PULANGLAH, DAN BUAT KEDUA ORANG TUAMU TERTAWA .....
Sekali lagi, banyak hadits yang membahas tentang birrul  walidain, lebih khusus untuk ibu. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Al-Miqdam bin Ma’di Kariba:

عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِ ي كَرِبَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثَلَاثًا إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِآبَائِكُمْ إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِالْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ. (رواه ابن ماجه).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah berwasiat kepada kalian supaya berbakti kepada ibu kalian—beliau ucapkan hingga tiga kali, berbakti kepada bapak kalian, berbakti kepada kerabat dari yang paling dekat hingga seterusnya." Seperti pada hadits lain. Dalam hadits ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wasiat agar anak berbuat baik kepada ibu. Wasiat itu diulang 3 kali pengucapannya, sebagai penguat. Menunjukkan agung dan mulianya ibu kita. Ibulah yang mengandung selama kurang lebih 9 bulan. Kemudian melahirkan dengan bertaruh nyawa. Setelah itu masih menyusui hingga 2 tahun. Kemudian merawat dan mendidik. Berat dan besar perngorbanan sang ibu. Karena itu baru yang keempat menyebutkan wasiat untuk berbakti kepada ayah. Sang bapaklah yang mentarbiyah, menafkahi, dan menjaga anak. Namun, dibandingkan dengan ibu masih jauh. Abdullah bin Amr menceritakan bahwa pernah ada seseorang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak membai'at beliau untuk hijrah. Orang itu sampai meninggalkan kedua orangtuanya menangis. Beliau bersabda,

"اِرْجِعْ إِلَيْهِمَا، وَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا". (رواه أبو داود).

Pulanglah, dan buat kedua orang tuamu tertawa sebagaimana kamu telah membuatnya menangis.” Salah satu yang dituntut dari seorang anak terhadap orang tua adalah setiap bertemu harus menyenangkan. Jangan sampai membuat susah orang tua atau mencemarkan nama baik orang tua. Tak sepatutnya membuat orang tua menangis atau terasa pedih karena kita. Sekali lagi, bagaimana anak berusaha membuat hati kedua orang tua selalu merasa senang dan gembira. Konon dulu ada seorang laki-laki datang ke Madinah untuk berhijrah. Dia minta baiat kepada Rasul untuk tinggal di Madinah. Hidup menetap bersama sahabat-sahabat Rasul yang lain. Suatu niat yang baik, di mana hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah:

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ. (رواه البخاري)

Barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Dalam kesempatan lain akhirnya diketahui bahwa kepergiannya membuat kedua orang tuanya menangis. Sedih dan susah karena berpisah dengan anaknya tersebut. Rasulullah  yang kemudian mengetahuinya bersabda kepadanya,

اِرْجِعْ إِلَيْهِمَا، وَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا

‘Kembalilah pulang menemani orang tuamu, buatlah tertawa sebagaimana sebelumnya engkau telah membuat keduanya menangis.’ Dengan dasar hadits tersebut, seorang anak harus berusaha membuat kedua orang tuanya senang. Seandainya perlu bepergian untuk mencari ilmu, misalnya, atau berdagang, bahkan jihad sekalipun harus bermusyawarah dan minta izin kepada keduanya. Jangan sampai membuat orang tua menangis dan bersedih karena merasakan berat berpisah dengan anak.

عَنْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ. (رواه البخاري).

'Abdullah bin 'Amru radhiyallahu 'anhuma berkata, "Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin untuk ikut berjihad. Beliau bertanya, ‘Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Iya!’ Beliau bersabda, ‘Kepada keduanyalah kamu hendaknya berjihad (dengan berbakti)." Berkata Hafizh Ibnu Hajar, “Jika kalian masih mempunyai kedua orang tua, maka datanglah kepadanya dan bersungguh-sungguh untuk berbuat baik dan berbakti kepada keduanya. Sesungguhnya kedudukannya sama dengan jihad melawan musuh.” Masih melalui jalur periwayatan yang sama seperti hadits sebelumnya, dari Abu Sa'id al-Khudri. Ia berkata,

هَاجَرَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْيَمَنِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَجَرْتَ الشِّرْكَ وَلَكِنَّهُ الْجِهَادُ هَلْ بِالْيَمَنِ أَبَوَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَذِنَا لَكَ قَالَ لَا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ارْجِعْ إِلَى أَبَوَيْكَ فَاسْتَأْذِنْهُمَا فَإِنْ فَعَلَا وَإِلَّا فَبِرَّهُمَا. (رواه أحمد).

