MENGIKUTI MANHAJ SALAF DALAM SEMUA HAL
Oleh: Al-Ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc. Hafizhahullah
Dalam memahami Islam, dalam bentuk apapun, baik masalah ibadah, syari’ah, mu’amalah; terutama masalah aqidah, harus mengikuti sebagaimana ulama-ulama Salaf memahaminya. Sebagai contoh dalam memahami al Qur`an dan al Hadits, kita tidak boleh lepas dari pemahaman ulama-ulama Salaf. Mengapa harus mengikuti para salaf?
Karena para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, mereka adalah yang paling memahami tentang Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula kita harus mengikuti imam-imam Ahlus Sunnah, karena mereka sangat memahami tentang Islam. Apa yang difatwakan mereka adalah untuk kebaikan bagi kaum Muslimin. Memang, para imam-imam tersebut tidak ma’shum, tetapi, mereka itu adalah mujtahid. Sedangkan ciri Ahlus Sunnah, di antaranya ialah mengikuti para ulama dalam memahami dalil, terutama masalah fitnah yang dimunculkan oleh firqah-firqah. Sebagai contoh, yaitu Khawarij dan Syi’ah.
Khawarij, mereka salah dalam memahami ayat :
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. [al Maidah/5 : 44]. Kelompok Khawarij tidak rela terhadap apa yang dilakukan oleh Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu kepada Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu, dan akhirnya mereka mengkafirkan Ali Radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu, muncullah kelompok yang mengatasnamakan pendukung Ali Radhiyallahu ‘anhu yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi yang kemudian menyatakan masuk Islam, dan pada akhirnya nanti sebagai bibit pertama munculnya Syi’ah. Tokoh ini sangat berlebihan dalam mencintai Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dia menyatakan, bahwa berdasarkan wasiat dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, katanya, Ali Radhiyallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah. Bahkan Syi’ah sampai mengangkat Ali sebagai ilah (sesembahan). Kedua firqah ini muncul pada zaman Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu. Firqah lain yang juga muncul, yaitu Qadariyah dan Murjiah. Firqah Qadariyah sendiri telah ada sejak zaman Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, karya Al Lalika’i (I/35-36) disebutkan, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Orang-orag musyrik Quraisy mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mendebat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah qadar, maka turunlah firman Allah Azza wa Jalla.إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ
[Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka – al Qamar/54 ayat 47-]. Disebutkan dalam al Lalika’i, halaman 36, ketika terjadi perdebatan di antara para sahabat dalam masalah qadar, dan didengar oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memarahi dan melarang mereka untuk mengulang-ulang pembicaraan tersebut. Dalam riwayat Muslim, dari Yahya bin Ya’mar, sesungguhnya ia berkata : “Orang yang pertama kali berbicara tentang al qadr di Basrah adalah, Ma’bad al Juhani”. Madzhab Qadariyah berpandangan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mentaqdirkan sesuatu dan Dia tidak mengetahuinya. Menurut paham sesat Qadariyah, Allah mengetahui setelah suatu kejadian itu terjadi. Dari pemahaman ini, berarti ada dua kesimpulan. Pertama, ingkar terhadap ilmu Allah sebelum sesuatu itu terjadi. Kedua, berarti hamba itu terjadi dengan sendirinya, bukan dari Allah. [Lihat al Lalika’i, 1/36-37]. Sedangkan Murjiah, mereka mempunyai pandangan, apabila seseorang yang beriman, melakukan dosa maka dosanya itu tidak mempengaruhi