PUJIAN DAN CELAAN DI KEHIDUPAN
Oleh: Ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc Hafizhahullah Keutaman Memuji dan Menjauhi Celaan 

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛

Segala puji bagi Allah, yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat hamba-hamba-Nya. Maha suci Allah, Dialah yang menciptakan bintang-bintang di langit, dan dijadikan padanya penerang dan bulan yang bercahaya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang layak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, yang diutus dengan kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, mengajak pada kebenaran dengan izin-Nya, dan cahaya penerang bagi umatnya. Ya Allah, curahkan shalawat dan salam baginya dan keluarganya, yaitu doa dan keselamatan yang berlimpah. Dengan doa itu pula semoga Allah subhanahu wa ta'ala menganugerahkan pujian kepada kita dan menjauhkan dari celaan. Kehidupan manusia selalu bersinggungan kedua sifat tersebut: terpuji atau tercela. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pernah memuji orang lain. Tujuan memuji itu tentu banyak: ada memang karena tulus memuji atau karena tujuan tertentu lainnya. Dalam Islam, tidak selamanya memuji orang itu boleh. Bahkan dalam hadits Nabi, kalau kamu melihat orang yang suka memuji orang lain, tumpahkanlah debu ke mukanya. Rasulullah bersabda,

 إِذَا رَأَيْتُمْ المَدَّاحِيْنَ فَاحْثَوْا فِيْ وُجُوْهِهِمُ التُّرَابَ

Jika kalian melihat orang-orang yang suka memuji, maka tumpahkanlah debu ke mukanya.” (Hadits Riwayat Muslim) Mayoritas ulama beranggapan bahwa memuji orang lain boleh kalau yang dipuji tidak ada di depan kita. Kalau orang yang dipuji tersebut di depan kita, maka perlu diperhatikan beberapa syarat yang disebutkan Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar: Bila orang yang dipuji imannya tidak kuat atau gampang tergoda jadi sombong bila dipuji, maka pujian untuknya tidak boleh. Memujinya dibolehkan, kalau orang yang dipuji tidak ada di hadapan kita. Menurut Imam An-Nawawi, cara memahami hadits adalah dilihat konteksnya. Kalau memang orang yang dipuji keimanannya kuat dan tidak akan lalai menjadi sombong dengan pujian, maka memuji orang tersebut dibolehkan. Begitupun dengan mencela. Mencela perbuatan buruk diperbolehkan, tetapi mencela orang itu yang tidak diperkenankan. Larangan mencela juga tidak hanya sebatas itu, dalam beberapa riwayat Nabi berkali-kali mengingatkan untuk tidak mudah mencela. Bagi kita, para pendosa memang sepertinya layak untuk mendapat celaan dan makian. Kita juga sering kali melihat orang-orang yang dianggap bersalah, bahkan yang belum dibuktikan secara hukum, sudah dicela dan dibully ramai-ramai di media sosial. Kita menganggapnya seakan biasa saja. Tapi ternyata, bagi Rasulullah , hal seperti itu dilarang. Nabi pernah memperingatkan orang-orang yang mencela pezina yang sedang dirajam oleh nabi. Namanya Maiz bin Malik. Saat ia dirajam, orang-orang yang ada di sekitarnya pun mencelanya. Nabi lantas melarang perbuatan para pencela tersebut.

عنْ أبِي الفِيلِ قالَ: قالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ «لا تَسُبُّوهُ» يَعْنِي ماعِزَ بْنَ مالِكٍ حِينَ رُجِمَ

Rasulullah bersabda, Jangan mencelanya!” yakni Maiz bin Malik saat dia dirajam.” (Al-Mu’jam Al-Kabir Lith Thabrani no. 1096) Namun para ulama mengecualikan, ada orang muslim yang boleh dicela yaitu orang yang memang telah ‘melepaskan pakaian rasa malunya’. Orang yang mencelanya tidaklah menjadi fasik. Misalnya orang yang menampakkan maksiatnya dan membangga-banggakan kerusakannya. Sebagaimana Rasulullah bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافىٍ إلاَّ المُجَاهِرُوْنَ

“Seluruh umatku selamat (dimaafkan) kecuali orang-orang yang menampakkan (maksiatnya).” (Hadits Riwayat Bukhari) Orang yang menampakkan kemaksiatannya dan bangga dengan maksiat yang dilakukannya, tidak masalah orang banyak membicarakan kejelekannya, karena dia sendiri yang telah mengumbar aibnya. Orang yang mencelanya tidak terhitung fasik. Adapun yang dilarang adalah mencela seorang muslim yang lahirnya baik, bahkan selaiknya kita berusaha menutup aibnya jika kita mengetahuinya. *** Disadur secara bebas oleh: Al-Ustadz Abu Nida’ Chomsaha Shofwan, Lc Hafizhahullah dari buku “Al-Arba’una Haditsan fil Madhi wadz Dzammi” karya Syaikh Sa’ad bin Muhammad at-Thukhis. Editor : @rimoesta Team Redaksi : Ustadz Abu Abdillah Mubarok, M.Pd. dan Ustadz Abu Layla Turahmin, M.H.

Author