"Seorang laki-laki dari Yaman berhijrah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (meminta untuk diikutkan dalam berjihad). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Engkau telah berhijrah menjauhi syirik. Kalau soal berjihad, apakah kedua orang tuamu di Yaman masih hidup?’ Dia menjawab, ‘Ya, masih hidup!’ Beliau bertanya lagi, "Apakah keduanya mengizinkanmu?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Pulanglah dan minta izin kepada kedua orang tuamu. Apabila keduanya mengizinkan silakan berangkatlah, namun jika tidak hendaklah engkau berbakti kepada keduanya." Hadits ini menunjukkan bahwa untuk berjihad diwajibkan minta izin kepada kedua orang tua. Mengapa? Karena berbakti kepada kedua orang tua sifatnya fardhu ‘ain. Bahkan berbakti kepada keduanya oleh Rasulullah disebut juga jihad. Bahkan jihad yang besar. Mu’awiyah bin Jahimah As-Salami bercerita,

أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ فَقَالَ هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا. (رواه النسائي).

“Bahwa Jahimah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah saya ingin ikut berperang. Ini saya datang untuk meminta petunjukmu!’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau masih memiliki ibu?’ Ia menjawab,’ Ya!’ Beliau bersabda, ‘Jagalah ibumu itu, karena surgamu itu ada di bawah kakinya." Maksud dari kalimat dalam ujung hadits tersebut bahwa barangsiapa yang berbakti kepada ibunya dengan menunaikan hak-haknya maka akan masuk surga.

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ أَنَّ رَجُلًا أَتَاهُ فَقَالَ إِنَّ لِيَ امْرَأَةً وَإِنَّ أُمِّي تَأْمُرُنِي بِطَلَاقِهَا قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوْ احْفَظْهُ. (رواه الترمذي).

Abu Darda` menceritakan bahwa seorang laki-laki mendatanginya dan berkata, "Aku memiliki seorang isteri, sedang ibuku menyuruh aku untuk menceraikannya.’ Abu Darda` menjawab, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kamu mampu letakkanlah pintu tersebut atau jagalah." Sebaik-baiknya tawasul untuk masuk surga dengan derajat yang tinggi, yaitu taat kepada bapak dan menunaikan kewajiban-kewajiban kita dan menjalankan haknya. Apabila kepada bapak saja begini kepada ibu lebih besar tentunya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَجْزِي وَلَدٌ وَالِدَهُ إِلَّا أَنْ يَجِدَهُ مَمْلُوكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ. (رواه أبو داود).

Abu Hurairah berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seorang anak tidak akan dapat membalas jasa orang tuanya; kecuali ia mendapati orang tuanya berstatus budak, dibelinya dan membebaskannya." Jadi memang seorang anak tidak mungkin bisa imbang membalas kebaikan kedua orang tuanya. Entah dengan memberi rumah atau menanggung kebutuhan harian, misalnya.  Baru bisa dikatakan impas jika seseorang mendapati orang tuanya menjadi budak, kemudian dibelinya dengan uangnya sendiri untuk kemudian dimerdekakan.

وعن سَعِيد بْن أَبِي بُرْدَةَ قَالَ: (سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ, أَنَّهُ شَهِدَ ابْنَ عُمَرَ وَرَجُلٌ يَمَانِيٌّ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ,حَمَلَ أُمُّهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ, يَقُولُ : إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُذَلَّلْ أَنْ أُذْعَرَتْ رُكًابُهَا لَمْ أُذْعَرْ ثُمَّ قَالَ: يَا ابْنَ عُمَرَ أَتَرَانِى جَزَيْتُهَا؟ قَالَ: لاَ وَلاَ بِزَفْرَةٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ طَاَف ابْنُ عُمَرَ فَأَتَى الْمَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ قَالَ: يَا ابْنَ أَبِى مُوْسَى! إِنَّ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ تُكَفِّرَانِ مَا أَمَامَهُمَا. (رواه البخاري).

