abi Salamah, ia berkata, “ Rasulullah bersabda : “Wahai anak muda, apabila engkau hendak makan maka ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang terdekat denganmu.  (HR.Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan Syaikh al-Albani memasukkannya dalam Silsilah ash-Shahihah, dan beliau berkata : Sanad-sanad hadits ini shahih sesuai dengan syarat asy-Syaikhain (I/611)(no.344)). Dan, jika seorang lupa mengucapkan bismillah sebelum makan kemudian ia teringat ketika ia tengah makan, maka hendaklah ia mengucapkan : Bismillahi awwalahu wa aakhirahu, atau mengucapkan “Bismillahi fii awwalihi wa aakhirihi”. Diriwayatkan :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ. (رواه أبو داود)

dari Aisyah radliallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebutkan nama Allah Ta'ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta'ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: BISMILLAAHI AWWALAHU WA AAKHIRAHU (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya) '."  (HR. Abu Dawud (no.3275), dan lafazh diatas adalah lafazh Abu Dawud, dan Syaikh al-Albani menshahihkannya. juga oleh Ahmad (no.25558), at-Tirmidzi (no.1858), Ibnu Majah (no.3264) dan ad-Darimi (no.2020)). Adapun ucapan hamdalah setelah makan atau minum, maka ucapan ini memiliki keutamaan yang sangat agung, yang Allah anugerahkan kepada seluruh hamba-Nya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنْ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا. (رواه مسلم)

dari Anas bin Malik dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Sesungguhnya Allah Ta'ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) sesudah makan dan minum." (HR. Muslim (no.4915), Ahmad (no.11562), dan at-Tirmidzi (no.1816)). Lafazh pujian kepada Allah (hamdalah) setelah makan dan minum bermacam-macam, di antaranya : a.

الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مُوَدَّعٍ وَلَا مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبَّنَا. (رواه البخاري)

'ALHAMDULILLAHI KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI GHAIRA MAKFIYIN WA LAA MUWADDA'IN WA LAA MUSTAGHNAN 'ANHU RABBANAA (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, yang baik dan yang mengandung keberkahan di dalamnya, bukan pujian yang tidak dianggap dan tidak dibutuhkan oleh Tuhan) '. Ghaira muwadda’in artinya : { Pencarian terhadapnya tidak ditinggalkan dan mengharapkan apa yang ada di sisi-Nya (senantiasa dibutuhkan). Di antaranya firman Allah : مَاوَدَّعَكَ رَبُّكَ  : yakni Rabb-mu tidak meninggalkanmu. Sebagian ulama ada yang membacanya : غَيْرَ مُوّدِّعٍ  : yakni tidak menjadi orang yang meninggalkan ketaatan kepada Rabb-ku. Dikatakan oleh al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XI/277-278)} b. Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makan ini dan yang telah memberiku rezki tanpa daya dan kekuatan dariku.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَعَ مَائِدَتَهُ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مُوَدَّعٍ وَلَا مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبَّنَا. (رواه البخاري).

dari Abu Umamah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam jika mengangkat lambungnya (selesai makan), beliau membaca: 'ALHAMDULILLAHI KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI GHAIRA MAKFIYIN WA LAA MUWADDA'IN WA LAA MUSTAGHNAN 'ANHU RABBANAA (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, yang baik dan yang mengandung keberkahan di dalamnya, bukan pujian yang tidak dianggap dan tidak dibutuhkan oleh Tuhan) '." (HR.Al-Bukhari (no.5037), dan lafazh diatas adalah lafazh al-Bukhari, Ahmad (no.21664), at-Tirmidzi (no.3456), Abu Dawud (no.3849), Ibnu Majah (no.3284), ad-Darimi (no.2023) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.2828)). Lafazh lain dari beberapa hadits :

عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (رواه الترمذي).

dari Sahl bin Mu'adz bin Anas dari ayahnya, ia berkata; Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan; Al HAMDULILLAAHILLADZII ATH'AMANII HAADZAA WA RAZAQANIIHI MIN GHAIRI HAULIN MINNII WA LAA QUWWATIN (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku minum ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku) maka diampuni dosanya yang telah lalu." (HR. at-Tirmidzi (no.3380), dan ia berkata; hadits ini adalah hadits hasan gharib. Ibnu Majah (no.3285) dan syaikh al-Albani menghasankannya (no.3348)).

