Ahlussunah Mencintai Keluarga Rasulullah (Ahlul Bait)
Sebagian kelompok yang menyempal dari pokok ajaran Islam sering menyerang kaum muslimin umumnya tidak mencintai ahli bait Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam . Sementara kelompok tersebut telah mengabaikan sebagian besar keluarga beliau, dengan mengutamakan sebagian yang lain secara berlebihan. Salah satu pandangan ahlussunnah tentang ahli bait diwakili oleh paparan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selengkapnya adalah sebagai berikut. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ahlussunnah mencintai dan loyal kepada keluarga (ahli bait) Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam.” Penjelasan: Sebagian prinsip Ahlussunnah wal Jamaah adalah mencintai keluarga Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini didasarkan pada dua hal yang mereka miliki, yaitu keimanan mereka dan hubungan kekerabatan dengan Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam. Ahlussunnah tidak membenci mereka sama sekali. Memang Ahlussunnah tidak seperti Rafidhah (salah satu pecahan Syi'ah) yang beranggapan, “Setiap yang mencintai Abu Bakar dan Umar berarti membenci Ali.” Artinya, tidak mungkin mencintai Ali sebelum kita membenci Abu Bakar dan Umar! Seolah-olah Abu Bakar dan Umar adalah musuh Ali! Sementara berita bahwa Ali memuji Abu Bakar dan Umar di atas mimbar sangat valid dan masyhur. Termasuk keluarga (Ahli bait) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah istri-istri beliau, berdasarkan ketetapan al-Quran, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, 'Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah aku berikan kepada kalian mut'ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki (keridhaan) Allah dan rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian.' Hai istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kalian yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan barangsiapa di antara kalian (istri-istri Nabi) tetap taat pada Allah dan rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia. Hai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti wanita yang lain. Jika kalian memang bertakwa, janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. Ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu. Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahli bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab:28-33) Ayat tersebut dengan jelas menetapkan bahwa istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk Ahli bait. Begitu pula karib kerabat beliau, seperti Fatimah, Ali, Hasan, Husain, dan yang lainnya seperti al-Abbas bin Abdul Muththalib beserta anak-anaknya. Sekali lagi kecintaan kepada mereka dikarenakan keimanan mereka kepada Alloh dan kekerabatannya dengan Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika ada kerabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang kafir, maka kita tidak mencintainya. Contoh Abu Lahab, paman Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak boleh mencintainya bagaimana pun keadaannya, bahkan kita wajib membencinya karena kekafiran dan perbuatannya mengganggu dan menyakiti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula sikap terhadap Abu Thalib. Membencinya karena dia kafir, walaupun kita menyukai perbuatannya menjaga dan memelihara Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam. Syaikhul Islam berkata, “Ahlussunnah melaksanakan dan menjaga wasiat Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam tentang ahli bait. Di antaranya, sabda beliau pada hari Ghadir Khum,

«أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي»

'Aku ingatkan kalian akan Allah tentang ahli baitku.'” (Muslim hadits no. 2408. Ahmad IV/366)

Penjelasan: Wasiat Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pesan beliau yang sangat ditekankan atas umatnya. Hari Ghadir Khum adalah tanggal 18 Dzulhijjah tahun Haji Wada'. Ghadir (=selokan/anak sungai) dinisbatkan kepada seorang laki-laki bernama Khum. Letaknya di jalan antara Makkah dan Madinah, dekat Juhfah. Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam singgah di situ dalam perjalanan pulang ke Madinah seusai melakukan Haji Wada'. Beliau berkhutbah kepada orang-orang di tempat tersebut. Di antaranya beliau bersabda tiga kali, “Aku ingatkan kalian akan Alloh tentang ahli baitku.” Maksud beliau, “Ingatlah Allah. Ingatlah selalu siksa dan kemurkaan-Nya jika kalian menyia-nyiakan hak-hak ahli bait. Ingatlah kasih sayang dan pahala Alloh jika kalian memenuhi hak-hak mereka.” Syaikhul Islam berkata, “Begitu pula sabda Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam kepada pamannya, al-Abbas, yang mengadukan tindakan sebagian orang Quraisy yang menyakiti Bani Hasyim,

«وَالَّذِي نَفْسِ بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحِبُّوكُمْ لِلَّهِ وَلِقَرَابَتِي»

'Demi Alloh yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak sempurna keimanan mereka hingga mereka mencintai kalian karena Alloh dan karena kekerabatan kalian denganku.'” (Ahmad I/207)