Sa’id Abu Burdah menceritakan bahwa dirinya pernah melihat Ibnu Umar Bersama seorang laki-laki dari Yaman yang sedang thawaf di Ka'bah. Orang Yaman itu sambil menggendong ibunya di punggungnya berkata, "Sesungguhnya aku di hadapannya ibarat unta yang jinak. Kalau unta masih mungkin mengejutkan penunggangnya, maka saya tidak pernah mengejutkannya. Wahai Ibnu Umar! Apakah menurutmu saya telah membalas kebaikan ibuku?’ Ibnu Umar menjawab, ‘Belumlah, bahkan tidak sebanding dengan tarikan nafasnya di saat melahirkanmu.’ Ibnu Umar pun menyelesaikan thawafnya kemudian mendatangi maqam Ibrahim untuk shalat dua rakaat. Sejurus kemudian berkata, ‘Wahai Ibnu Abu Musa! Sesungguhnya setiap dua rakaat shalat akan bisa menghapus dosa-dosa yang berada di sebelumnya." Laki-laki dari Yaman tersebut menggendong ibunya di punggungnya, diajak thawaf di Baitul Haram karena ibunya sudah tua tidak bisa jalan dan lelaki itu berkata : Saya ini seperti onta bagi ibu saya yang selalu nurut, tidak menyusahkan, enak dinaiki, tidak membuat takut, dan lembut tidak kasar dalam menjalankan Thawaf. Tujuannya adalah membuat ibunya senang, memudahkan ibunya, dll. Beda nilai antara pengabdian orang tua terhadap anak dan pengabdian anak terhadap orang tua. Pengabdian anak terhadap ibu terutama tidak akan bisa menyamai pengabdian ibu terhadap anak. Bagaimana tidak, ibu setelah melahirkan kemudian merawatnya dengan lembut, halus, hati-hati, kalau sakit menjaganya tidak tidur anaknya ikut sakit, capek tidak dirasa. Anak biasanya lupa kalau sudah besar terhadap jasa-jasa ibu tersebut. Kesimpulannya apa yang dilakukan anak apapun kebaikannya tidak akan bisa membalasnya. Karena tidak sebanding bukan justru kemudian malah jadi tidak berbakti dan tidak berbuat ihsan pada orang tua. Harus sungguh-sungguh berkomitmen siap berkorban terhadap orang tua dengan penuh kemampuan, lembut, sayang, dan selalu mendoakannya.

وعن هشام بن عروة, عن أبيه في قوله: {وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا}. قال : لاَ تَمْتَنِعْ مِنْ شَيْءٍ أَحَبَّاهُ . (رواه البخاري).

Hisyam bin Urwah menceritakan perkataan bapaknya, Urwah, tentang firman Allah: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih-sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’ (Al-Isra: 24).” "Maka Janganlah menghalangi sesuatu yang dicintai oleh keduanya." Dalam merealisasikan ayat tersebut di atas seorang anak tidak boleh melarang hal yang disenangi kedua orang tua. Ketika berbicara dengan orang tua dengan cara yang lembut dan sopan. Sikap hormat dalam bermuamalah, mendengarkan, dan taat dalam masalah yang mubah. Berbagai hal yang bisa membuat orang tua merasa senang.

عَنْ أَبِيْ مُرَّةَ مَوْلَى عَقِيلٍ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَسْتَخْلِفُهُ مَرْوَانُ وَكَانَ يَكُونُ بِذِي الْحُلَيْفَةِ فَكَانَتْ أُمُّهُ فِي بَيْتٍ وَهُوَ فِي آخَرَ. قَالَ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ وَقَفَ عَلَى بَابِهَا فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكِ يَا أُمَّتَاهُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ فَتَقُوْلُ وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ يَا بُنَيَّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ فَيَقُوْلُ رَحِمَكِ اللهُ كَمَا رَبَّيْتِنِيْ صَغِيْرًا فَتَقُوْلُ رَحِمَكَ اللهُ كَمَا بَرَرْتَنِيْ كَبِيْرًا ثُمَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ صَنَعَ مِثْلَهُ. (رواه البخاري).  

