ISLAM ADALAH SATU MANHAJ KENABIAN
Islam adalah agama yang diturunkan Allah subhanahu wa ta'ala sejak nabi Adam 'alaihi sallam hingga nabi Muhammad . Agamanya satu, jalannya satu dibangun di atas tauhid. Jalan yang didasari pada keesaan Allah. Itulah yang dimaksud dalam ayat:

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu[1] dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (Al-Quran Surat Al-Anbiya: 92) Nah jalan untuk menuju tujuan agama itulah yang disebut manhaj. Jadi manhaj adalah jalan yang dilalui di atasnya. Allah subhanahu wa ta'ala menggariskan jalan yang kita harus lewati. Sebagaimana Allah sudah menjelaskan dalam kitab-Nya. Rasul-Nya juga menjelaskan dalam sunah yang untuk umatnya setelah beliau wafat.

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ. (رَوَاْهُ أَبُوْدَاْوُدَ)

“Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat.” (Hadits Riwayat Abu Dawud)

وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ. (رَوَاْهُ اَلنَّسَائِي)

………..dan setiap kesesatan ada di dalam neraka.” (Hadits Riwayat An-Nasa’i)

إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي كِتَابُ اللَّهِ وَسُنَتِي. (رَوَاْهُ اَلتُّرْمِذِي)

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku yaitu; kitabullah dan sunnahku.” (Hadits Riwayat Tirmidzi) Itulah manhaj untuk mengikuti kitab dan sunah melalui pemahaman para ulama pendahulu. Siapa pendahulu awal itu? Disebutkan dalam surat Taubah ayat 100.

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (Al-Qur’an Surat At-Taubah:100)  APA ITU MANHAJ? Manhaj adalah jalan yang Allah gariskan kepada kita dan Rasulullah  terangkan kepada kita dalam sunnahnya. Jalan itu yang telah ditempuh oleh para sahabatnya dan orang-orang yang datang sesudahnya. Para aimmatud da’wah sejak zaman sahabat hingga kini menempuh jalan tersebut. Apa aimmatud da’wah itu? Terdiri dari dua kata aimmatu dan da’wah. Aimmah adalah jamak dari kata imam, pemimpin. Sedang yang dimaksud dengan da’wah adalah mengajak kepada kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan.” (Al-Qur’an Surat Ali Imran: 104) Yang dimaksud imam-imam dakwah adalah ulama yang berjalan di atas manhaj rasul dan menjelaskan kepada manusia.

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ. (رواه مسلم)

“Senantiasa ada sekelompok ummatku yang dimenangkan atas kebenaran, tidak akan membahayakannya orang yang memusuhinya hingga hari Kiamat sedangkan mereka tetap seperti itu.” (Hadits Riwayat Muslim) Jadi yang dimaksud dengan imam dakwah adalah ulama rabaniyun yang selalu memperbarui agama ini—yang dimaksud adalah mendakwahkannya. mengajarkannya kepada manusia, memperingatkan kepada siapa yang menyelisihinya. Imam dakwah yang pertama adalah rasul. Beliaulah panutan para dai.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Qur’an Surat Al-Ahdzab: 21) Para imam dakwah berikutnya adalah orang yang datang setelah rasul, yang mengikuti manhaj beliau di jalan dakwah tersebut. Termasuk para sahabat, tabi’in, dan generasi awal yang dimuliakan. Tidak lupa pula termasuk iamam yang empat dan orang-orang setelah mereka yang mengikuti jejaknya dan meneruskan dakwah mereka. Alhamdulillah, golongan umat ini tidak akan lenyap di dunia. Meskipun secara jumlah kadang ada banyak dan kadang sedikit.

إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا. (رواه أبوداود)

“Setiap seratus tahun Allah mengutus kepada umat ini seseorang yang akan memperbaharui agama ini (dari penyimpangan).” (Hadits Riwayat Abu Dawud) Itulah para immah, para imam yang menjadi panutan. Di antaranya menjadi imam shalat dan imam pemerintahan, mereka adalah panutan yang diikuti, disebut imam dakwah atau imam agama. Sering disebut dakwah karena dakwah adalah asas ditegakkannya agama Islam. Para imam ini akan muncul seratusan tahun sekali. Untuk apa? Untuk menyegarkan kembali semangat dakwah kepada petunjuk yang lurus, kebaikan, agama yang suci ini.

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا. (رواه مسلم)

Barang siapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya, barang siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (Hadits Riwayat Muslim)
INILAH MANHAJ YANG LURUS
Rasulullah  diutus untuk semua manusia membawa jalan agama, Islam. Di jalan itulah beliau memulai mengajak kepada famili, kerabat, dan kaumnya. Kemudian berkembang hingga sampai kepada kita. Kita pun tertuntut untuk menyampaikan dakwah beliau. Patokannya tentunya adalah pada pola dakwah beliau. Sebagaimana para nabi diutus untuk ditugaskan menyeru kepada jalan. Jalan yang dibentangkan oleh Allah melalui wahyu. Itulah manhaj yang mesti kita tapaki.