Penjelasan: Hasyim adalah kakek dari bapak Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam. Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam bersumpah, “Tidak sempurna keimanan mereka hingga mencintai kalian (Bani Hasyim) karena Allah.” Sebenarnya cinta karena Alloh juga diberikan kepada kaum mukminin selain mereka, tetapi dengan sabda beliau selanjutnya, 'dan karena kekerabatan kalian denganku', menunjukkan adanya kecintaan yang lebih, yang khusus diberikan kepada ahli bait sebagai kerabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Keluhan al-Abbas tersebut menunjukkan bahwa perilaku tidak baik terhadap ahli bait telah terjadi pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal itu karena hasad (iri dengki) adalah salah satu tabiat manusia, kecuali sebagian orang yang dilindungi Alloh. Sebagian orang hasad karena nikmat yang Alloh berikan kepada ahli bait Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu menjadikan mereka bagian dari kerabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Syaikhul Islam berkata, “Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,

«إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى بَنِي إِسْمَاعِيلَ، وَاصْطَفَى مِنْ بَنِي إِسْمَاعِيلَ كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ كِنَانَةَ قُرَيْشًا، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ»

'Sesungguhnya Allah telah memilih Bani Ismail. Kemudian memilih Kinanah dari Bani Ismail. Kemudian memilih Quraisy dari Kinanah. Kemudian memilih Bani Hasyim dari Quraisy. Dan akhirnya memilih aku dari Bani Hasyim.'” (Muslim hadits no.325, Tirmidzi hadits no. 2276, Ahmad IV/107) Penjelasan: Hadits di atas merupakan bukti bahwa Bani Hasyim adalah kaum terpilih di sisi Alloh. Akidah Ahlussunnah wal Jamaah terhadap ahli bait adalah mencintai dan bersikap loyal kepada mereka, menjaga dan melaksanakan wasiat Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mereka. Ahlussunah tidak mendudukkan ahli bait melampaui yang semestinya dan membenci orang-orang yang bersikap berlebihan kepada ahli bait yang mengangkatnya hingga memiliki hak uluhiyah (hak untuk diibadahi). Seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Saba' terhadap Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, dengan mengatakan kepada beliau, “Engkau adalah Alloh.” Yang dimaksud dengan Ismail dalam hadits di atas adalah putra Nabi Ibrahim Khalilullah. Dialah yang Allah perintahkan kepada Ibrahim untuk disembelih sebagaimana tersebut dalam surat as-Shaffat. Yang dimaksud Kinanah adalah kakek Rasulullah ke-14. Yang dimaksud Quraisy adalah kakek Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam ke-11 yang bernama Fihr bin Malik. Ada juga yang mengatakan Nadhar bin Kinanah, kakek Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam ke-13. Adapun Hasyim adalah kakek Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam ke-3 (bapak dari kakek beliau). Syaikhul Islam berkata, “Ahlussunnah bersikap wala' (loyal) kepada istri-istri Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam, para ibu bagi kaum mukminin.” Penjelasan: Kata 'para ibu bagi kaum mukminin' di sini kedudukannya sebagai sifat dari para istri Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam. Maknanya bahwa para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah (seperti) para ibu kita yang harus dimuliakan dan dihormati. Alloh berfirman dalam hal ini,

النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (Q.S. al-Ahzab:6)