Abi Murrah bekas budaknya Aqil, “Pada saat itu Abu Hurairah menjadi gubernur diangkat oleh oleh Marwan (seorang amir). Marwan berada di Dzulhulaifah dan ibunya di tempat yang terpisah dengannya. Abu Hurairah berkata, ‘Ketika akan keluar Marwan berhenti dulu di depan pintu rumah ibunya dan berkata, ‘Semoga keselamatan, rahmat, dan barakah tetap atas dirimu wahai ibu!’ Ibunya menjawab, ‘Semoga rahmat dan barakah tetap atasmu wahai anakku!’ Marwan berkata, ‘Semoga Allah menyayangimu seperti engkau menyayangiku saat aku kecil, Bu!’ Ibunya menjawab, ‘Semoga Allah juga menyayangimu seperti kamu bersikap baik pada saat dewasamu.’ Hal itu dilakukan Marwan ketika akan masuk juga.” Panggilan yang indah kepada ibu yang disukai sang ibu merupakan bentuk birrulwalidain. Begitu juga hal yang kadang dilupakan untuk keluarga: mengucapkan salam. Salam yang sempurna disunahkan bagi sesama muslim, tapi bagi anak terhadap ibu sifatnya sunnah muakkaddah; ditekankan.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia [850]. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (Al-Isra: 23-24). [1181] Maksudnya: Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun. Perlu membiasakan mendoakan orang tua dengan lafal sebagaimana yang ada dalam al-Quran dan mengajari anak-anak melakukan kepada orangtua. Hal itu biasa dilakukan salah satu Amirul Mukmin, Marwan, apabila dia keluar atau masuk dia memberi salam kepada ibunya dengan salam yang sempurna. Tak lupa berdoa dengan doa di atas. Hal ini termasuk sebaik-baiknya bakti pada ibunya.

عَنْ أَبِي حَازِمٍ، أَنَّ أَبَا مُرَّةَ، مَوْلَى أُمِّ هَانِئِ ابْنَةِ أَبِي طَالِبٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ رَكِبَ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ إِلَى أَرْضِهِ بِالْعَقِيقِ فَإِذَا دَخَلَ أَرْضَهُ صَاحَ بِأَعْلَى صَوْتِهِ‏:‏ عَلَيْكِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ يَا أُمَّتَاهُ، تَقُولُ‏:‏ وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، يَقُولُ‏:‏ رَحِمَكِ اللَّهُ رَبَّيْتِنِي صَغِيرًا، فَتَقُولُ‏:‏ يَا بُنَيَّ، وَأَنْتَ فَجَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا وَرَضِيَ عَنْكَ كَمَا بَرَرْتَنِي كَبِيرًا. (رواه البخاري).  

Abu Murrah, Maula (budak yang dimerdekakan) Ummu Hani' binti Abu Thalib, mengabarkan, "Bahwasanya dia naik unta bersama Abu Hurairah menuju tanahnya yang berada di Al-Aqiq. Ketika memasuki tanahnya dia berseru dengan suara lantang, 'Alaikis-aalamu wa rahmatullahi wa barakatuhu, wahai Ibu! Ibunya menjawab, 'Wa 'aiaikas-aalamu wa rahmatullahi wa barakatuhu.' Dia berkata,  'Mudah-mudahan Allah menyayangi sebagaimana engkau mendidik saya sewaktu kecil.' Ibunya menimpali, 'Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan meridhaimu, sebagaimana kamu berbuat baik kepada saya di masa tua saya.'" Al-‘Aqiq yaitu tempat mata air (waduk) yang terletak di barat kota Madinah. Termasuk tanah milik Abu Hurairah dan ibunya tinggal di tempat tersebut. Tiap memasuki tempat itu Abu Hurairah mengucapkan salam dengan memanggil ibunya; ummah. Satu panggilan kesayangan buat ibunya.

عَنْ مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ‏ قَالَ:‏ كُنَّا عِنْدَ أَبِي هُرَيْرَةَ لَيْلَةً، فَقَالَ‏:‏ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَبِي هُرَيْرَةَ، وَلِأُمِّي، وَلِمَنِ اسْتَغْفَرَ لَهُمَا قَالَ لِي مُحَمَّدٌ‏:‏ فَنَحْنُ نَسْتَغْفِرُ لَهُمَا حَتَّى نَدْخُلَ فِي دَعْوَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ‏.‏. (رواه البخاري).  

Muhammad Ibnu Sirrin berkata, "Kami pernah berada di sisi Abu Hurairah pada suatu malam. Dia berdoa, 'Ya Allah, ampunilah Abu Hurairah, ibuku, dan orang yang memohonkan ampunan untuk keduanya.’ Muhammad berkata, ‘Lalu kami pun memohonkan ampunan untuk keduanya sehingga kami masuk bagian dari doa Abu Hurairah." Doa ini dari Abu Hurairah kepada ibunya dalam rangka berbakti dan ihsan kepada ibunya. Saking semangat dan pentingnya ada doa tambahan yang khusus untuk keduanya, Abu Hurairah dan ibunya. Barangkali masuk dalam cakupan doa di bawah ini:

وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Al-Hasyr: 10). Sungguh Abu Hurairah telah membuat contoh dalam berbakti kepada ibunya. Banyak cerita yang menunjukkan agungnya bakti kepada ibunya. Karena ibunya masuk Islam dengan sebab ajakan Abu Hurairah. Saat itu Abu Hurairah sangat ingin sekali ibunya masuk Islam. Dia merasa sakit selama ibunya belum Islam. Dia berusaha terus mendakwahi ibunya hingga ibunya diberi hidayah Allah memeluk Islam.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كُنْتُ أَدْعُو أُمِّي إِلَى الْإِسْلَامِ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فَدَعَوْتُهَا يَوْمًا فَأَسْمَعَتْنِي فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَكْرَهُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أَدْعُو أُمِّي إِلَى الْإِسْلَامِ فَتَأْبَى عَلَيَّ فَدَعَوْتُهَا الْيَوْمَ فَأَسْمَعَتْنِي فِيكَ مَا أَكْرَهُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ اهْدِ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ فَخَرَجْتُ مُسْتَبْشِرًا بِدَعْوَةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا جِئْتُ فَصِرْتُ إِلَى الْبَابِ فَإِذَا هُوَ مُجَافٌ فَسَمِعَتْ أُمِّي خَشْفَ قَدَمَيَّ فَقَالَتْ مَكَانَكَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَسَمِعْتُ خَضْخَضَةَ الْمَاءِ قَالَ فَاغْتَسَلَتْ وَلَبِسَتْ دِرْعَهَا وَعَجِلَتْ عَنْ خِمَارِهَا فَفَتَحَتْ الْبَابَ ثُمَّ قَالَتْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَرَجَعْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ وَأَنَا أَبْكِي مِنْ الْفَرَحِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَبْشِرْ قَدْ اسْتَجَابَ اللَّهُ دَعْوَتَكَ وَهَدَى أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ خَيْرًا قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُحَبِّبَنِي أَنَا وَأُمِّي إِلَى عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ وَيُحَبِّبَهُمْ إِلَيْنَا قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ حَبِّبْ عُبَيْدَكَ هَذَا يَعْنِي أَبَا هُرَيْرَةَ وَأُمَّهُ إِلَى عِبَادِكَ الْمُؤْمِنِينَ وَحَبِّبْ إِلَيْهِمْ الْمُؤْمِنِينَ فَمَا خُلِقَ مُؤْمِنٌ يَسْمَعُ بِي وَلَا يَرَانِي إِلَّا أَحَبَّنِي. (رواه مسلم).