keimanannya. Sebagaimana orang kafir, sekalipun melakukan ketaatan, akan tetapi ketaatan itu tidak mempengaruhi kekufurannya. Mereka menyangka, iman itu hanya pembenaran di dalam hati saja. [Syarah Aqidah Washithiyah, Harrasy, hlm. 188] Jadi, pada zaman pertengahan Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu, telah muncul bid’ah-bid’ah Khawarij, Murjiah, Qadariyah, Syi’ah. Kemudian pada tahun 100-150 H muncullah nama pemuka ahli bid’ah, di antaranya Muqatil bin Sulaiman, Jahm bin Shafwan, Al Ja’d bin Dirham dan Washil bin Atha’. Mereka ini, masing-masing mempunyai pemikiran dan diikuti oleh jamaahnya. Kemudian pada tahun 150-234 H, seiring dengan munculnya empat tokoh ahli bid’ah tersebut, muncul bid’ah-bid’ah dalam pemikiran, di antaranya : 1. Manzilah bainal manzilatain (satu tempat di antara dua tempat), yaitu tidak mukmin tidak kafir. 2. Masalah dosa besar. 3. Muncul bid’ah yang menyatakan bahwa al Qur`an itu makhluk. 4. Bid’ah yang menafikan (menolak) Asma’ wa Shsifat (nama-nama dan sifat-sifat Allah), atau menta’wilnya. 5. Bid’ah Jabariyah, yang berpandangan bahwa manusia itu dipaksa oleh Allah, dan manusia sama sekali tidak mempunyai kekuatan kehendak. Inilah bid’ah-bid’ah yang muncul pada saat itu, yang pada zaman Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dan bid’ah yang pada waktu kemudian bermunculan, banyak terpengaruh oleh pemikiran atau filsafat Yunaniyah, merupakan produk dari akal manusia yang jahil, menyimpang dari al Qur`an dan as Sunnah dan pemahaman Salaful Ummah. Adapun firqah-firqah yang muncul pada masa sekarang ini, semuanya menginduk kepada empat firqah tersebut, bisa ke Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, atau Murjiah. Kesesatan firqah-firqah tersebut bisa karena mereka melampui batas dalam melaksanakan perintah, ataupun meninggalkan yang semestinya boleh dilakukan. Yakni, mereka terjatuh ke dalam al ifrath (terlalu mengagungkan) dan at tafrith (berlebih-lebihan). Padahal Islam itu wasath (tengah-tengah), di antara al ifrath dan at tafrith. Artinya, tidak boleh berlebih-lebihan, dalam batas yang disyariatkan. Islam itu lurus. Firqah-firqah itu menisbatkan diri kepada Islam dan berbicara tentang Islam. Dan dalam membicarakan Islam, firqah-firqah tersebut menggunakan akal dan filsafat Yunani. Apabila al Qur`an dan Hadits bertentangan dengan akal dan filsafat, mereka akan mendahulukan akalnya daripada al Qur`an dan as Sunnah. Maka jelaslah, pemikiran semacam ini menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan harus diwaspadai, karena pola pemikiran seperti ini beredar di perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam. Sehingga tak mustahil bisa melahirkan kecenderungan berpikir sangat berbahaya. Terlebih lagi bagi masyarakat kita yang mayoritas awam dan sangat kagum dengan orang yang mempunyai gelar kesarjanaan. Dalam makalah ini, kami akan mengemukakan beberapa contoh, bahwa Islam itu berada di tengah-tengah, di antara al ifrath dan at tahrith, tidak kurang dan tidak berlebihan. Naskah yang ditulis oleh Ustadz Abu Nida` Chomsaha Shofwan ini, diangkat dari Tahdzib, Tashil al Aqidah al Islamiyah, Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul Aziz al Jibrin. Semoga bermanfaat. DALAM MASALAH IBADAH Dalam masalah aqidah ini, pemahaman Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah, antara pemikiran Rafidhah dan ad Duruz an Nushairiyah Rafidhah, mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi tidak sebagaimana yang disyariatkanNya, seperti dalam berdzikir, tawasul. Dzikir mereka amalkan ialah dengan dipimpin, dan secara berjamaah. Mereka juga bertawasul kepada