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik. (Al-Qur’an surat Yusuf: 108) Manhaj yang shohih adalah “ud’u ilallahi” mengajak untuk mengabdi kepada Allah bukan dakwah kepada dirinya, partainya atau kelompoknya. Jadi manhaj dakwah itu semata-mata mengajak kepada Allah dan mengajak kepada agama Allah subhanahu wa ta'ala. Agama yang membawa manfaat kepada manusia, yang akan mengeluarkan dari kegelapan kepada cahaya. Yang dimaksud “ud’u ilallahi” adalah ikhlas dalam dakwah berarti tidak meminta kepada selain Allah subhanahu wa ta'ala. Ini kandungan dari tauhid. Yang dimaksud dengan “’ala bashirah” yaitu melaksanakan dakwah dengan dilandasi ilmu, tidak selayaknya berdakwah tanpa ilmu. Berdakwah itu senjatanya adalah ilmu. Kalau tanpa ilmu bagaimana mungkin bias memerintah dan melarang manusia? Dengan apa menjelaskan kepada orang yang masih menentang dan penuh keraguan atau membantah orang-orang yang membangkang? Tentu dengan bashirah, yaitu ilmu. Yang dimaksud “ana wa man taba’ani” yaitu sunah rasulullah. Dakwah kepada Allah dengan ilmu, demikian juga pengikut beliau dalam dakwah harus berilmu. Dalam berdakwah berilmu dan harus ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Kemudian Allah mensucikan rasul dan pengikutnya dari kesyirikan dan berbagai penyimpangan. Allah membersihkan para nabi dan rasul dari sifat kurang dan aib. Allah sucikan juga dakwah mereka dari kesesatan kesyirikan dan kemunafikan. Kemudian Allah menyebutkan agar para nabi dan rasul mengatakan “subhanallahi”, Allah suci dan terbebas dari sifat yang diyakini orang musyrik. Para nabi dan rasul itu pun menegaskan dengan perkataannya “wa ma ana minal musyrikin” dan tidaklah kami termasuk golongan rang musyrik. Seorang mukmin pun harus berlepas diri dari kesyirikan dan para pelakunya.

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا

”Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[2] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 256) Jadi manhaj dakwah yang lurus mesti memenuhi beberapa kriteria. Di antaranya adalah:
  • Dakwah harus benar-benar ikhlas kepada Allah.
  • Harus dibangun di atas ilmu dan pemahaman.
  • Allah disucikan dari sifat-sifat yang tidak layak sebagaimana yang disifatkan oleh orang-orang kafir, orang-orang munafik, dan musyrik. Menyucikan Allah dengan tauhid dan meniadakan kesyirikan inilah dasar dari dakwah.
Seorang dai harus bertauhid dan tidak melakukan kesyirikan dan berpaham menolak sifat Allah. Ini menjadi asas dakwah. Ada pun dai yang campur tidak bisa membedakan antara syirik dan tauhid antara mukmin dan munafik antara mubtadi’ dan sunni menilai orang itu sama. Dai ini tidak termasuk di atas manhaj rasul berarti dia tidak berlepas diri dari orang musyrik. Para imam dakwah berjalan di atas jalan yang haq sejak zaman rasul sampai akhir zaman sesuai perintah Allah subhanahu wa ta'ala. Tidak berubah walaupun menghadapi berbagai peristiwa dalam perjalanan waktu dengan beragam cobaan mereka tetap tegar dan bepegang teguh kepada kitabullah dan sunah rasul. Tentunya yang sesuai dengan pemahaman salafusshalih. Walaupun mendapat tantangan-tantangan dari orang-orang yang tidak senang mereka tetap sabar. Itulah para imam dakwah yang datang setelah rasul, yaitu para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan kurun yang dimuliakan. Termasuk kemudian para imam yang empat—Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Diteruskan oleh para pembaru seperti Syaikhulislam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qoyim dan lain-lain yang istiqomah dalam menegakkan tauhid. Dan Allah membersihkan dari ucapan dan keyakinan jahmiyah, mu’tazilah dan orang yang mengikuti jejak mereka yang menolak dzat dan sifat Allah subhanahu wa ta'ala. Para imam tersebut menjelaskan dan memperingatkan tentang kesyirikan yang terjadi di masyarakat. Misalnya kebiasaan meminta-minta kepada kuburan-kuburan wali dengan keyakinan penghuni kubur tersebut bisa mendatangkan manfaat atau madharat. Dengan alasan tawasul kepada orang yang meninggal semua itu dinisbatkan kepada Islam. Para imam tersebut yang meluruskan apabila ada penyelewengan dalam masalah agama. Contoh di Saudi Arabia di akhir abad 11 atau awal 12 munculah suatu dai, imam pembaru yang bekerjasama dengan penguasa Alu Saud untuk menegakkan tauhid. Mereka bekerja sama dalam melarang kesyirikan sampai dakwahnya menyebar ke seluruh penjuru dunia hingga kini. Termasuk manhaj dakwah apabila ada perselisihan selalu dikembalikan kepada Al-Quran dan As-Sunnah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللَّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Al-Quran surat An-Nisa: 59)