Abu Hurairah berkata, “Dulu, saya sering mengajak ibu saya untuk masuk Islam, ketika ia masih musyrik. Pada suatu hari saya mengajaknya untuk masuk ke dalam Islam, tetapi ia mengutarakan kata-kata yang tidak saya sukai tentang diri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian saya datang menemui Rasulullah sambil menangis dan berkata, Ya Rasulullah, saya sering mengajak ibu saya untuk masuk Islam, tetapi ia selalu menolak dan malah mengucapkan kepada saya kata-kata yang tidak saya sukai tentang engkau. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah agar ibu saya mendapatkan petunjuk dan hidayah-Nya.' Setelah mendengar penjelasan saya. Rasulullah langsung berdo'a: 'Ya Allah, berikanlah hidayah kepada ibu Abu Hurairah! ' Lalu saya kembali ke rumah dengan perasaan gembira karena doa Rasulullah tersebut. Setibanya di rumah, saya mendapati pintu rumah masih tertutup. lbu saya mendengar derap langkah saya lalu berkata, Hai Abu Hurairah, berhentilah sejenak! ' Kemudian saya mendengar suara tumpahan air. Ternyata ibu saya sedang mandi. Ia segera berpakaian dan mengenakan kerudung. Ia membuka pintu seraya berkata, Hai Abu Hurairah, sekarang aku bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.' Abu Hurairah berkata, "Lalu saya kembali lagi kepada RasuluIlah shallallahu 'alaihi wasallam. Saya datangi beliau sambil menangis karena perasaan gembira. Saya berkata, 'Ya Rasulullah, saya sungguh senang dan gembira, AIIah telah mengabulkan doa engkau. Dan Allah telah memberikan hidayah-Nya kepada ibu saya." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memuji Allah dan mengucapkan syukur kepadaNya. Saya berkata, 'Ya Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar saya dan ibu saya mencintai orang-orang mukmin dan mereka juga mencintai kami! ' Kemudian Rasulullah berdoa; 'Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu yang kecil ini (yaitu Abu Hurairah dan ibunya) cinta kepada orang-orang mukmin serta jadikanlah mereka cinta kepada keduanya! ' Maka tidak ada seorang mukmin yang mendengar nama saya dan tidak bertemu dengan saya melainkan ia cinta kepada saya." Kebaikan yang agung adalah birrul walidain selama masih hidup atau salah satunya masih dalam keadaan kafir dan syirik kepada Allah. Ajakan Abu Hurairah selalu menawarkan Islam dan selalu berdoa agar Allah memberi hidayah ibunya masuk agama Islam. Memang Abu Hurairah di antaranya menjadi sebab ibunya masuk Islam, dengan keinginan yang kuat ada dua jalan atau cara untuk mendakwahkan ibunya : 1- Selalu menawarkan untuk masuk Islam. Kami selalu mengajak tapi dia selalu menolak. Dengan penjelasannya kepada sang ibu, dengan menunjukkan keindahan Islam, perilaku dirinya selaku muslim, kelurusan akidahnya, dan hukum-hukumnya. 2- Selalu berdoa kepada Allah agar masuk Islam. Karena hidayah ada di tangan Allah, maka Abu Hurairah selalu berdoa untuk ibunya. Akhirnya Allah memberi hidayah kepada ibunya untuk bersyahadat. Abu Hurairah langsung meluncur ke rumah Nabi dengan cepat dan mengabarkan kabar gembira akan keislaman ibunya. Abu Hurairah dua kali kesempatan meminta didoakan Nabi. 1- Pertama minta didoakan agar ibuku masuk Islam. 2- Tambahan doa dari Nabi setelah ibunya masuk Islam. Doa Rasulullah pasca ibunya masuk Islam adalah: Ya Allah hamba-Mu, Abu Hurairah, dan ibunya jadikan agar keduanya dicintai manusia!” Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir, “Ini adalah petunjuk Nubuwah membuat Abu Hurairah selalu dicintai orang, Allah membuat dia dikenal lewat riwayat-riwayat atau kabar-kabar dalam terkait dengan berbagai kepala suku di semua daerah. Ini semuanya sudah menjadi takdir bahwa manusia mencintainya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُولُ‏:‏ مَا سَمِعَ بِي أَحَدٌ، يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، إِلاَّ أَحَبَّنِي، إِنَّ أُمِّي كُنْتُ أُرِيدُهَا عَلَى الإِسْلاَمِ فَتَأْبَى، فَقُلْتُ لَهَا، فَأَبَتْ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ‏:‏ ادْعُ اللَّهَ لَهَا، فَدَعَا، فَأَتَيْتُهَا، وَقَدْ أَجَافَتْ عَلَيْهَا الْبَابَ، فَقَالَتْ‏:‏ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، إِنِّي أَسْلَمْتُ، فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ‏:‏ ادْعُ اللَّهَ لِي وَلِأُمِّي، فَقَالَ‏:‏ اللَّهُمَّ، عَبْدُكَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَأُمُّهُ، أَحِبَّهُمَا إِلَى النَّاسِ‏.(رواه البخاري).  

Abu Hurairah berkata, "Tidak seorangpun Yahudi atau Nasrani mendengar (perkataanku) kecuali dia mencintaiku. Sesungguhnya aku menginginkan ibuku agar masuk Islam, tetapi dia menolak. Aku berkata kepadanya, tetapi dia menolak. Kemudian aku mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Doakanlah ibuku kepada Allah." Lalu Nabi mendoakannya. Kemudian aku mendatanginya (ibuku), pintu telah menutup dia, lalu dia berkata, "Wahai Abu Hurairah! Sesungguhnya aku telah masuk Islam.' Aku Memberitahukan (hal ini) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu aku berkata, 'Berdoalah kepada Allah untukku dan untuk ibuku," Kemudian Nabi berdoa, 'Ya Allah! ini hamba-Mu Abu Hurairah dan ibunya, jadikanlah keduanya dicintai orang lain'."

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. (رواه مسلم).

Abu Hurairah bercerita bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak shalih yang selalu mendoakannya."

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ‏:‏ تُرْفَعُ لِلْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ دَرَجَتُهُ‏.‏ فَيَقُولُ‏:‏ أَيْ رَبِّ، أَيُّ شَيْءٍ هَذِهِ‏؟‏ فَيُقَالُ‏:‏ وَلَدُكَ اسْتَغْفَرَ لَكَ‏.‏.(رواه البخاري).  