orang-orang shalih yang sudah meninggal, membuat acara-acara bid’ah, seperti Maulid Nabi, Isra` Mi`raj, mendirikan bangunan di atas kubur, kemudian shalat dan thawaf, serta menyembelih di atasnya. Perbuatan yang mereka amalkan sangat melampui batas, hingga mereka menyembah dan berdoa kepadanya, dengan maksud untuk mendatangkan manfaat dan menolak madharat (bahaya, musibah). Misalnya dengan maksud minta kaya dan keselamatan, serta menolak bala` (musibah). Ad Duruz an Nushairiyah, mereka tidak melaksanakan ibadah-ibadah yang biasa dilakukan oleh kaum Muslimin. Mereka meninggalkan shalat, tidak berpuasa, tidak zakat, tidak berhaji dan seterusnya. Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan yang disyariatkan di dalam al Qur`an dan as Sunnah. Tidak meninggalkan yang diwajibkan oleh Allah, dan tidak menambah dengan hal-hal baru yang tidak ada contohnya dari Rasul. Berdasarkan hadits :مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat-buat suatu yang baru dalam agama ini yang tidak berasal darinya, maka itu tertolak. [Muttafaq ‘alaih]مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan satu amalan yang tidak ada dalam agama kami ini, maka itu tertolak. [HR Muslim]أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seburuk-buruknya adalah perkara baru yang dibuat-buat. Dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat. [HR Muslim]. DALAM MASALAH ASMA`DAN SIFAT ALLAH Pemahaman Ahlus Sunnah dalam asma` dan sifat Allah berada di tengah-tengah di antara kelompok-kelompok Mu’aththilah (yang menafikan) dan kelompok yang Mumatstsilah (yang menyamakan Allah dengan makhluk). Di antara Mu’aththilah ada yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah, seperti Jahmiyah. Juga ada yang mengingkari sifat-sifat Allah, seperti Mu’tazilah, dan ada yang mengingkari sebagian sifat-sifat Allah, seperti al Asy’ariyah. Mereka ini, dalam menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah bersandar kepada akal manusia, bukan dengan al Qur`an dan as Sunnah. Al Mumatstsilah, yaitu kelompok yang menjadikan sifat Allah sama seperti sifat makhluk. Seperti mengatakan tangan Allah seperti tangan kami, pendengaran Allah seperti pendengaran kami, dan seterusnya. Pemahaman seperti ini berbeda dengan Ahlus Sunnah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla atas diriNya dan apa-apa yang ditetapkan oleh RasulNya, baik berupa nama-nama dan sifatNya, tidak dita’wil (dirubah artinya), tidak ditolak (diingkari), tidak disamakan dengan sifat-sifat makhluk, dan tidak bertanya tentang hakikatnya. Ahlus Sunnah mengimani bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah itu benar-benar ada (haqiqi), sesuai dengan kebesaran Allah, dan tidak sama dengan sifat-sifat makhluk. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syuura/42 : 11]. [Lihat Taqrib at Tadmuriyyah] DALAM MASALAH QADHA DAN QADAR Ahlus Sunnah wal Jamaah berada di antara Jabariyah dan Qadariyah. Firqah Qadariyah, mereka menafikan qadr (ketentuan Allah). Mereka berpendapat, bahwa perbuatan manusia, baik yang berupa ketaatan maupun kemaksiatan, tidak ada campur tangan dari Allah. Perbuatan itu tidak ditakdirkan dan tidak ditentukan Allah. Menurut mereka, perbuatan manusia itu terbebas dari apa saja, tidak ada yang mempengaruhi dan tidak diciptakan oleh Allah. Yang berarti perbuatan manusia itu diciptakan oleh dirinya sendiri. Apabila demikian, berarti Qadariyah terjatuh ke perbuatan syirik dalam masalah rububiyah; karena ada beberapa pencipta, yaitu Allah dan manusia. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjuluki mereka dengan “majusinya” umat ini. Adapun Jabariyah, mereka berlebihan dalam menetapkan qadr. Mereka berpendapat, sesungguhnya perbuatan hamba itu dipaksa oleh Allah. Manusia hanya mengikuti saja, ibarat daun ditiup angina. Jabariyah menganggap manusia tidak mempunyai kehendak apapun, terserah angin yang membawa. Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki pemahaman tengah-tengah di antara Jabariyah dan Qadariyah. Ahlus Sunnah menetapkan, bahwa manusia (hamba) itu benar-benar berbuat, dan perbuatan mereka itu dinisbatkan kepada mereka (yang berbuat) dengan sebenar-benarnya. Tetapi, semua perbuatan hamba itu terjadi dengan takdir dan kehendak, dan merupakan ciptaanNya. Allah-lah yang menciptakan hamba dan perbuatan hamba tersebut. Firman Allah:وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. [ash Shaffat/37 : 96] Seorang hamba mempunyai kehendak, tetapi kehendaknya itu di bawah kehendak Allah. Firman Allah :تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam. [at Takwir/81 : 29] Allah memerintahkan kepada hamba untuk taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya, dan melarang mereka berbuat maksiat. Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa, dan Dia tidak ridha kepada orang yang fasik. Supaya hamba tidak menuntut di akhirat nanti, maka Allah mengutus Rasul dan menurunkan kitab. Barangsiapa yang taat, silakan taat dan akan diberi pahala. Sebaliknya, barangsiapa yang ingin bermaksiat, silakan berbuat maksiat dan akan mendapat balasan. Karena permasalahannya sudah jelas, dan Allah tidak zhalim terhadap hambanya. Firman Allah :مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba(Nya). [Fushilat/41 : 46]. Ada empat tingkatan yang harus diimani dalam masalah qada’ dan qadr ini. 1. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Sesungguhnya Allah mengetahui yang sudah terjadi dan yang akan terjadi, dan Allah mengetahui perbuatan hambaNya sebelum Allah menciptakannya. 2. Segala yang ada telah dicatat oleh Allah di dalam Lauhul Mafudz pada 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakannya. 3. Kehendak dan kekuasaan Allah meliputi apa yang Allah kehendaki, maka bisa terjadi. Begitu pula apa yang tidak dikehendakiNya, maka tidak akan terjadi. Semua yang terjadi tersebut atas kehendak Allah sebelum hal itu terjadi. 4. Allah menciptakan segala sesuatu. Allah-lah yang menciptakan orang yang mengerjakan dan pekerjaannya, dan yang bergerak dan gerakannya, dan semua yang diam dan diamnya. DALAM MASALAH AL WA’D DAN AL WA’ID Al wa’du atau janji, yaitu ayat-ayat yang memberikan janji surga bagi yang beramal shalih. Sedangkan al wa’id atau ancaman, yaitu ayat-ayat yang memberikan ancaman neraka bagi yang berbuat maksiat. Pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Wa’idiyah dan Murjiah. Kelompok Wa’idiyah mempunyai pemahaman, bahwa ayat-ayat al wa’diyah (ancaman) harus diutamakan dibandingkan dengan ayat-ayat al wa’du (janji). Menurut mereka, pelaku dosa besar, seperti zina, minum khamr adalah kafir dan kekal di neraka. Sedangkan Murjiah, mereka mengutamakan ayat-ayat al wa’du daripada ayat-ayat al wa’id. Mereka berkata, iman ialah pembenaran dalam hati. Amal tidak termasuk iman. Dan kemaksiatan seorang mu’min (seperti zina dan minum khamr) tidak membahayakan keimanannya, dan ia tidak berhak masuk Neraka. Menurut mereka, seorang mukmin meskipun bermaksian, keimanannya tetap seperti keimanan yang dimiliki Abu Bakr dan ‘Umar Radhiyallahu a’nhuma. Berbeda denganAhlus Sunnah wal Jamaah yang berpendapat, seorang muslim, apabila berbuat maksiat (seperti melakukandosa besar), maka dia tidak keluar dari Islam. Artinya, dia tetap muslim, tetapi imannya berkurang. Selama tidak melakukan