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (Al-Quran surat Asy-Syuura:10) Sudah menjadi sunatullah apa yang terjadi pada makhluk semisal manusia akan mengalami perselisihan. Dalam hal ini manhaj memerintahkan agar kembali kepada kitab Allah dan sunah Rasululllah. Juga kepada ahli ilmu dan bashirah.

وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri[3] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)”[4]  (Al-Quran surat An-Nisaa: 83). Pada waktu rasul masih hidup ketika umatnya mengalami perselisihan maka dikembalikan kepada beliau. Tapi setelah Rasul wafat maka kembali ke sunahnya. Dan apabila ada hal-hal yang tidak ada secara jelas dalam kitab dan sunah, misalnya masalah kekinian perlu penyelesaian maka dikembalikan kepada orang yang mempunyai ilmu dan bashirah yaitu ulama. Sebagaimana ayat “ilarrasuli wa ulil amri minhum” yang dimaksud “ulil amri minhum” adalah umara dan ulama karena merekalah yang punya kapasitas dan bashirah. Kalau tidak, pasti terjadi ketidakjelasan, keruwetan, atau tambah jelek kondisinya. Prinsipnya segala sesuatu diserahkan kepada ahlinya. Sebagaimana kalau ada orang yang sakit, tentu pengobatannya dibawa ke dokter. Karena dokterlah yang punya kapasitas untuk mendiagnosis penyakit dan obatnya. Kalau dalam urusan pembangunan fisik bangunan misalnya, tentu kembali kepada ahlinya yaitu insinyur bangunan. Dan semua urusan dunia dikembalikan kepada ahlinya masing-masing. Apalagi masalah agama terutama akidah syariah, lebih utama harus dikembalikan kepada ahli hil wal aqd/ahli ilmu dan ahli ra’yu serta bashirah sehingga tidak salah dalam memutuskannya. Karena diambil dari sumber yang tepat. Inilah manhaj para imam dakwah di setiap zaman dan tempat apabila ada masalah maka kembali kepada kitabullah, sunah rasul, ahli ilmu, dan bashirah. Apabila ini dilakukan insyaallah hasilnya akan berhasil dengan baik. Mengapa? Karena Allah dan rasul-Nya sudah menjelaskan semuanya apa yang diperlukan oleh umat sampai hari kiamat. Penjelasan-penjelasan ada di dalam kitab dan sunah, tapi yang bisa mengeluarkan istimbat (simpulan hukum) dari keduanya adalah ulama. Dengan ilmunya itu para ulil amri dan ulama bisa beristimbat, karena mereka mempunyai bashirah dan punya perangkatnya. Sebagaimana insinyur bangunan paham tentang seluk beluk bangunan dan permasalahannya. Dokter paham tentang gejala penyakit dan obatnya. Petani tahu tentang hal ihwal tanaman dan permasalahannya. Pedagang pun paham tentang trend pasar dan komoditinya. *** bersambung: KHAWARIJ dan MANHAJ TAKFIRI Disadur secara bebas oleh: Al-Ustadz Abu Nida’ Chomsaha Shofwan, Lc. Hafizhahullah, dari Kitab "Manhaju Aimmatid Da’wah fi Masa-ili at-Takfir wal-Khuruj (halaman: 19-27)", karya: Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah. Editor: @rimoesta Team Redaksi: Ustadz Abu Abdillah Mubarok, M.Pd. dan Ustadz Abu Layla Turahmin, M.H. Hafizhahumallah.   Catatan kaki: [1] Maksudnya: sama dalam pokok-pokok kepercayaan dan pokok-pokok Syari'at. [2]  Thaghut, ialah setan dan apa saja yang disembah selain dari Allah l. Yang dimaksud dengan kufur kepada thaghut ialah berlepas diri dari kesyirikan dan ahlinya. [3] Ialah : tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka. [4] Menurut mufassirin yang lain maksudnya ialah kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan Ulil Amri, tentulah Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.

Author