Abu Hurairah berkata, "Diangkat derajat mayat seseorang setelah meninggalnya, lalu berkata, 'Wahai Tuhanku, apa yang terjadi ini?' Lalu dikatakan, 'Anakmu memohonkan ampunan untukmu."

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَإِنِّي أَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَلِي أَجْرٌ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ. (رواه مسلم).

'Aisyah mengisahkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia. Sekiranya dia dapat bicara ingin bersedekah. Apakah saya juga akan mendapatkan pahala jika saya bersedekah atas namanya?’ Beliau menjawab, ‘Ya!’"

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ. (رواه النسائي).

Ibnu Abbas berkata, Ada seorang laki-laki yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, ayahku meninggal dan ia belum melakukan haji, apakah saya boleh melakukan haji untuknya?’ Beliau bersabda, ‘Bagaimana pendapatmu apabila ayahmu memiliki utang, apakah engkau akan membayarnya?’ Orang tersebut berkata, ‘Iya!’ Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Utang kepada Allah lebih berhak ditunaikan.’"

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ. (رواه البخاري).

Ibnu 'Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan bahwa dulu ada seorang wanita dari suku Juhainah datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; berkata, "Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia. Apakah boleh aku menghajikannya?’ Beliau menjawab, ‘Tunaikanlah haji untuknya. Bagaimana pendapatmnu jika ibumu mempunyai utang, apakah kamu wajib membayarkannya? Bayarlah utang kepada Allah karena itu lebih patut untuk dibayar." Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa doa untuk kedua orang tua, sedekah untuk keduanya, haji umroh untuk orang tua bermanfaat setelah mati. Memang amal di dunia sudah putus, ini termasuk birrul walidaini setelah wafatnya. Terdapat sebuah riwayat yang berkaitan dengan ayat ini yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam kitab al-‘Asyroh :

عَنْ أبِي عُثْمانَ النَّهْدِيِّ، أنَّ سَعْدَ بْنَ أبِي وقاصٍّ قالَ: نَزَلَتْ فِيَّ هَذِهِ الآيَةُ: ﴿وإنْ جاهَداكَ عَلى أنْ تُشْرِكَ بِي ما لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُما وصاحِبْهُما في الدُّنْيا مَعْرُوفًا﴾ كُنْتُ رَجُلًا بَرًّا بِأُمِّي، فَلَمّا أسْلَمْتُ قالَتْ: يا سَعْدُ، وما هَذا الَّذِي أراكَ قَدْ أحْدَثْتَ؟ لَتَدَعَنَّ دِينَكَ هَذا أوْ لا آكُلُ ولا أشْرَبُ حَتّى أمُوتَ فَتُعَيَّرُ بِي، فَيُقالُ: يا قاتِلَ أُمِّهِ. قُلْتُ: لا تَفْعَلِي يا أُمَّهْ، فَإنِّي لا أدَعُ دِينِي هَذا لِشَيْءٍ. فَمَكَثَتْ يَوْمًا ولَيْلَةً لا تَأْكُلُ، فَأصْبَحَتْ قَدْ جُهِدَتْ، فَمَكَثَتْ يَوْمًا آخَرَ ولَيْلَةً لا تَأْكُلُ، فَأصْبَحَتْ وقَدِ اشْتَدَّ جَهْدُها، فَلَمّا رَأيْتُ ذَلِكَ قُلْتُ: يا أُمَّهْ، تَعْلَمِينَ واللَّهِ، لَوْ كانَتْ لَكِ مِائَةُ نَفْسٍ، فَخَرَجَتْ نَفْسًا نَفْسًا ما تَرَكْتُ دِينِي هَذا لِشَيْءٍ، فَإنْ شِئْتِ فَكُلِي، وإنْ شِئْتِ فَلا تَأْكُلِي. فَلَمّا رَأتْ ذَلِكَ أكَلَتْ، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ.. (رواه الطبراني).