perbuatan yang mengkafirkannya, dia tetap mukmin dengan imannya, dan fasiq dengan dosanya. Dan di akhirat terserah kepada Allah Azza wa Jalla. Jika Dia berkehendak untuk mengampuni, maka dia diampuni. Jika tidak, maka disiksa sampai bersih dosa-dosanya, kemudian masuk surga. Mereka tidak kekal di neraka, kecuali jika mati dalam keadaan kufur dan syirik kepada Allah. Definisi iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah, diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati, diamalkan dengan anggota badan. Dan iman itu bisa bertambah dengan sebab ketaatan, berkurang akibat perbuatan maksiat. DALAM MASALAH PARA SAHABAT NABI SHALALLLAHU A’ALAIHI WA SALLAM Kepada para sahabat Nabi, pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah kepada mereka berada di antara al Khawarij dan Syiah. Syiah, mereka melampaui batas dalam mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi), seperti kepada Ali bin abi Thalib dan anak-anaknya Radhiyallahu ‘anhum. Mereka memiliki anggapan bahwa Ali Radhiyallahu a’nhu itu ma’shum (tidak pernah salah), mengetahui hal-hal ghaib, dan lebih utama daripada Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu. Bahkan ada yang sampai mengatakan Ali Radhiyallahu ‘anhu itu ilah (Tuhan). Sedangkan Syiah Rafidhah, mereka membenci kepada sebagian sahabat. Mereka melontarkan celaan kepada sebagian sahabat. Mereka mengatakan bahwa para sahabat telah kufur dan murtad setelah Rasulullah n wafat, termasuk juga Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu. Tidak ada pengecualian, selain Ahlul Bait dan beberapa sahabat saja. Mereka berkata, sesungguhnya mereka itu adalah kekasih Ahlul Bait. Mereka juga mengecam isteri-isteri Rasul dan afdhalush shahabah (sahabat terbaik), yaitu Abu Bakr secara terang-terangan. Terkadang mereka tampak meridhainya, dan secara dhahir menunjukkan kecintaan kepada sahabat dan dekat kepada Ahlus Sunnah. Namun, mereka sebenarnya hanyalah melakukan tipuan saja, sebab aqidah mereka adalah aqidah taqiyyah (pura-pura), dhahirnya menampakkan Ahlus Sunnah, akan tetapi hakikat di dalam kalbunya Syiah. Sebaliknya, al Khawarij berseberangan dengan Syiah. Khawarij sangat membenci Ali Radhiyallahu ‘anhu, dan tidak memberikan hak yang sebenarnya kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu. Mereka juga mengkafirkan Mu’awiyah dan mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka mencintai sahabat Nabi dan meridhainya. Ahlus Sunnah berpendapat, para sahabat adalah orang yang paling mulia setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah telah memilih mereka sebagai sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terhadap perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat, maka Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak memberikan komentar terhadap pertikaian mereka. Ahlus Sunnah wal Jamaah berpendapat, para sahabat adalah mujtahidun, yang mendapat pahala. Jika benar mendapat dua pahala, tetapi jika salah mendapat satu pahala. Ahlus Sunnah juga berpendapat, sahabat yang termulia adalah Abu Bakr kemudian Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian Ali Radhiyallahu ‘anhum, dan juga mencintai Ahlul Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Bait mendapat dua hak, yaitu hak Islam dan hak keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari penjelasan ringkas ini, menunjukkan bila Ahlus Sunnah wal Jamaah mencintai dan meridhai para sahabat dan Ahlul Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. Artikel ini pernah dipublikasikan di Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M repost dari https://abunida.atturots.or.id/?p=15Author