TOLERANSI ITU BUKANLAH WALA’
Toleransi nyata diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, bahkan dicontohkan pula oleh Rasulullah. Termasuk kepada nonmuslim, orang-orang kafir, toleransi itu ada. Sebagian pihak salah duga bahwa toleransi itu sama dengan memberikan wala’. Akibatnya muncul dua kutub ekstrim, menolak toleransi atau sebaliknya memberikan wala’ kepada orang kafir.
Sebenarnya toleransi kepada Ahli Kitab tidaklah sama dengan memberikan wala’ kepada mereka. Itu dua hal yang tidak boleh dicampuradukkan. Wala’ sendiri secara bahasa adalah mashdar dari fi’l kata kerja waliya, artinya dekat. Wala’ adalah dekat dibarengi dengan rasa cinta, selalu menolong, gemar membantu menghadapi musuh-musuh. Jadi wala’ tampak nyata bedanya dari toleransi. Bersikap toleransi tidak dibarengi dengan sikap wala’. Ayat dan hadits tentang toleransi pun tidak bisa dijadikan alasan untuk memberikan wala’ kepada orang kafir.
Meskipun ternyata ada sebagian kaum muslimin yang bersikap demikian. Sikap seperti itu didorong oleh ketidakpahaman terhadap hakikat Dinul Islam yang mempunyai karakteristik sebagai sistem yang manhajiyah waqi’iyah (jalan yang jelas dan memperhatikan realita). Sebuah sistem yang diturunkan dalam rangka membangun peradaban di bumi. Islam dilandasi konsep-konsep yang memang berbeda dengan konsep-konsep buatan manusia, bahkan tak jarang berbenturan dengan konsep-konsep manusia. Konsep-konsep Islami ini tentu berbenturan dengan keinginan hawa nafsu yang menyimpang dari aturan Ilahiyah. Kemauan hawa nafsu mereka tersebut tidak lain ingin membangun peradaban baru seperti yang mereka inginkan dengan sebuah gerakan kemanusiaan, yang sebenarnya liberalisme: kebebasan semau guwe.
Mereka yang berpikiran menyimpang itu didorong oleh kekurangpahaman mereka terhadap hakikat aqidah Islam. Di samping itu, juga tidak menyadari adanya perang urat saraf, tidak mengenal karakter ahli kitab, dan lalai terhadap bimbingan Islam. Akibatnya seruan Islam agar toleransi yang diserukan Islam dalam bersikap kepada Ahli Kitab, bermuamalah secara baik terhadap mereka yang hidup di masyarakat muslim, dan memenuhi hak-haknya dicampuradukkan dengan sikap wala’ yang hanya boleh diberikan kepada Allah, rasul-Nya, dan kaum muslimin. Mereka lupa dengan penjelasan al-Quran bahwa Ahli Kitab satu dengan yang lain bahu membahu dalam memerangi kaum muslimin. Mereka lupa kalau masalah ini adalah masalah yang terang benderang. Mereka lupa bahwa Ahli Kitab memusuhi Islam dan kaum muslimin, yang tidak akan puas sebelum kaum muslimin meninggalkan agamanya dan mengikuti agama mereka. Terus-menerus Islam dan kaum muslimin diperangi di mana-mana. Permusuhan yang tampak jelas dalam ucapan dan apa yang tersembunyi di dalam dada Ahli Kitab lebih membara.
Karena itulah muslim dituntut agar toleran terhadap Ahli Kitab tetapi dilarang wala’ kepada mereka. Tidak boleh ada rasa saling mencintai. Tidak sepantasnya tolong-menolong dan lemah-lembut dalam agama mereka. Jalan hidup seorang muslim dalam mengamalkan agamanya dalam keseharian tidak akan pernah selaras dengan jalan hidup Ahli Kitab. Seandainya kita menampakkan sikap toleran bahkan memberikan kasih sayang tidak akan membuat mereka ridha selama kita masih beragama dan menerapkan Islam. Hal itu tidak akan menghentikan mereka untuk saling bahu membahu dalam melakukan kebencian dan membuat makar terhadap orang muslim.
Jauh panggang dari api bila kita beranggapan bahwa kaum muslimin bisa bersatu dengan Ahli Kitab dalam menegakkan agama. Karena itu toleransi adalah sebatas memberikan kelapangan atas apa yang mereka lakukan sebatas tidak membahayakan kaum muslimin. Dan, bukannya memberikan wala’ kepada mereka. Toleransi bukanlah wala’.
Digubah secara bebas oleh ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc., dari buku Samahatul Islam fi Dhau-il Quran al-Karim was Sunnah as-Shahihah karya Salim ‘Id al-Hilali.
Author