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَكَلَ أَوْ شَرِبَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَ وَسَقَى وَسَوَّغَهُ وَجَعَلَ لَهُ مَخْرَجًا. (رواه أبو داود)

dari Abu Ayyub Al Anshari ia berkata, "Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selesai dari makan atau minum, beliau mengucapkan: 'Al HAMDULILLAAHILLADZII ATH'AMA WA SAQAA WA SAWWAGHAHU WA JA'ALA LAHU MAKHRAJAN (Segala puji bagi Allah Yang telah memberi makan dan minum, memudahkan saat menelan dan menjadikan baginya tempat keluar) '."  (HR. Abu Dawud (no.3353), syaikh al-Albani mengatakan : Shahih).

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ أَنَّهُ حَدَّثَهُ رَجُلٌ خَدَمَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِ سِنِينَ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قُرِّبَ إِلَيْهِ طَعَامُهُ يَقُولُ بِسْمِ اللَّهِ وَإِذَا فَرَغَ مِنْ طَعَامِهِ قَالَ اللَّهُمَّ أَطْعَمْتَ وَأَسْقَيْتَ وَأَغْنَيْتَ وَأَقْنَيْتَ وَهَدَيْتَ وَأَحْيَيْتَ فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا أَعْطَيْتَ. (رواه أحمد)

dari Abdurrahman bin Jubair sesungguhnya dia menceritakannya seseorang yang telah melayani Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam selama delapan tahun, sesungguhnya dia mendengar Nabi Shallallahu'alaihiwasallam jika didekatkan kepada beliau makanannya membaca, BISMILLAH (Dengan menyebut nama Allah) dan jika telah selesai dari memakan, beliau membaca: ALLAHUMMA AT'AMTA WA ASQAITA WA AGHNAITA WA AQNAITA WA HADAITA WA AHYAITA FA LAKA Al HAMD 'ALA MA A'THAITA (Ya Allah, Engkau telah memberi makan, minum, kecukupan, keridlaan, petunjuk dan kehidupan. Bagi-Mulah pujian atas apa yang telah Engkau berikan). (Syaikh al-Albani mengatakan dalam as-Silsilah ash-Shahihah (I/111) : HR. Ahmad (IV/62, V/375) dan Abusy Syaikh dalam Akhlaqun Nabi kemudian beliau menyebutkan sanadnya dan mengatakan : Sanad ini Shahih, semua riwayat tsiqat dan merupakan para perawi yang digunakan oleh Muslim). 6. Makan Dan Minum Dengan Tangan Kanan Dan Larangan Menggunakan Tangan Kiri Sebelumnya telah disebutkan sabda Nabi kepada Umar bin Abi Salamah :

عَنْ عُمَرَ بْنَ أَبِي سَلَمَةَ يَقُولُ كُنْتُ غُلَامًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ. (رواه البخاري)

dari Umar bin Abu Salamah berkata; Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tanganku bersileweran di nampan saat makan. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Ghulam, bacalah Bismilillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu." Maka seperti itulah gaya makanku setelah itu. (HR.Al-Bukhari (no.5376), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau,Muslim (no.2022), Ahmad (no.1589), Ibnu Majah (no.3267), Malik (no.1738) dan ad-Darimi (no.2045)).

عَنْ جَابِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَأْكُلُوا بِالشِّمَالِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِالشِّمَالِ. (رواه مسلم)

dari Jabir dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Janganlah kalian makan dengan tangan kiri, karena setan makan dengan tangan kiri." (HR. Muslim (no.3763), dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat beliau,  Ahmad (no.14177), Ibnu Majah (no.3268),  dan Malik (no.1711)).

