BENTUK-BENTUK TOLERANSI ISLAM
وَيَا قَوْمِ أَوْفُواْ الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلاَ تَبْخَسُواْ النَّاسَ أَشْيَاءهُمْ
“Dan Syu'aib berkata, ‘Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka.” (Hud: 85). Orang yang tidak adil akan berlaku curang, jika membeli minta timbangan lebih, tetapi jika kemudian menjualnya melakukan timbangan yang kurang dari semestinya. Hal ini dicela dan diancam oleh Islam.وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ لِيَوْمٍ عَظِيمٍ يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar,(yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (Al-Muthafifin: 1-6). Orang yang toleran dalam jual beli akan mendapatkan keutamaan dalam Islam. Demikian juga orang yang bersikap lapang memudahkan dalam memutuskan permasalahan. Jabir berkata,قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَفَرَ اللَّهُ لِرَجُلٍ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانَ سَهْلًا إِذَا بَاعَ سَهْلًا إِذَا اشْتَرَى سَهْلًا إِذَا اقْتَضَى. (رواه الترمذي)
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Semoga Allah mengampuni seseorang sebelum kalian, ia memberi kemudahan ketika menjual, memberi kemudahan ketika membeli, dan memberi kemudahan ketika memutuskan perkara." Bersikap lapang atau memudahkan dalam jual beli dan memutuskan sesuatu perkara juga mendatangkan kecintaan Allah. Abu Hurairah berkata,أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ سَمْحَ الْبَيْعِ سَمْحَ الشِّرَاءِ سَمْحَ الْقَضَاءِ. (رواه الترمذي)
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah mencintai orang yang memberi kemudahan dalam menjual, memberi kemudahan tatkala membeli, dan kemudahan dalam memutuskan perkara." Ada teladan dalam diri Rasulullah tentang praktik toleransi dalam memutuskan sesuatu. Kisah ini disampaikan oleh Abu Hurairah,كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً. (رواه البخاري)
“Pernah ada seorang laki-laki yang dijanjikan akan diberi seekor anak unta oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dia pun datang kepada beliau untuk menagihnya. Beliau bersabda kepada sahabatnya, ‘Berikanlah!’ Maka para sahabat mencarikan anak unta namun tidak mendapatkannya, kecuali satu ekor anak unta yang umurnya melebihi dari yang dijanjikannya. Beliau pun bersabda, ‘Berikanlah kepadanya!’ Orang tersebut berkata, ‘Engkau telah menepati janji kepadaku semoga Allah membalasnya buat tuan.’ Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah siapa yang paling baik menunaikan janji.’ Dalam kasus tersebut Rasulullah tidak mempersulit sahabatnya utnuk mencarikan anak unta persis seperti yang dijanjikan kepada orang yang datang tersebut. Meski hanya ditemukan anak unta yang lebih besar dari yang dijanjikan, tetapi beliau tetap memberikannya. Dalam Utang Piutang Islam yang ketetapan-ketetapannya ditentukan Al-Hakim ini sifatnya bijaksana. Termasuk dalam urusan utang piutang. Baik dalam memberikan utang maupun terhadap kesulitan bayar.وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah:280). Bersikap lapang dalam memberikan utang adalah sebuah keutamaan. Demikian juga bersikap lapang kepada orang yang kesulitan mengembalikan pinjaman utang. Orang yang memberikan kesempatan kepada pihak yang tengah mengalami kesempitan. Kelak di akhirat akan mendapatkan kemudahan dari Allah di saat semua manusia menghadapi kesulitan yang luar biasa. Di dunia ini pun Allah menjanjikan akan menganugerahkan kemudahan kepada orang yang toleran dalam memberi tempo kepada yang kesulitan membayar utang. Abu Hurairah bercerita,عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ تَجَاوَزُوا عَنْهُ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا فَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُ. (رواه البخاري)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Ada seorang pedagang yang memberi pinjaman kepada manusia sehingga jika ia melihat mereka dalam kesulitan dia berkata kepada para pembantunya, ‘Berilah dia tempo hingga mendapatkan kemudahan semoga Allah memudahkan urusan kita.’ Maka kemudian Allah memudahkan urusan pedagang tersebut." Sikap toleran adalah sikap memberi kemudahan, memberi kelapangan. Itu adalah bentuk rahmat, kasih sayang kepada sesama. Tak heran bila Allah menjanjikan balsan rahmat kepada orang yang bersikap toleran kepada yang kesulitan membayar utang. Jabir bin Abdillah berkata,أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى. (رواه البخاري)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Allah merahmati orang yang memudahkan ketika menjual dan ketika membeli dan juga orang yang meminta haknya." Dalam Ilmu Ilmu mempunyai kedudukan tersendiri di dalam Islam. Demikian juga mengabdikan ilmu untuk umat termasuk yang utama, melebihi harta. Orang yang berilmu sudah semestinya membuka lebar-lebar kepada siapapun yang mau belajar kepadanya. Ahli ilmu harus memberikan perhatian kepada pihak yang akan bertanya tentang berbagai hal yang dibutuhkan. Kalau memberikan uraian atau jawaban hendaknya secara gamblang. Kalau perlu sampaikan sumbernya, dalil-dalilnya, asbabul wurud, asbabun nuzul atau hal lain yang perlu disampaikan. Sebuah hadits dari Abu Hurairah mengisahkan:سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ. (رواه أبو داود)
“Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami naik kapal dan hanya membawa sedikit air, jika kami berwudhu dengannya maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?’ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, ‘Air laut itu suci airnya dan halal bangkainya.’" (Hadits Riwayat Abu Dawud) Dalam hadits tersebut menunjukkan betapa Rasulullah memberikan kelapangan dalam menjawab sebuah pertanyaan. Yang ditanyakan sebenarnya sebatas hukum menggunakan air laut untuk berwudhu. Boleh atau tidak. Ternyata jawaban RAsulullah lebih luas dari pertanyaannya. Bukan sekadar menjawab boleh atau tidak. Tetapi menegaskan bahwa air laut itu suci dan menyucikan, bahkan ditambahi bahwa bangkainya pun halal untuk dimakan. Dalam Harga Diri Setiap orang punya harga diri yang wajib dijaga. Punya kehormatan yang mestinya dihargai. Kadang dalam kehidupan bermasyarakat ada saja orang yang gemar menjatuhkan harga diri atau kehormatan seseorang. Sehingga bisa membuat malu yang bersangkutan. Kebiasaan orang adalah bereaksi secara emosional terhadap orang yang menjatuhkan kehormatannya. Marah dan membalas untuk memenuhi emosi yang membuncah. Di zaman Rasulullah ada seorang sahabat yang pernah mengalami. Kehormatannya dijatuhkan oleh orang yang biasa dibantu kehidupannya. Hal itu dikisahkan dalam hadits berikut:عَنْ عَائِشَةُ قَالَتْ : .... فما أَنْزَلَ اللَّهُ هَذَا فِي بَرَاءَتِي, قَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ : وَكَانَ يُنْفِقُ عَلَى مِسْطَحِ بْنِ أُثَاثَةَ لِقَرَابَتِهِ مِنْهُ وَفَقْرِهِ , وَاللَّهِ لَا أُنْفِقُ عَلَى مِسْطَحٍ شَيْئًا أَبَدًا بَعْدَ الَّذِي قَالَ لِعَائِشَةَ مَا قَالَ , فَأَنْزَلَ اللَّهُ : {وَلَا يَأْتَلِ أُوْلُوا الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُوْلِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ} قَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ : بَلَى وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لِي فَرَجَعَ إِلَى مِسْطَحٍ النَّفَقَةَ الَّتِي كَانَ يُنْفِقُ عَلَيْهِ وَقَالَ : وَاللَّهِ لَا أَنْزِعُهَا مِنْهُ أَبَدًا ,,. (رواه البخاري)