Kita harus bersikap loyal kepada mereka dengan cara menolong dan membelanya, dan meyakini bahwa mereka adalah yang paling utama di antara istri-istri para penduduk bumi, karena mereka adalah istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Syaikhul Islam berkata, “Ahlussunnah mengimani bahwa para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah istri beliau di akhirat.” Penjelasan: Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang ada. Juga berdasarkan firman Allah Ta'ala,: “(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka, beriman kepada-Nya, dan memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan), 'Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksa neraka yang menyala-nyala. Ya Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga 'Aden yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.' (Ghafir:7-8) Kata “dan istri-istri mereka.” Menunjukkan bahwa Alloh menetapkan bagi para istri kedudukan sebagai istri di dalam surga. Menunjukkan bahwa istri seseorang di dunia juga akan menjadi istrinya di akhirat, jika sama-sama menjadi penduduk surga. Syaikhul Islam berkata, “Ahlussunnah memiliki penilaian khusus kepada Khadijah radhiyallahu 'anha yang merupakan ibu dari kebanyakan putera Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam dan merupakan orang yang pertama kali beriman kepada beliau dan banyak membantu urusan beliau. Di samping itu, Khadijah memiliki kedudukan yang tinggi di hati Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.” Penjelasan: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menikahi Khadijah binti Khuwailid sebagai istri pertama. Ketika itu usia Khadijah mencapai 40 tahun, sedang usia Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam 25 tahun. Selama hidup bersama Khadijah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menikahi wanita lain. Khadijah adalah seorang perempuan yang cerdas, banyak memberi manfaat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Seluruh anak Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam lahir dari Khadijah, kecuali Ibrahim yang lahir dari Mariyah al-Qibtiyah. Dari Khadijah, Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam mendapat dua anak laki-laki dan empat perempuan. Yang laki-laki bernama Qasim dan Abdullah. Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda tentang Abdullah bahwa dia adalah Thayyib dan Thahir (suci dan bersih). Adapun yang wanita adalah Zainab, Ummu Kultsum, Fathimah, dan Ruqayyah. Qasim adalah putera tertua dan Zainab putri tertua. Khadijah adalah orang yang pertama kali beriman kepada Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam datang menceritakan peristiwa yang dialami di Gua Hira, Khadijah berkata, “Sekali-kali tidak. Demi Alloh, Alloh tidak akan menghinakan dan menelantarkan engkau sama sekali.” Khadijah pun beriman lalu mengajak Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam pergi menemui Waraqah bin Naufal. Setelah mendengar kisah Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam di Gua Hira, Waraqah berkata, “Dia adalah Namus yang pernah datang menemui Musa.” Waraqah pun beriman kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Namus artinya pemegang rahasia (yakni malaikat Jibril, red.). Ahlussunnah mengatakan bahwa wanita yang pertama kali beriman kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Khadijah. Siapa saja yang memperhatikan sejarah hidup Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam akan mendapati bahwa Ummul Mukminin Khadijah adalah orang yang paling banyak berjuang membantu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dibanding istri-istri beliau yang lain. Bukti kedudukan Khadijah yang tinggi di hati Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam sering menyebut-nyebut Khadijah sepeninggalnya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang Khadijah,

«إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ»

“Dia adalah yang telah demikian dan demikian, serta yang telah melahirkan anak-anakku.” (Bukhari hadits no. 3818, Muslim hadits no. 2435).

Syaikhul Islam berkata, “Demikian juga al-Shiddiqah (Aisyah radhiyallahu 'anha ) binti al-Shiddiq radhiyallahu 'anhu , Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata tentangnya,

«فَضْلُ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ»

“Keutamaan Aisyah radhiyallahu 'anha dibandingkan wanita yang lain seperti keutamaan tsarid (bubur daging) dibandingkan makanan yang lain.”( Bukhari hadits no. 3769, Muslim hadits no. 2431).

Penjelasan: Aisyah radhiyallahu 'anha disebut sebagai shiddiqah (wanita yang jujur) karena kesempurnaannya dalam membenarkan (tasdhiq) Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam dan kesempurnaan kejujurannya dalam bermuamalah dengan Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam, di samping kesabarannya tatkala mendapatkan gangguan yang menyakitkan dalam peristiwa Ifki (tuduhan dusta bahwa Aisyah berbuat zina, red.). Sebagai bukti kejujurannya dan kelurusan imannya kepada Allah adalah ucapannya ketika diminta berterima kasih kepada Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam dengan turunnya ayat yang menyatakan kesuciannya, “Aku tidak akan memuji (sebagai rasa syukur) kepada selain Alloh.” Tampak dari perkataan Syaikhul Islam di atas bahwa beliau menempatkan dua istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (Khadijah dan Aisyah radhiyallahu 'anha) setaraf dalam keutamaan. Para ulama berselisih pendapat tentang keutamaan keduanya. Sebagian berpendapat bahwa Khadijah yang lebih utama karena memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh Aisyah radhiyallahu 'anha. Sebagian lagi berpendapat bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha lebih utama dengan dasar sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang dirinya di atas, di samping keutamaan-keutamaan Aisyah yang tidak dimiliki Khadijah. Sebagian lagi merinci bahwa masing-masing memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Tidak diragukan lagi bahwa pada masa awal kerasulan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Khadijah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh Aisyah radhiyallahu 'anha dan tidak mungkin bagi Aisyah radhiyallahu 'anha untuk menyamainya. Sebaliknya setelah wafatnya Khadijah dan Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam, penyebaran ilmu dan sunnah yang dilakukan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha serta banyaknya umat yang mendapat petunjuk melalui perantaraannya adalah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh Khadijah. Maka tidak tepat kalau salah satunya dikatakan lebih utama dibandingkan dengan yang lain secara mutlak. Lebih tepat dikatakan adalah bahwa si A lebih utama dari satu sisi dan yang lain lebih utama dari sisi yang lain. Dengan demikian kita telah menempuh jalan yang adil, jalan pertengahan. Wallahu a'lam. Sumber : Majalah Fatawa Vol. III No. 09

Author