Abi Utsman al-Hindi mengatakan bahwa Sa’d bin Malik berkata, “Diturunkan ayat ( الايةوَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا) itu adalah tentangku. Aku adalah orang yang berbuat baik kepada ibuku maka ketika aku masuk Islam ibuku berkata, ‘Wahai Sa’ad, apa ini yang aku lihat kau telah melakukan hal yang baru. Sungguh kau tinggalkan agamamu ini atau aku tidak akan makan dan minum hingga mati!’ Perbuatanku dijelek-jelekkan sampai ada yang menyebutku ‘pembunuh ibunya’. Lalu aku berkata, ‘Janganlah kau lakukan itu wahai ibu, karena sesungguhnya aku tidak akan meninggalkan agamaku ini untuk sesuatu apapun. Kemudian ibu diam sehari semalam tanpa makan. Si ibu menjadi bersungguh-sungguh, kemudian dia diam lagi pada hari dan malam berikutnya juga tidak makan. Tekadnya kian mantap. Ketika aku melihat hal tersebut aku berkata, ‘Wahai ibuku, ketahuilah demi Allah, seandainya kau memiliki seratus nyawa, lalu nyawa itu satu persatu keluar, aku tidak akan meninggalkan agamaku. Apabila engkau ingin makanlah, tetapi apabila kau tidak mau silakan aja sekehendakmua!’ Akhirnya beliau mau makan.” Dalam kisah hadits tersebut Sa’ad memiliki ibu yang karena keislaman anaknya bersumpah untuk tidak makan dan minum sampai dirinya meninggalkan agama Muhammad. Tiga hari tiga malam berdiam dan tidak makan. Dirayu bagaimana pun tetap tidak mau makan, dia ingin melakukan sampai anaknya mau mengikuti kemauan sang ibu. Berkatalah Ibu Sa’ad, Ya Sa’ad bukankah Allah memerintahkan kamu untuk berbuat baik kepada Ibumu, sedangkan saya ini ibumu dan minta kamu menurutiku.’ Ibu Saad betul-betul seorang musyrik, tetapi Nabi memberi wasiat Sa’ad untuk tetap berbakti kepadanya. Sa’ad pun berkata kepada ibunya, ‘Wahai ibuku demi Allah seandainya ibu mempunyai 100 jiwa, dan keluar jiwa itu satu per satu saya tidak akan meninggalkan agama Muhammad sedikitpun. Mangga saja terserah ibu makan atau tidak.’

وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (Al-Ankabut: 8) Sa’ad menolak kemauan ibunya yang tidak baik dengan tetap penuh rasa hormat, kelembutan, tetapi tetap tegas terhadap kesalahan.

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“….dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15) Tapi tetap berbuat baik dalam melayani baik kebutuhan harian atau yang lain. Kecuali mengajak kepada kesyirikan. Kepada orang tua yang musyrik saja kita dituntut tetap berbuat baik. Bagaimana kalau orang tua tersebut mukmin, takwa, shaleh, wara’, ahli ibadah, shalat, zakat, puasa, dan lain-lain yang sunah. Tentu harus lebih bakti dan kebaikannya.

عَنْ أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْ أَتَتْنِي أُمِّي رَاغِبَةً فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آصِلُهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا { لَا يَنْهَاكُمْ اللَّهُ عَنْ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ }. (رواه البخاري).

Asma` binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma berkata, "Ibuku datang menemuiku suatu Ketika pada di masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dia datang mengharapkan baktiku. Lalu saya bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ‘Apakah saya boleh berhubungan dengannya?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Ibnu 'Uyainah (perawi) berkata, ‘Kemudian Allah Ta'ala menurunkan ayat: ‘….Allah tidak melarang kalian dari orang-orang yang tidak memerangi agama kalian..” (Al-Mumtahanah: 8) Ibu Aisyah pada waktu itu masih musyrik. Dia datang kepada Aisyah mengharapkan kebaikan darinya tapi tidak mau Islam. Aisyah tetap berusaha melunakkan hatinya agar mau Islam. Berkata Sufyan bin Uyainah, ‘Allah menurunkan ayat dengan firman-Nya:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.’ (Al-Mumtahanah: 8) Buat kaum musyrikin yang tidak memerangi kaum muslimin, umat Islam harus berbuat baik dan adil kepada mereka. Allah tidak melarang yang demikian itu. Tidak diragukan kalau orang kafir mengetahui tuntunan muamalah kita dengan kebaikan, ihsan, lembut, penyantun, akan menjadi sebab masuk Islam. Kebanyakan orang masuk Islam dengan sebab menyaksikan dan merasakan akhlak adab kaum muslimin yang baik. Disadur oleh Al-Ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc. dari buku Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdilmuhsin al-Abad al-Badr. Terbitan Darul Imam Muslim Publishing. Madinah. Tahun 1441/2020. Edited by @rimoesta. merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya: TETAP BERBAKTI KEPADA ORANG TUA, MESKIPUN MENZHALIMI KITA?

Author