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:……. Maka kemudian turun ayat yang membebaskan aku daripada fitnah itu. Abu Bakar As-Siddiq yang selalu membiayai kehidupan Misthah bin Usasah kerana hubungan kekeluargaan dan kemiskinannya berkata: Demi Allah, setelah ini aku tidak akan lagi memberi nafkah kepada Misthah untuk selamanya setelah apa yang dia telah katakan kepada 'Aisyah. Kemudian Allah menurunkan ayat: " Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (An-Nur: 22). Abu Bakar berkata: Ya, demi Allah, sungguh aku lebih mencintai bila Allah mengampuniku. Maka Abu Bakar kembali memberi nafkah kepada Misthah sebagaimana sebelumnya dan berkata: Aku tidak akan berhenti memberi nafkah kepadanya untuk selama-lamanya……" (Hadits Riwayat al-Bukhari) Pada saat itu pernah ada yang menghembuskan fitnah kepada Aisyah, istri Rasulullah. Dikenal dengan hadits ifk. Kehormatan Aisyah direndahkan serendah-rendahnya dengan fitnah orang munafik. Otomatis Abu Bakar sebagai ayah Aisyah juga ikut terganggu harga dirinya. Setelah fitnah itu dimentahkan oleh Allah dengan turunnya ayat khusus membersihkan nama Aisyah. Tetapi terlanjur ada saja kaum muslimin yang ikut-ikutan menyebarkan kabar bohong tersebut. Salah satunya adalah Misthah bin Usasah, orang yang biasa dibantu oleh Abu Bakar. Selain karena ada hubungan kekerabatan juga karena miskin. Abu Bakar pun kemudian jengkel sehingga bersumpah akan menghentikan bantuannya kepada Misthah. Sikap Abu Bakar ini menjadi sebab turunnya surat An-Nur ayat 22. Ayat tersebut menyinggung agar seseorang bersikap toleran. Mudah memaafkan dan memberikan kelapangan hati kepada orang yang menyakitinya. Dengan turunnya ayat tersebut Abu Bakar kemudian mencabut sumpahnya, dan kembali membantu nafkah Misthah. Dalam Mereaksi Kesalahan Setiap orang tentu ingin menjadi baik, apalagi orang yang punya keimanan. Hanya saja seseorang sebagai manusia pasti mengalami kesalahan dan keterpelesetan. Kadang berbuat salah, melakukan yang mungkar. Menyikapi perbuatan salah orang lain sikap dasarnya adalah seperti disebutkan dalam ayat al-Quran.أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“…. yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min….,” (Al-Maidah:54).وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“…..dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara:215).وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali Imran : 159). Itulah sifat kaum mukmin. Lembut, tenang, tidak grasa-grusu, tidak mudah marah, dan mengedepankan husnuzhzhan. Bahkan hendaknya mencarikan udzur alasan kepada mukmin lain yang melakukan kesalahan.المُؤْمِنُونَ هَيِّنُونَ لَيِّنُونَ ؛ مِثْلُ الجَمَلِ الأَلِفِ الَّذِي إن قَيِدَ انْقَادَ وَإِنْ سيق انساق وإن أنخته عَلَى صَخْرَةٍ اسْتَنَاخَ ".
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kaum yang beriman adalah orang yang tenang dan lembut layaknya unta yang jinak yang diikat dengan tali, yang jika diarahkan akan menurut, jika diarahkan kepada kebaikan akan mengikuti. (Riwayat Abu Dawud disahiihkan oleh Albani dalam Shahihul Jami’ no. 4369) Sikap toleran kepada orang lain ditunjukkan oleh Rasulullah. Rasulullah akan berlapang dada meski kepada orang yang “mengganggu” pribadinya. Jangankan hanya yang merepotkan beliau, bahkan kepada yang menyakitinya pun beliau berlapang dada. Anas bin Malik bercerita:عَنْ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ إِنْ كَانَتْ الْأَمَةُ مِنْ إِمَاءِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَنْطَلِقُ بِهِ حَيْثُ شَاءَتْ. (رواه البخاري)
"Sekiranya ada seorang budak dari budak penduduk Madinah menggandeng tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sungguh beliau akan beranjak bersamanya kemana budak itu pergi." (Hadits riwayat al-Bukhari) Hadits itu menunjukkan bahwa meski yang menggandengnya adalah seorang budak, tetapi beliau tetap akan membersamainya. Yang pertama menunjukkan kelapangan beliau untuk menghargai seorang budak. Yang kedua menunjukkan kelapangan beliau untuk membantu. Digubah secara bebas oleh ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc., dari buku Samahatul Islam fi Dhau-il Quran al-Karim was Sunnah as-Shahihah karya Salim ‘Id al-Hilali.Author