عَنْ جَدِّهِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ. (رواه مسلم)

dari kakeknya Ibnu 'Umar; bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seseorang diantara kalian makan, maka hendaknya dia makan dengan tangan kanannya. Jika minum maka hendaknya juga minum dengan tangan kanannya, karena setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya pula." (HR. Muslim (no.3764), Ahmad (no.4523), at-Tirmidzi (no.1800), Abu Dawud (no.3776),  Malik (no.1712) dan ad-Darimi (no2020)).

عَنْ إِيَاسُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ بِيَمِينِكَ قَالَ لَا أَسْتَطِيعُ قَالَ لَا اسْتَطَعْتَ مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ. (رواه مسلم)

dari Iyas bin Salamah bin Al Akwa'; Bapaknya telah menceritakan kepadanya, bahwa seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan tangan kirinya, Lalu Rasulullah bersabda: "Makanlah dengan tangan kananmu! Dia menjawab; 'Aku tidak bisa.' Beliau bersabda: "Apakah kamu tidak bisa?" -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya. (HR. Muslim (no.3766), dan Ahmad (no.16064)). Dalam riwayat Ahmad :

 قَالَ فَمَا وَصَلَتْ يَمِينُهُ إِلَى فَمِهِ بَعْدُ. (رواه أحمد)

(Salamah bin Al Akwa' Radliyallahu'anhuma) berkata; semenjak itu tangan kanannya tidak bisa sampai ke mulutnya. Imam an-Nawawi mengatakan : Hadits ini menunjukkan bolehnya seseorang mendoakan siapa saja yang menyalahi hukum syara’ tanpa adanya udzur. Dan, hadits ini juga menunjukkan perintah untuk menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar di setiap keadaan hingga di saat makan sekalipun. Dan, disukai mengajarkan adab-adab makan kepada seseorang yang makan jika dia menyalahinya. (Syarh Shahih Muslim (jilid VII) (XIV/161)). Peringatan :  Apabila ada udzur menggunakan tangan kanan untuk makan, seperti karena sakit atau luka dan selainnya, maka tidak mengapa makan dengan menggunakan tangan kiri. Dan, Allah tidak akan membebani seseorang kecuali yang sesuai dengan kemampuannya. 7. Memakan Makanan Yang Terdekat Disebutkan dalam salah satu riwayat :

عَنْ وَهْبَ بْنَ كَيْسَانَ أَنَّهُ سَمِعَهُ مِنْ عُمَرَ بْنَ أَبِي سَلَمَةَ يَقُولُ كُنْتُ غُلَامًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ.

Dari Wahb bin Kaisan yang dia dengar dari Umar bin Abu Salamah ia berkata; Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tanganku bersileweran di nampan saat makan. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Ghulam, bacalah Bismilillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu." (HR. Muslim (no.2022), takhrijnya telah disebutkan sebelumnya). Akan tetapi, mungkin saja ada yang menyanggah apa yang kami katakan ini dan dia berkata : Lalu apa yang akan kalian katakan tentang hadits Anas, di mana ia berkata :

أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ أَنَّ خَيَّاطًا دَعَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَهُ فَذَهَبْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَّبَ خُبْزَ شَعِيرٍ وَمَرَقًا فِيهِ دُبَّاءٌ وَقَدِيدٌ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَتَبَّعُ الدُّبَّاءَ مِنْ حَوَالَيْ الْقَصْعَةِ... (رواه البخاري)

Bahwasanya ia mendengar Anas bin Malik berkata, "Seorang tukang jahit mengundang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk menghadiri jamuan yang ia masak. Aku lalu pergi bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memenuhi undangan tersebut, penjahit itu lalu menyodorkan roti gandum dan kuah yang di dalamnya ada labu dan daging yang telah dikeringkan. Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memilih-milih buah labu di dalam bejana tersebut, maka setelah hari itu aku sangat menyukai buah labu."….. (HR.Al-Bukhari (no.5016), dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat al-Bukhari, Muslim (no.2041), Ahmad (no.12219), at-Tirmidzi (no.1850), Abu Dawud (no.3782),  Malik (no.1161) dan ad-Darimi (no.2050)). Ad-diba’ : (Ad-diba’ adalah sejenis buah sebesar labu. Disebutkan dengan tegas dalam riwayat Ahmad, ia berkata :

قُدِّمَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَصْعَةٌ فِيهَا قَرْعٌ قَالَ وَكَانَ يُعْجِبُهُ الْقَرْعُ قَالَ فَجَعَلَ يَلْتَمِسُ الْقَرْعَ بِأُصْبُعِهِ أَوْ قَالَ بِأَصَابِعِهِ. (رواه أحمد)

pernah dibawakan kepada Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam sebuah piring besar berisi labu, dan beliau senang dengan labu. (Anas bin Malik) berkata, "Beliau langsung memegangnya dengan jarinya." Atau berkata, "Dengan jari-jarinya" sedangkan al-Qadid adalah daging yang diberi garam kemudian dikeringkan di bawah terik matahari). Jawaban atas sanggahan ini bahwa kedua hadits ini tidak saling bertentangan, dan kami menjawabnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abdil Barr : Sesungguhnya al-maraq, al-idam dan makanan lain yang terdiri dari dua jenis atau banyak, maka dibolehkan menjulurkan tangan untuk mengambilnya, karena bolehnya memilih makanan yang dihidangkan di meja makan. Kemudian ia berkata mengomentari sabda beliau : … Dan sesungguhnya beliau memerintahkan kepadanya untuk makan dari makanan yang terdekat, karena makanan yang ada waktu itu memang hanya ada satu jenis saja. Demikianlah yang ditafsirkan oleh para ulama (At-Tamhid (I/277)). Dengan demikian jelaslah penyesuaian kedua hadits tersebut. 8. Disukai (Memulai) Makan Dari Pinggiran Piring, Bukan Dari Atasnya

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلَا يَأْكُلْ مِنْ أَعْلَى الصَّحْفَةِ وَلَكِنْ لِيَأْكُلْ مِنْ أَسْفَلِهَا فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ مِنْ أَعْلَاهَا. (رواه أبو داود)

dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian makan makanan maka janganlah ia makan dari atas piring, tetapi hendaknya ia makan dari bawahnya, sesungguhnya berkah turun dari atasnya." Dalam riwayat Ahmad disebutkan :

كُلُوا فِي الْقَصْعَةِ مِنْ جَوَانِبِهَا وَلَا تَأْكُلُوا مِنْ وَسَطِهَا فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ فِي وَسَطِهَا. (رواه أحمد)

"Makanlah pada nampan dari pinggirnya dan jangan memakannya dari tengahnya. Karena sesungguhnya keberkahan itu turun di tengahnya."  (HR. Abu Dawud (no.3280) lafazh hadits diatas adalah lafazh riwayat Abu Dawud, Ahmad (no.2313), at-Tirmidzi (no.1805), dan beliau berkata : Hadits ini hasan shahih,  Ibnu Majah (no.3277) dan ad-Darimi (no.2046)). Bagian tengah diberi kekhususan dengan turunnya berkah, karena tempat itu adalah tempat yang paling adil. Dan, sebab dari larangan tersebut adalah agar seseorang yang makan tidak terharamkan baginya berkah yang berada di bagian tengah. Juga termasuk dalam hadits ini apabila orang yang makan lebih dari seorang (dengan berjama’ah), karena seseorang di antara mereka yang terlebih dahulu mengambil di bagian tengah makanan sebelum bagian pinggirnya, maka ia telah melakukan adab yang jelek kepada mereka dan mementingkan diri sendiri dibanding mereka untuk sesuatu yang baik. (Lihat ‘Aunul Ma’bud (jilid V (X/177)). Bersambung ke poin no.9-15. Digubah dan diringkas secara bebas oleh ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc., dari buku Kitabul ‘Adab karya Fuad bin Abdil Aziz asy-Syalhub.

Author

Tag